Oleh : Nik Damayanti
Pagi yang cerah mengiringi perjalananku. Belum tampak matahari, rupanya awan tipis menutupi sinarnya. Udara masih terasa segar saat kubuka jendela mobil. Pepohonan yang berjajar sepanjang jalan perumahan memberi oksigen yang menyegarkan paru-paruku. Saat itu waktu menunjukkan pukul 08.00. Kira-kira butuh 45 menit untuk menempuh perjalanan dari rumahku, Sidoarjo ke kantor di Perak, Surabaya.
Aktivitas di kantor dimulai pukul 9 pagi dan diakhiri jam 5 sore. Seperti biasa aku kerjakan tugasku hari itu. Memang sejak pandemi kegiatan di kantor mulai berkurang. Tetapi bagi karyawan sepertiku hal itu tidak masalah, karena gaji selalu penuh dan tepat waktu. Lain halnya dengan pimpinan, tentunya bingung memutar keuangan tanpa mengurangi hak karyawan. Ternyata hari itu ada berita yang menyesakkan dada, disampaikan langsung oleh pimpinan pada sore hari, sebelum kami semua para karyawan pulang.
Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana rasa hati ini, saat beliau bilang kalau kantor harus berhenti beroperasi. Yaa….pandemi memang berpengaruh pada semua bidang usaha. Padahal perjalanan masih jauh. Aku tidak boleh terpuruk, hidup harus terus berjalan dan untuk hidup harus bergerak.
Setelah melalui pemikiran dan diskusi dengan suami akhirnya diputuskan membuat kantor di rumah. Beberapa teman lama aku ajak bergabung. Alhamdulillah beberapa pelanggan masih memberi kepercayaan kepadaku. Kami memulainya di bulan April.
Wabah korona juga berpengaruh pada aktivitas pelangganku, yang semula lancar dengan ekspornya tetapi sejak pandemi mulai ada kendala. Faktor utama adalah masalah harga. Pelayaran mulai menaikkan harga karena pelanggan berkurang. Apabila menunggu kontainer yang berangkat sesuai kapasitas akan butuh waktu lama, tetapi apabila berangkat sesuai jadwal maka harga harus naik. Dilema seperti itu berlaku bagi pelangganku, akhirnya memutuskan untuk istirahat dulu sampai kondisi membaik. Hal ini berpengaruh dengan kegiatanku karena dia belum membutuhkan bahan baku untuk berproduksi.
Berawal dari belum banyak kegiatan, berangsur-angsur mulai lancar. Tahapan-tahapan itu aku ikuti dan nikmati, seperti layaknya seorang ibu yang mengikuti setiap tahapan tumbuh kembang anaknya. Kalau diperlukan aku harus pergi ke Surabaya, tetapi lebih banyak pekerjaan aku lakukan di rumah. Kadang-kadang aku mampir ke pelangganku di luar kota untuk merekatkan silaturahmi. Kegiatan ini aku lakukan berdua bersama suami. Setelah memutuskan untuk berkantor di rumah, suamiku membantu penuh usaha ini.
Aku begitu menikmati bekerja di rumah. Banyak aktivitas yang bisa aku kerjakan, baik itu urusan rumah maupun kegiatan lain yang di luar rencana. Kalau ada hal penting yang harus aku kerjakan bisa aku lakukan kapan saja. Kadang pagi setelah subuh aku sudah mulai membuat tagihan yang harus diemail atau mungkin malam setelah isya aku masih berkutat di depan komputer. Itu berarti saat siang aku ada kegiatan lain yang harus dikerjakan sehingga tidak sempat menyentuh tugas-tugas administrasi kantor.
Pagi itu usai subuh, aku mulai bersiap-siap dengan baju olah raga. Jalan pagi menjadi kegiatan rutinku bersama suami. Meski tidak tiap hari, paling tidak kami lakukan seminggu 3 kali. Udara segar menyeruak memasuki paru-paru saat aku membuka pintu depan. Dua kucing kembar berebut masuk ke teras rumah setelah aku buka pagar. Bulunya berwarna coklat dan hitam dengan ekor ciri khas kucing Persia. Badannya gemuk sesuai dengan namanya Gimbul dan Gimbrot, begitu dinamakan pemiliknya, tetangga depan rumahku. Setiap hari aku selalu memberi makan kucing-kucing itu, sehingga tiap hari main ke rumah. Suamiku kurang suka dengan keberadaan kucing karena geli dengan bulunya. Dimulai dengan sedikit pemanasan, suami mendahuluiku keluar, sedangkan aku masih sibuk memberi makan anabul. Setelah selesai aku segera mempercepat langkah untuk menjajari suamiku.
