Separuh Jiwaku Kembali

Oleh: Mia

Pada tahun ini, aku sudah tak punya kedua orang tua. Pada awal tahun dua ribu dua puluh satu, ibuku dipanggil oleh Allah Sang Maha Pencipta. Sedangkan, kepergian ayahku sebelas tahun mendahului ibuku. Saat itu, aku rapuh karena benar-benar merasakan kehilangan kedua sosok guru besar kehidupan. Belum lagi, aku baru saja mengundurkan diri dari pekerjaan karena harus fokus ke studi program magister. Aku wisuda tak dihadiri oleh kedua Super Hero-ku. Meskipun prosesi wisuda digelar secara online, tapi rasanya benar-benar ada yang kurang.

Sepeninggal ibuku, aku tinggal bersama kakakku beserta keluarga kecilnya. Kakak yang lebih mementingkan keluarga kecilnya. Selain itu, kakakku lebih memuliakan asisten rumah tangga daripada orang sedarah. Kakakku seakan melihat tumpukan sampah ketika menatapku. Mungkin kakaku menganggap aku sebagai beban hidupnya. Akan tetapi, tidak demikian kenyataanya. Aku mencukupi kebutuhan hidupku dari tabunganku sewaktu aku masih bekerja. Selain dari tabungan, aku bertahan hidup dari upah hasil aku membantu pekerjaan temanku untuk menyelesaikan tugasnya yang dekat dengan deadline. Hal itu membuat aku terluka yang tak berdarah. Lebih sakit dari luka yang menganga bersimbah darah. Aku semakin rapuh. Separuh jiwaku serasa ikut pergi bersama ayah dan ibuku saat itu.

Beberapa pekan kemudian, aku teringat pesan ibu. Ibuku pernah berpesan, “Asahlah kemampuan menulismu, Nak! Cari wadah untuk memperdalam ilmu kepenulisan! Ikutlah lomba atas nama pribadi! Kepakan sayapmu di dunia menulis! Jangan menulis untuk suatu lembaga yang hanya menguras tenaga dan pikiranmu, apalagi sampai menyita waktu ibadahmu! Sambunglah tali silaturahim dengan penulis senior! Suatu saat nanti, insyaallah kau akan merasakan manfaat atau memetik buah dari menulis.” Setelah itu, aku pun berselancar di internet mencari kelas menulis secara online. Tak lama kemudian, aku menemukan sebuah flyer di sebuah laman penulis senior multigenre. “Kelas intensif menulis skrip komik secara online bersama cikgu penulis multigenre skala nasional dan internasional bonus metode swasunting serta tip dan trik tembus penerbit mayor.” Begitulah kutipan informasi yang tertulis di flyer itu.

Beberapa hari kemudian, aku mengikuti kelas itu. Meski harus merogoh kocek relatif dalam bagi orang yang baru saja resign kerja, aku tetap menempuhnya. Kelas dilaksanakan melalui WhatsApp Group selama satu bulan. Sejak ikut kelas itu, aku mulai merasakan lukaku berangsur membaik. Aku semakin asyik mengikuti kelas. Di kelas itu, aku menemukan hal baru terutama cara menyampaikan pesan moral untuk anak usia prasekolah dan Sekolah Dasar kelas bawah. Aku sedikit memutar otak untuk menemukan ide karena terbiasa menulis cerita untuk usia remaja dan dewasa.

Pada awalnya, tulisanku dinilai terlalu berat untuk anak usia sembilan tahun. Setelah itu, aku coba membenahi tulisanku. Setelah kubenahi, tulisanku masih dinilai cacat logika. Aku pantang menyerah. Aku pun berselancar ke YouTube. Alhasil, aku menemukan ide cemerlang. Aku terinspirasi dari tayangan kabin bianglala yang terbalik. Setelah mendapatkan ide itu, aku langsung tuangkan ke dalam panel-panel. Kemudian, aku ajukan untuk review. Cikgu pun takjub dengan kepesatan hasil tulisanku. Begitu takjubnya, penulis multigenre itu asing dengan istilah kabin. Aku pun mengirimkan link YouTube. Akhirnya, tulisanku dinyatakan done oleh cikgu. Cikgu panggilan untuk penulis senior multi genre di kelas itu.

Beberapa hari setelah pelaksanaan kelas, cikgu mengadakan kelas bincang editor dari penerbit mayor lini anak. Pengalaman baru bagiku. Semangat hidupku pun semakin bertambah. Di kelas itu, aku mendapatkan materi sistematika penulisan skrip komik secara garis besar yang berpotensi tembus penerbit mayor. Mulai dari tema, penokohan, gaya bahasa, alur, pesan moral, hingga jenis-jenis buku yang diterbitkan di penerbit itu. Ikut kelas ini pun, aku harus merogoh kocek lagi. Aku tak pernah memikirkan isi dompet. Namun, aku selalu mementingkan kesehatan jasmani dan rohaniku kala itu.

Setelah kelas bincang editor, peserta diberikan kesempatan untuk mengirimkan outline naskah untuk di-review-kan. Aku mengirim lebih dari outline. Aku mengirim proposal, surat permohonan penerbitan naskah, naskah komik utuh, profil penulis, dan blurb via email penerbit. Kenapa aku mengirim lebih dari outline? Karena, aku bersyukur semangat hidupku kembali. Pesan ibuku mulai terwujud. Aku benar-benar merasakan hidup bersama orang hebat meski belum pernah face to face. Selang beberapa menit dari sent email, aku mendapatkan jawaban dari administrator bahwa aku diminta menunggu sampai tiga bulan kemudian untuk mengetahui hasil review.

Pengalaman menulis dibimbing oleh cikgu merupakan hal terindah bagiku. Selain menyampaikan materi skrip komik, beliau juga mengisahkan perjalanan hidupnya di kelas itu. Cikgu pun pernah terseok-seok menjalani hidup sebelum menjadi penulis terkenal. Dari kisah cikgu itu, aku semangat untuk bangkit dari kerapuhan. Serasa aku mendapatkan suntikan energi hidup dari cikgu. Aku benar-benar merasa hidup kembali bersama cikgu beserta tim. Hasil review dari editor senior aku anggap sebagai bonus semata. Alhamdulillah, akhirnya separuh jiwaku kembali.


Photo by Aziz Acharki on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *