Oleh: Nining Handajani
Lima belas menit sudah berlalu, lelaki paruh baya di depanku masih saja berucap lirih “Saya ngak ngerti harus apa”, kemudian menangis, menutup wajah dengan kedua telapak tanggannya, mengusap rambut, berakhir dengan menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Mendekati setengah jam, emosinya mulai terkendali. Kusodorkan sebotol air mineral dan mencoba membuka pembicaraan ulang. “Sudah lebih enakan ya pak?, boleh kita mulai?”. Lelaki itu mengangguk perlahan, “Tapi saya tidak tahu harus mulai bercerita dari mana, saya tidak tahu lagi harus bicara pada siapa”, ucapnya mulai dengan nada tegas sembari menghela napas panjang.
Lelaki ini mendapatkan nomor telepon seluler saya dari mantan klien. Beliau hanya meminta waktu luang untuk bertemu. Akhirnya kami sepakat menentukan jadwal. Usianya di atas empat puluh tahun, telah menikah lebih dari sepuluh tahun, dikaruniai tiga orang putra, dua yang pertama adalah kembar identik. Istrinya adalah teman satu kantor, walaupun beda divisi tapi aturan perusahaan tidak memperbolehkan sepasang suami istri berada dalam lingkungan perusahaan yang sama, menyebabkan istrinya mengundurkan diri dan mengabdi penuh suka cita menjadi ibu rumah tangga. Ibu kandung lelaki ini memilih tinggal bersama dengan anak, menantu juga ketiga cucunya. Hubungan antara ibu dan istrinya pun terjalin istimewa, bahkan seakan-akan anak kandung ibu adalah istrinya. Pernikahan mereka sangat harmonis, tidak banyak kendala dalam pernikahan mereka, semuanya berjalan mulus-lurus saja. Hingga awal tahun ini karena situasi pandemi yang berimbas pada perusahaan dimana lelaki ini adalah seorang manajer, harus menerima surat pemutusan hubungan kerja. Hari-harinya berubah total, tabungan keluarga mulai tergerogoti. Istri dan ibunya memilih inisiatif berjualan nasi bungkus murah meriah dengan harga tidak lebih dari sepuluh ribu yang dijual melalui media sosial dan kemitraan jasa kurir. Laris manis berujung kesibukan baru dalam keluarga mereka. Setiap hari, lelaki ini tetap memilih untuk keluar rumah, mencoba peluang kerja kembali, melamar kesana kemari, melakukan pendekatan pada teman-teman kuliah, saudara hingga mantan relasi perusahaannya. Hingga dua bulan sebelum memilih meminta jadwal bertemu dengan saya, lelaki ini merasa ada yang janggal dengan istrinya.
“Intim sekali mbak isi chattingnya” ucapnya dengan nada tinggi. “Seintim apa pak, isinya? Ada kata-kata atau kalimat yang tidak pantas maupun kurang senonoh?”. “Oh…ngak ada mbak, saya yakin istri saya tidak akan melakukannya. Agamanya kuat dan dia tidak mungkin mempermalukan dirinya sendiri”. Saya tatap mata lelaki ini, “lalu apa yang membuat bapak merasa istri bapak mulai tidak benar? Apa bapak pernah memergoki istri bertemu dengan mantannya?”. “Istri saya ngak seberani itu mbak. Istri saya ngak serendah itu mbak. Dia selalu pergi dengan ibu atau anak-anak saya. Pagi dia sibuk menerima pesanan dengan ibu saya. Yah…kira-kira sampai jam dua-tiga siang. Setelah salat Asar, istri dan ibu saya berangkat belanja untuk jualan esok harinya. Usai salat Magrib, mereka mulai masak. Setiap hari begitu. Mempersiapkan jualan untuk esok harinya dan hidangan makan atau camilan untuk kami sekeluarga. “Lalu apa yang bapak ragukan dari istri bapak?”. “Apa ya mbak, chatting nya dengan mantan itu apa kabar, lagi apa, salam buat suami. Dan mantannya juga sudah beristri. Istrinya sering beli nasi bungkus istri saya. Bahkan kapan hari istri saya bercerita kalau istri mantannya pesan untuk Jumat berkah dalam jumlah besar”. Saya hanya mendengarkan saja, lelaki ini terus bercerita tentang kesuksesan istri dan ibunya berjualan nasi bungkus. “Saya ini dulunya top manajer lho mbak. Logika saya terbiasa mengatur pekerjaan, melakukan kerjasama, koordinasi dengan banyak pihak. Tawaran kerja yang ada kok malah makelar mobil, rumah, rasanya ngak pantas untuk saya. Sekarang ekonomi keluarga ditanggung istri saya, sampai cicilan rumahpun dia yang tanggung, karena tabungan semakin menipis. Untung cicilan mobil dan motor sudah lunas, wah… ngak tahu lagi kalau masih ada”. Hingga akhirnya lelaki ini menghela nafas panjang, diam sejenak, mengembangkan senyumnya. “Mbak, saya cemburu ya, cemburu dengan kesuksesan istri saya. Saya mantan top manajer mbak, terbiasa berpikir kritis, kreatif, punya strategi dalam pengembangan perusahaan. Tapi perasaan saya rasanya ngak karuan waktu melihat chatting istri dengan mantan pacarnya”
Akhirnya kami ngobrol santai, mengalir begitu saja. Sadar merawat cinta, karena seimbangnya logika dan nurani mampu menciptakan rasa tenteram dan bahagia. Akhirnya lelaki ini pamit pulang. “Terima kasih mbak, terima kasih. Saya coba benahi power syndrome ini ya mbak, padahal istri saya sama sekali tidak pernah merendahkan saya. Dia tidak pernah mengeluh, bahkan banyak support dan doa buat saya. Kurang bahagia apa saya ya mbak. Kurang bersyukur apa ya, saya ini”, sambil membuka pintu ruangan saya dan melangkah keluar dengan wajah tersenyum.
chatting : fasilitas berbincang-bincang dalam bentuk pesan teks, pesan audio, pesan video, atau lainnya.
power syndrome : suatu kondisi kejiwaan yang umumnya diaalami oleh orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan, yang diikuti dengan menurunnya harga diri.
Support: bantuan
Photo by Jamez Picard on Unsplash