“Selamat pagi Ibu, Bapak,” sapa satpam yang bertugas di pos penjagaan.
“Pagi, Pak,” jawab kami bersamaan.
Mungkin karena masih pagi, kami tidak bertemu dengan siapapun yang kami kenal. Butiran embun masih menempel di beberapa dedaunan. Sesekali ada tiupan angin yang melambaikan ilalang. Sungguh pagi yang indah. Tidak semua orang bisa merasakan nikmat yang Dia berikan kepada makhluknya. Terkadang manusia lupa akan kebesaran-Nya.
Pak sayur yang mangkal di depan lapangan tenis perumahan sudah dikerubuti ibu-ibu. Masih lengkap pilihan sayur dan ikan yang berjajar rapi, sehingga mereka bebas memilih menu apa saja yang akan disajikan untuk keluarga. Ternyata salah satu dari mereka aku kenal.
“Tidak belanja, Bu,” sapa tetangga RT sebelah, kebetulan teman senam.
“Jalan pagi dulu, Bu, nanti pulangnya saja,” jawabku.
“Mumpung masih banyak pilihan, Bu,” rayu tetanggaku. “Nanti siang tinggal sedikit lho.”
Aku hanya tersenyum dan berpamitan. Mulai tampak beberapa orang yang ikut jalan pagi. Terang mulai datang menggantikan gelap. Hawa dingin yang kurasakan saat keluar rumah sudah berganti hangat, mungkin juga karena aku sudah menempuh sekitar 3 kilometer sehingga suhu tubuhku naik. Sekitar 2 kilometer lagi aku sudah sampai rumah. Kaos yang aku kenakan mulai menempel di tubuh karena keringat yang mengalir.
Wadah tempat makanan kucing sudah kosong. Sebetulnya itu bukan wadah khusus untuk tempat makan kucing, tetapi tatakan pot bunga yang sudah tidak terpakai. Suamiku langsung menyiram bunga, aku mengambil sapu untuk membersihkan daun-daun kering. Setelah semua beres, kami segera membersihkan badan. Secangkir teh manis hangat dan roti goreng yang tadi kami beli sepulang jalan pagi menemani sarapan kami. Nikmat sekali rasanya.
“Urusan pekerjaan sudah beres semua ya, Dik,” tanya suami.
“Sudah aku selesaikan semalam,” jawabku, “memangnya kita mau ke mana?”
“Ke Trawas yuk,” ajaknya.
“Setuju,” jawabku antusias.
Aku segera bersiap-siap. Segera aku tanya anakku mau ikut atau tidak.
“Tidak ikut, Bu,” jawabnya, “aku ada kuliah pagi.”
Berdua kami meluncur ke Trawas dengan Honda CBR 150R milik anakku yang lebih sering dipakai suami. Tampak jelas pegunungan di depan yang memanjakan mata kami. Sesampai di pasar Trawas aku memilih pisang raja yang biasanya aku bikin pisang goreng. Tidak ketinggalan pete juga aku masukkan dalam tas plastik putih yang dihitung oleh penjualnya. Pulangnya mampir di café yang terletak di tikungan jalan sehingga nampak lukisan alam yang tidak kalah indahnya. Hamparan sawah yang berlapis-lapis dengan padi yang mulai menguning terhampar di depan mata kami. Aku pesan nasi pecel, sedangkan suami nasi rawon. Tahu krispi dan pohong keju turut menemani.
Ya Allah sungguh besar karunia-Mu. Di saat aku terpuruk karena kehilangan pekerjaan, Engkau menggantikan dengan nikmat yang jauh tak terhingga. Setelah puluhan tahun aku bekerja, baru saat ini benar-benar kunikmati hidup, bersama orang terkasih. Kita tidak perlu mencari kebahagiaan dengan sibuk mencari harta, karena kebahagiaan itu sebetulnya ada dalam diri kita sendiri.
Sidoarjo, akhir tahun 2021
Photo by Anthony Da Cruz on Unsplash