Oleh: Widyaningsih
“Keren, tulisannya makin mantap, Mbak”
“Wah, nggak sayang Mbak tulisan-tulisan sebagus ini hanya ditaruh di beranda facebook? Nggak pingin dibukukan aja? Pasti banyak yang tertarik.”
“Ya, masih pingin baca kok udah habis aja, Mbak? Ya udah deh nunggu besok kelanjutannya.”
“Dasar, ngeselin. Bikin candu, pingin cepet-cepet baca lanjutannya. Selalu bikin penasaran.”
Begitu kira-kira komentar di beranda facebookku akhir-akhir ini. Aku yang hanya seorang ibu rumah tangga tersesat dalam dunia kepenulisan. Aku terperosok, hanya saja kali ini rasanya justru menyenangkan, sama sekali tidak menyakitkan.
2021 menjadi tahun yang berat bagiku. Aku kehilangan sosok terbaik dalam hidupku. Dia cinta pertama, role model, pahlawan, pelindung, pengayom, kakak bahkan sahabat bagiku. Bapak meninggalkan kami, lima anaknya dengan tenang. Sudah tidak ada lagi kesakitan di tubuh yang sudah mulai renta itu. Tidak ada lagi kesedihan di wajahnya karena kekasihnya yang telah meninggalkannya terlebih dahulu. Bapak sudah bahagia di sana bersama ibu. Meninggalkan ruang hampa dan kosong dalam jiwaku.
Rasanya nyeri. Luka tanpa bisa kubalut. Sakit tak berdarah hingga aku tak mampu memberinya obat merah. Kepergiannya menyisakan rindu yang menyakitkan.
Aku linglung dan kehilangan arah. Aku yang terbiasa full energi, tiba-tiba menjadi lemah tak berdaya. Hingga semua petuah dan nasihat Bapak memberondongku laksana peluru yang ditembakkan bertubi-tubi. Menembus ke dua bagian terpentingnya, otak dan hati.
Aku berusaha menerima. “Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Saat Izroil datang mengambil nyawa, tidak ada satupun yang bisa lari untuk menghindari. Toh, memang di dunia ini tidak ada yang abadi. Di sinilah justru kita mengumpulkan beban untuk di akhirat nanti.” Begitu ucapan Bapak yang terus berputar di kepalaku selama berhari, berminggu hingga berbulan-bulan. Aku berusaha memahami, karena sesungguhnya aku pun menuju ke sana. Hanya sedang menunggu antrean saja hingga saatnya tiba.
Kalau awal 2020 aku mulai menulis untuk branding diri, kali ini aku menulis untuk healing. Menuliskan kisah-kisah yang sudah kami lewati melalui larik-larik diksi. Entah itu prosa atau puisi, tujuannya satu. Mengenang dan membagikan hal-hal yang hanya berisi kebaikan.
Aku belajar terus tentang dunia menulis, tahun ini aku lebih fokus belajar menulis fiksi. Di sana aku bebas, menjadi sutradara dalam setiap cerita. Menuliskan kisah-kisah dengan akhir bahagia.
Aku mulai konsisten menulis setiap hari. Mulai dari 300 kata hingga seribu kata per harinya. Rasanya ada yang membuncah di dada. Rasa kembali hidup lagi. Semangatku kembali tumbuh, bahkan di saat diri ini diserbu rasa ketakutan karena aku, suami dan tiga anakku harus menjalani isolasi mandiri karena infeksi Covid-19. Ya, Virus Corona mampir ke rumah kami. Virus yang juga menjadi penyebab kepergian Bapak.
Aku tetap menulis dalam kondisi apa pun. Bahkan saat napas sedikit sesak dengan sekujur badan kesakitan karena ngilu persendian, semua tidak kuhiraukan. Karena dengan cara menulis juga aku berusaha meraih kesembuhan.
Aku ikut tantangan menulis tanpa henti. Bahkan bisa lebih dari dua atau tiga tantangan setiap bulannya.
“Mah, sibuk banget kayaknya?” tegur suami.
“Mamah kan sekarang jadi penulis, Pah. Keren ya,” celetuk si sulung.
“Menghabiskan jatah ngeluarin dua puluh ribu kata per hari, Pah. Dari pada aku pakai buat ngomelin anak-anak atau bergosip dengan tetangga, mending dipakai nulis. Bermanfaat dan yang jelas produktif,” kilahku.
Begitulah, aku harus bisa membagi waktu. Apalagi si bungsu yang masih lima tahun masih sangat butuh perhatian, karena saat ini, aku masih menjadi salah satu dunianya. Apa pun jadinya aku nanti, aku tetap ibu rumah tangga dengan segala fenomenanya.
Tulisan-tulisanku semakin berisi, lebih berkualitas dan ciamik. Setidaknya begitu tanggapan dari sahabat literasi dan juga para mentor. Bahkan, kadang saat aku membaca tulisan sendiri, dibuat tidak percaya, “Kok aku bisa menulis kayak gini ya?” Dari situ, aku sadar, semua pasti karena campur tangan semesta, yang memberi berjuta inspirasi dan kekuatan untuk menyampaikannya.
Aku merasa semakin hidup. Ide datang sederas hujan, tinggal menyiapkan wadah untuk tampungan. Satu hal luar biasa yang terjadi lagi, bulan ini buku solo pertamaku sedang naik cetak dan sebentar lagi aku bisa memeluk, menghirup lembar-demi lembar kertasnya, membaca lagi pesan-pesan kebaikan yang aku tuliskan di sana, hingga menghadiahkannya untuk orang-orang tercinta.
Tidak ada yang bisa diungkapkan selain alhamdulillah, syukur pada Yang Kuasa, karena tanpanya, semua ini tidak akan terjadi. Tanpa dukungan semesta dan kemauan dalam diri, mungkin aku hanya seorang ibu yang bosan sendiri di rumah, karena terus melakukan itu-itu saja setiap harinya. Tanpa keinginan, target, ambisi atau sedikit mimpi. Tapi dengan menulis, aku merasa bisa melakukan segalanya. Raga boleh tak ke mana-mana, tapi pikiran dan jiwa terus mengembara.
Photo by Adi Goldstein on Unsplash