Cerita dalam Sepiring Bontot

Oleh: Viesilmi

/Pengalaman adalah guru kehidupan terbaik
Dan ia tersebar dalam cerita hidup kita
/

“Waah, bontot!” teriak sulungku.

“Ade duluan!” ujar si Bungsu yang berhasil mencomot bontot pertama kali.

“Jatah Ayah jangan diabisin!” seru Pak Suami ikut berkompetisi.

Ketiganya lalu tampak asyik menyantap sepiring bontot yang terhidang di meja. Padahal asapnya masih mengepul, baru diangkat dari wajan.

“Bu Guru, bontot!” Teriakan Mang Yayan si penjual bontot keliling terdengat dari balik pagar rumah kami.

Sebenarnya berjualan bontot bukan profesi asli Mang Yayan. Sedari gadis, aku sering menjumpainya di agen koran Jalan Serang–Cilegon. Dari balik kaca bus yang kutumpangi, aku melihatnya sibuk mengemas koran dan majalah untuk diantarkan ke pelanggan. Namun, seiring berkembangnya dunia digital, profesinya pun perlahan ikut tergerus zaman. Pelanggan majalah dan koran berkurang. Akhirnya ia beralih menjadi penjual bontot.
‌‌
“Bun, beli nggak?” Pertanyaan suami membuyarkan lamunanku.
‌‌
“Beli aja, Bun. Kasihan!” ujar sulungku.
‌‌
Sulungku ini memang berjiwa sosial. Dia suka iba melihat penjual kecil atau pengemis yang ditemuinya.
‌‌
Aku melihat ke kulkas. Bontot yang kubeli kemarin, masih ada setengah. Namun, rasa tak enak membawaku melangkah menemui Mang Yayan.
‌‌
“Mang, bawa apa aja?” tanyaku.
‌‌
Dengan wajah berbinar, Mang Yayan turun dari motor bututnya. Lengkap dengan jaket bertuliskan salah satu merk kondang yang tak kalah bututnya.
‌‌
“Nih, Yayan hari ini bawa bontot, kropcok, sama baso ikan. Bu Guru mau borong?” tanyanya penuh harap.
‌‌
Lelaki 50 tahun lebih itu memang lebih suka membahasakan dirinya dengan Yayan, tanpa sapaan Mang atau saya.
‌‌
Aku mengerlingkan mata. Teringat besok adalah jadwal mengajarku di sekolah. Ya, pandemi di awal sampai pertengahan 2021 membuatku mengajar selang seling di rumah dan sekolah.
‌‌
“Bukan saya yang mau beli,” ujarku.
‌‌
aku melirik jam di dinding. Pukul 09.00 WIB. Waktunya istirahat zoom. Segera kukeluarkan ponsel merk Cina ini.
‌‌
“Sini kasih Titin dagangannya.”
‌‌
Dengan sigap Mang Yayan keluarkan dagangannya dari tas kanvas besar yang setia tergantung di jok motornya.
‌‌
“Ini Bu Guru!” katanya.

Dalam waktu singkat, barang dagangannya sudah tergelar di meja terasku.
‌‌
“Ok, tunggu!” responku singkat.

Kedua anakku terkikik melihatku yang bergaya bak food photograper. Aku kemudian memanggil keduanya untuk memilihkan foto yang bagus.

Mang Yayan yang sedari tadi duduk di lantai teras masih belum paham dengan apa yang kulakukan.

” Mang, sibuk nggak?” tanyaku.

Nggak Bu Guru. Nggak ada acara. Cuma kalau dagangannya abis, Yayan mau ke pasar beli daleman anak yang lagi mesantren. Trus Yayan anterin ke sana!” jawabnya antusias.

Aku mengangguk.

“Ya udah, ini foto dagangan Mamang saya kirim di grup jualan sekolah. Doain laku, ya!” kataku.

“Siap Bu Guru!” ujarnya sigap.

Tangannya langsung menengadah dan sibuk berdoa. Sementara mata dan jariku sibuk memainkan ponsel, menulis keterangan harga, kemudian mengirimkannya ke grup.

Mau bontot 2, Bu. Pesan dari Bu Santi.

Bontot 1, baso ikan 3 ya. Lanjut masuk pesan Bu Indah.

Bontot and kropcok itu apa, Bu Titin? Pesan dari Bu Murni.

Aku terbahak. Teringat bahwa temanku rata-rata orang rantau. Mereka kurang familier dengan nama makanan dari Desa Domas, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang ini.

Bontot kayak pempek lenjer. Dari tepung kanji dan ikan payus. Kropcok cemilan kayak kerupuk. Gurih dan empuk. Semua enaaak! Begitu promosiku.

Allah gerakkan hati teman-temanku. Dalam 15 menit, semua dagangan Mang Yayan terjual.

“Habis nih, Mang!” pekikku gembira. “Berapa semua?”

Mata Mang Yayan terbelalak. Seolah masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Beneran Bu Guru? Abis? Sebentar Yayan itung dulu. Mmmm…175 ribu, Bu Guru!”

Kuraih dompet di meja kerjaku.

“Nih!” ujarku. Kuserahkan beberapa lembar rupiah padanya.

“Alhamdulillah, makasih Bu Guru. Salam buat teman-temannya. Yayan mau ke pasar dulu, belanja buat ke pondok!” ujarnya girang.

Ia pun pamit dan berlalu dengan motor setianya. Aku memandang kepergiannya dengan haru.

Ucapan salam Mang Yayan kusampaikan ke grup jualan.

Masya Allah, senang bisa membantu. Balas beberapa teman.

Beberapa teman yang ketagihan, menyampaikan testimoninya cuma-cuma.

“Anak-anak saya pada suka, Bu Titin. Saya suka goreng sore-sore pas semua kumpul. Terus kita tukar cerita sambil nyomot bontot dari piring satu-satu. Eh ga kerasa, ludes, hahaha! Tar pesen lagi 5, ya!” ujar Bu Murni. Dia termasuk pelanggan setia bontot Mang Yayan.

Begitulah, hari-hari WFH-ku sering diisi dengan kedatangan Mang Yayan. Ia yang dahulu berkunjung tiap akhir pekan, kini dua hari sekali pasti mampir ke rumah. Terkadang aku membelinya untuk stok pribadi, titipan teman, atau untuk buah tangan khadimat kami yang pulang-pergi.

Mang Yayan yang kami kenal sejak lama juga tak sungkan berlama-lama di rumah. Dia suka bercerita banyak hal. Mulai dari rumah tangganya yang gagal, kehidupan barunya di Desa Domas, sampai penyakit jantung yang ia derita sejak lama.

“Bu, kok sekarang nggak suka nawarin bontot lagi?”

Pertanyaan Bu Murni si pelanggan setia menyadarkanku siang itu.

Oh iya ya, kok Mang Yayan gak suka mampir ke rumah? gumamku dalam hati.

Pembelajaran tatap muka yang dimulai September lalu mulai menyita waktuku. Ditambah kedua anakku yang bersekolah. Aktivitas kami full sekolah.

Ponsel Mang Yayan tidak aktif. Kakak-kakakku yang kerap didatangi beliau juga mengaku sudah lama tidak melihatnya. Tak ada diantara kami yang tahu persis alamat rumahnya.

Kubuka chat Mang Yayan terakhir kali akhir Agustus lalu. Ia mengabari sakitnya kambuh. Ia juga sampaikan permohonan maaf untuk keluarga kami.

Apakah Mang Yayan…? Ah, segera kutepis dugaanku. Kubacakan Al Fatihah bagi pria paruh baya yang suka berbagi pengalaman hidup itu.


Photo by Hobi industri on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *