Oleh: Putri Astrie
Setiap insan yang terlahir di dunia ini pasti dilahirkan dari rahim seorang ibu. Beliau merupakan wonder woman dalam kehidupan. Segala keputusan hidup baik tentang sekolah, pekerjaan, pernikahan, keluarga, dan lain-lain, tak luput dari tangan dinginnya. Setiap hari memberikan kasih sayang, petuah, nasehat bijaknya, saran, larangan, pendapat serta pertolongan yang tulus diberikan kepada anaknya tanpa mengharap balas budi.
Bicara tentang ibu, ada berjuta kisah di sana, ada suka ada duka. Semua berpilin kasih dan terajut dalam benang cinta sang ibu. Tanpa seorang ibu di keluarga, sebuah rumah akan goyah diibaratkan kehilangan salah satu penompang tiangnya. Dari segala kisah yang terpatri bersama sang ibu, ada satu kisah yang membuat saya sampai hari ini merasa gundah gulana apabila mengingat kejadian itu.
Bermula dari pandemi covid-19, penggalakan 5M dan vaksin, ibuku walaupun sudah tidak berusia muda juga tak ketinggalan ikut menerapkannya. Saat dianjurkan untuk vaksin beliau juga antusias menyambutnya. Setelah dua Minggu divaksin kondisi turun. Saya tidak tahu itu pengaruh vaksin atau entah masalah yang lain. Hal ini berawal ada salah satu kerabat yang akan melaksanakan hajatan menikahkan anaknya. Beberapa hari ibuku membantu di sana, mulai pagi hingga sore. Akibatnya kelelahan mendera sehingga berpengaruh pada stamina tubuh.
Cuaca hari itu tak bersahabat. Siang hari panas sekali, sehingga beliau sering minum dingin. Hal tersebut mengakibatkan mudah terserang flu tetapi badan tidak panas. Kondisi ini juga dialami oleh beberapa tetangga. Parahnya lagi setiap hari ada saja pengumuman dari musala orang meninggal dunia hanya sakit beberapa hari. Mengetahui ibu sakit, betapa paniknya kami sekeluarga. Semua penuh dilema. Ibu dibawa ke rumah sakit menolak dengan tegas. Beliau hanya mau diperiksakan di mantri atau perawat.
Dua hari belum ada perubahan. Obat yang diberikan selalu dimuntahkan. Kondisi semakin turun. Tidak mau makan dan muntah terus-menerus. Berat badan sudah terlihat turun dan lemas. Akhirnya mau tidak mau sedikit dipaksa dengan jurus rayuan agar mau untuk periksa di klinik kesehatan. Saat diperiksa tekanan darah dan lainnya semuanya turun, tetapi bukan karena covid. Oleh sebab itu, disarankan oleh dokter agar opname di rumah sakit. Namun, ditolaknya mentah-mentah. Sebagai anak ini merupakan pilihan yang sangat sulit. Satu sisi ingin agar ibu segera mendapat penanganan sehingga cepat sehat. Di sisi lain, ibu kukuh tidak mau dibawa ke rumah sakit.
Pertimbangan matang akhirnya diputuskan ibu rawat jalan saja. Saat menolak beliau mengatakan ingin meninggal di rumah sendiri saja daripada di rumah sakit. Betapa mirisnya hati saat mendengar kalimat itu.
“Ibu, tidak mau dibawa ke rumah sakit. Biarkan meninggal saja di rumah daripada di rumah sakit juga tidak terurus,” tegas Ibu.
Ibu tahu kalau di rumah sakit saat pandemi tidak ada keluarga yang bebas keluar masuk ruangan. Takut sendiri itu penyebab utamanya. Berbagai upaya kita lakukan demi kesembuhannya. Berbagai obat tradisional dicoba. Mulai dari kunyit, madu, kelapa hijau, temulawak putih, sereh, dan lainnya. Semua berihtiar demi Kesehatan dan kesembuhannya.
Saya bersaudara tiga orang semuanya perempuan. Ibu kebetulan satu rumah. Saya selalu koordinasi dengan kakak terutama yang berada di luar pulau Jawa. Ini saya lakukan untuk mencegah terjadinya saling menyalahkan antarsaudara. Kakak menyarankan kalau memang ibu tidak mau di bawa ke rumah sakit lebih baik di rawat di rumah saja demi kenyamanan beliau.
Kondisi ibu yang muntah terus saja berlangsung setiap hari. Apa yang masuk dan keluar tidak seimbang. Tidak mau makan atau minum obat, hanya jus jambu atau alpukat yang mau diterima oleh lambung. Malam tidak bisa tidur dan sering mengigau. Saya dan Mbak yang dekat rumah bergantian menjaganya. Beliau minta ditemani terus dan dielus-elus kakinya. Muntah dan muntah hingga tak terkira berapa kali harus ganti tempat wadahnya. Begadang setiap malam. Hal ini berlangsung sepuluh hari
Namanya orang tua di mana pun berada pasti kalau sudah enak sedikit badannya maunya apa-apa dilakukan sendiri, seakan tak membutuhkan bantuan.
“Bu, nanti kalau mau berjemur jam 09.00 saja,” ujar mbakku yang mau sarapan.
Ibu hanya mengangguk saja. Pada saat itu aku di kamar berteman dengan laptop untuk memberikan materi secara daring pada muridku.
Tiba-tiba anakku yang kecil berteriak, “Buk … Ibuk …, Mbah Uti jatuh, kepalanya berdarah!”
Sontak kuberlari mencari keberadaan beliau. Di kamar mandi tak kutemukan. Secepat kilat mencari di belakang rumah. Innalillahi ibuku terjatuh dari kursi hendak berjemur dengan kepala terbentur dan mengeluarkan darah. Tampak di bawah kursi darah sudah tergenang dan berceceran. Wajahnya pucat dan tidak bisa bicara. Posisi beliau terjungkal tidak bisa berdiri. Panik itu yang kualami.
Secepat kilat mencoba mengatasi masalah ini sesuai kemampuan, mengambil es batu di freser, membungkusnya di kain utuk membersihkan darah di kepala dan menghentikan pendarahan sementara. Mencari sedikit demi sedikit letak lukanya. Alhamdulillah lukanya kecil. Namun, tetap saja luka di kepala darah yang keluar juga banyak. Dua pak tisu kering dan satu pak tisu basah habis untuk membersihkan luka itu.
Rambut yang lengket terkena darah kugunting di sekitar luka itu dan memberikan obat yang ada di rumah. Dengan bantuan tetangga, ibu diangkat ke kamar setelah lukanya dibersihkan. Seperti di awal beliau juga tidak mau dibawa berobat ke rumah sakit. Kondisi ini membuat beliau kembali ngedrop. Terpaksa sebagai anak menuruti lagi. Untunglah ada seorang dokter yang sudah purna mau dipanggil ke rumah pada sore hari sehingga mendapatkan penanganan dari orang yang kompeten.
Ya Allah, cobaan lagi yang engkau berikan. Ibu yang semula bisa berjalan perlahan kini tangannya menjadi tremor dan hanya kuat bejalan beberapa langkah saja karena gemetar badannya. Obat dokter, obat tradisional, dan usaha non medis mewarnai proses penyembuhan. Semua ihtiar demi kesembuhan ibu.
Alhamdulillah, usaha tak menghianati hasil. Manusia diwajibkan ihtiar dan memohon pertolongan dari Allah. Tiga bulan akhirnya ibu lambat laun bisa berjalan kembali dan kondisi semakin membaik dan tetap mengonsumsi berbagai vitamin setiap hari. Tak bisa dibayangkan kalau kehilangan seorang ibu di masa pandemi. Mental ini belum siap menerima hal itu. Ibu maafkan anakmu yang belum bisa membalas untaian kasihmu saat kecil hingga dewasa ini. Kalau boleh meminta, izinkan anakmu sedikit membalas kasihmu mengharap keridaan untuk meraih surgamu.
Photo by Eduardo Barrios on Unsplash