Life at Forties

Oleh: Dwayne

Aku pasti bisa sampai di tujuan dengan lompatan-lompatan kecilku (Dwayne)

Dalam usiaku yang mendekati kepala empat, Aku merasa hidupku telah cukup nyaman. Punya pekerjaan yang tidak terlalu menguras tenaga, membuatku mempunyai waktu yang cukup untuk menjaga rumah, suami, dan anak-anak. Tanpa pembantu memang terasa lumayan menguras tenaga, tetapi aku selalu bisa mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Suami dan anak-anakku mencintaiku karena Aku selalu ada untuk mereka.

Entah sudah keberapa ratus kalinya suamiku memgingatkan bahwa kuliah akan membuatku bisa mendapatkan karir yang lebih baik. Untuk kesekian kalinya, aku dapat menghindari tawaran untuk kuliah lagi. Peran pendidik, istri, dan ibu dengan menajeman waktu yang rumit membuatku harus berpikir berulang kali, sehingga timbul rasa enggan untuk keluar dari zona nyaman.

Sebenarnya nyaliku tidak seberapa untuk mengambil tantangan itu. Kuliah lagi? Aku pasti tidak akan mampu mengerjakan tugas-tugasnya. Sudah lama sekali aku tidak membaca buku-buku penelitian yang berat. Aku hanya mempelajari bahan-bahan ajar yang sepertinya tingkat kesulitannya hanya seujung kuku dari buku-buku bahan untuk kuliah.

Suatu hari, aku mendapatkan kabar yang kurang baik. Tempatku bekerja mengurangi jumlah karyawan dan aku termasuk yang dirumahkan. Sedih dan kecewa itu pasti, karena ini keputusan yang sepihak. Akan tetapi, aku berusaha menetralisir emosiku dengan segera membuat rencana kedepannya. Yang aku butuhkan adalah solusi.

Setelah melalui pertimbangan yang alot, sampailah kami pada keputusan bahwa aku harus segera daftar kuliah S2. Kebetulan, akhir bulan adalah penutupan pendaftaran program magister dan doktoral di kampus negeri, di mana aku berdomisili. Dengan ragu-ragu, aku mendaftar. Dalam hati masih ada pertanyaan besar, apakah aku nanti bisa lulus atau tidak?

Aku berusaha meringankan bebanku sendiri dengan mengatakan semua akan baik-baik saja. Selama aku segera mengerjakan tugas-tugas dari dosen, maka aku pasti tidak akan ketinggalan. Ya, ketinggalan seperti orang tua yang lemah otaknya. Itu sebutan dan image yang ditempelkan pada orang yang sudah lebih berumur dibanding teman-teman sekelasnya.

Sesal sempat terlintas di benakku, mengingat biaya untuk mendaftar kuliah tersebut tidaklah murah. Bisa lulus saja mungkin sudah untung menurutku. Bagaimana kalau nanti aku tidak bisa mengerjakan berbagai macam tugas yang diberikan?

Rasanya sudah terlambat jika mau mundur. Aku harus tetap maju. Aku pasti bisa sampai di tujuan dengan lompatan-lompatan kecilku.

Pengumuman penerimaan mahasiswa baru untuk jenjang S2 dan S3 sudah bisa di periksa di web. Aku sudah pasrah. Jika lulus ya alhamdulilah dijalani, tapi jika belum bisa membuka tempat kursus atau segera memulai impian untuk mempunyai sekolahan sendiri.

“Bagaimana, Jeng, hasilnya?” Suamiku juga penasaran dengan hasil tes pendaftaran kuliahku.

“Alhamdulilah lulus, Mas.” Aku menyodorkan ponselku untuk dia periksa sendiri.

“Syukurlah, jadi sekarang mulai fokus pada kuliahmu saja.”

Aku mengangguk menjawab saran dari suamiku, meskipun dalam hati masih ada keraguan bisa kuliah dan lulus dengan baik. Aku harus menghirup nafas dalam-dalam untuk menetralisir dadaku yang mulai sesak, tertekan dengan bayangan susahnya tugas-tugas kuliah. Lagi-lagi, aku menghibur diri dengan berusaha siap dengan tantangan kedepannya.

Dua minggu setelah melengkapi administrasi maka kuliah pertama dimulai. Pertama masuk kelas yang aku lihat adalah anak-anak muda yang masih usia dua puluhan. Banyak dari mereka yang masih baru lulus S1. Kami berkenalan dan berusaha dekat. Aku berusaha untuk percaya diri, berjanji dalam hati untuk kuliah sebaik-baiknya.

Aku selalu berusaha berani, tetapi masih sopan untuk menarik perhatian dosen. Aku ingin beliau mengenalku, berharap kami bisa dekat sehingga kalau aku punya kesulitan bisa langsung bertanya dan tidak diabaikan. Aku benar-benar terhipnotis dengan setiap mata kuliah yang aku ikuti. Tugas-tugas juga aku bisa kerjakan dengan baik, bahkan mungkin karena terlalu semangat, sehingga hampir semua tugas sering kuumpulkan terlebih dahulu dan menjadi tempat bertanya teman-teman sekelas. Kenapa bisa begitu? Rahasianya yaitu Aku ketua tingkat sehingga lebih banyak waktu untuk chatting atau telpon dengan dosen-dosen.

Singkat cerita, aku sangat menikmati kuliahku. Hingga penyusunan tesis, aku bisa mengatasinya meski penelitian tidaklah mudah. Sempat ditolak oleh tempat penelitian, revisi proposal yang tidak cukup cuma tiga kali, pernah membuatku putus asa. Sempat dua minggu berhenti menyentuh bahan thesis dan hanya nonton drama korea dengan maksud hati mau menyerah. Untungnya, masih ada suami dan anak-anak yang sangat pengertian dan berusaha menguatkan.

Akhirnya, Aku bisa seminar proposal pertama kali dari 250 mahasiswa satu jurusan. Suatu kebanggaan tersendiri. Tidak cukup sampai di situ, setelah jatuh bangun penelitian dan seminar hasil maupun tutup, aku lulus dengan predikat cumlaude. Menerima medali dan penghargaan dari kampus itu sesuatu banget, bagiku.

Bersamaan dengan itu, artikel ilmiah yang aku tunggu-tunggu terbit di google scholar, menambah deret kebahagiaan lebih panjang lagi. Teman-teman, keluarga, suami dan anak-anak mengucapkan selamat. Sungguh, ini benar-benar nyata. Membuat semangat untuk berkarya semakin berkobar. Benar, lompatan-lompatan kecil itu bermuara pada hasil yang luar biasa.


Photo by Joan Kwamboka on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *