Oleh: Henny Purnawati
Aku masih berjibaku dengan pekerjaan akhir tahun yang menumpuk, sementara di luar sana matahari mulai masuk ke peraduannya. Lembayung jingga mulai terlihat di ufuk timur pertanda senja hampir berlalu. Gawaiku terdengar berdenting tanpa henti pertanda begitu banyak pesan masuk, ada rasa penasaran berkecamuk namun pekerjaan tak dapat ditunda harus selesai sore ini tekadku dalam hati mencoba untuk tetap bersemangat di penghujung hari.
Satu jam berlalu lelah mulai menghampiri, akhirnya rasa penasaran mengalahkan semua konsentrasi. Kuambil gawaiku untuk melihat pesan-pesan yang masuk, salah satunya begitu menarik perhatianku karena dikirim oleh salah seorang teman dari group kepenulisan yang telah lama kuikuti. Segera kubaca pesan yang dikirim tersebut, sebuah kejutan menungguku yaitu sebuah undangan untuk menjadi penulis tamu dalam sebuah Antalogi Puisi bersama beberapa penulis yang sudah punya nama besar.
“Ibu, ikutan jadi penulis tamu di buku antalogi puisi kami” pinta Tri temanku dalam pesan Whatsapp-nya dengan jelas.
Ada rasa tak percaya terhadap permintaan tersebut antara kegembiraan dan kesedihan menghampiriku seketika. Berkali-kali pesan itu kubaca untuk meyakinkan diri karena rasa tidak percaya diri yang muncul tiba-tiba. Aku merasa bukanlah penulis handal tak punya banyak karya hanya sebuah buku antalogi cerpen dan sebuah puisi yang pernah termuat di sebuah koran lokal, karya yang bahkan telah terlupakan oleh diriku.
Rasa gembira karena sesuatu yang begitu lekat dengan cita-cita masa kecilku kembali datang menghampiri dalam bentuk ajakan untuk menulis kembali. Sedih karena sudah lebih dari lima tahun aku melupakan impian tersebut dan mengubur diri dalam pencapaian karir yang rasanya tak pernah usai. Pertanyaan besar tiba-tiba hadir masihkah ruh menulisku bersemayam dalam diri dan hadir membantuku untuk kembali mewujudkan mimpi masa kecilku. Tanpa kusadari senja di penghujung tahun itu akan membawa perubahan besar untukku di tahun berikutnya serta menjadi titik awal aku kembali aktif menulis.
Menulis kembali seperti membuka kotak kenangan yang tersimpan jauh di dalam sebuah lemari, impian masa kecil tak terlupakan bersama ibunda tercinta yang mengajarkanku menulis pertama kali pada sebuah buku diary. Awalnya seperti kembali belajar mengayuh sepeda, tertatih karena bertahun-tahun tak pernah berlatih. Jatuh bangun untuk menulis sebuah puisi sederhana dengan tema bebas seperti permintaan, akhirnya sebanyak sepuluh puisi bebas berhasil kupersembahan. Sebanyak tujuh buah puisiku dianggap layak untuk terbit dalam sebuah Antalogi Puisi pertamaku bersama para penulis berjudul “Ketika Sajak Ini Kubacakan di Hadapanmu”.
Semangat menulis kembali bangkit di sela kesibukanku yang tiada henti, dimulai dengan menulis kembali cerpen dan puisi di koran lokal. Rasa berdebar terus menghantui ketika ruh menulis itu terus datang menghampiri, target untuk menulis di koran setiap bulan terlampaui saat cerpen dan puisi yang kutulis silih berganti di muat.
Aku mulai aktif di berbagai group kepenulisan dan mengikuti berbagai kurasi puisi dan antalogi cerpen, tanpa kusadari tahun ini begitu banyak kisah yang kutorehkan dalam tulisan-tulisanku. Aku kembali belajar dan belajar seperti pesan ibuku karena kita tidak dilahirkan bersama ilmu pengetahuan, namun terus belajar untuk menjadi lebih baik.
Mimpi masa kecilku menjadi kenyataan dan hadir tanpa disangka, takdir itu datang meskipun sempat tertunda karena Allah punya ketetapan sendiri untuk setiap mahlukNya. Rasa syukur ini tak pernah terhenti terucap, sungguh tahun yang sangat istimewa buatku. Aku dedikasikan beberapa tulisanku untuk kedua orang tuaku, keluargaku dan anak-anakku. Tak lupa terutama untuk Ibu yang memiliki peran besar mengajarku untuk menulis. Al Fatihah untukmu Ibu malaikat tak bersayap milikku.
Photo by Yohann Lc on Unsplash