Berhenti Hidup Agar Bisa Hidup

Oleh: Luluk Sobari

Pertengahan 2020 sampai awal 2021. Titik di mana aku jatuh ke lubang kemalangan yang tak pernah aku alami sebelumnya. Aku kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong. Sebagai pengangguran, tanpa tabungan, tanpa rencana, dan tanpa strategi.

Aku kemudian merasa hilang arah. Bukan lagi di persimpangan yang kebingungan harus memilih jalan hidup yang mana. Tapi aku merasa tersesat jauh di tengah hutan rimba yang tak berujung. Dan aku tak tahu harus bagaimana.

Saban hari, setiap kali membuka mata di pagi hari. Aku merasakan penyesalan tiadar tara. Menyalahkan pilihan-pilihan hidup di masa lalu. Menggugat saudara dan orang tua. Ujung-ujungnya meracau pada Tuhan karena menganggap Ia mengabaikanku

Berapa banyak tangis di sepanjang malam yang mengalir di pelupuk mata? Aku sudah tak mampu lagi menghitungnya. Tubuhku pun mulai mudah sakit dan mudah lelah. Overthinking, sensitif, gampang marah dan tersinggung sepanjang waktu.

Ibaratnya, masalah hidupku ini sudah seperti benang kusut. Aku tak sanggup lagi untuk mengurainya. Berkali-kali aku juga merasa, daya upayaku untuk bangkit telah direnggut. Entah oleh siapa. Aku juga seperti dilemparkan dari langit ke-7 ke jurang terdalam di bumi ini. Remuk redamlah seluruh tubuhku.

Bisakah kamu membayangkan menjadi diriku waktu itu kawan?

Mayat Hidup yang Tak Ingin Mati

Di tengah segala kekalutan yang terjadi, aku menyadari satu hal. Aku tak pernah benar-benar ingin mati. Meski berkali-kali aku merasa jika mati lebih baik ketimbang menjalani hidup seperti yang kualami.

Jauh di lubuk hati, terbersit sebuah doa. Tuhan tolong beri aku kesempatan. Doa tersebut tak pernah kurapalkan di bibir. Sembari menengadahkan muka ke langit gelap. Sebab diriku terlanjur menganggap, bukan hanya hidupku yang seakan mati. Doa-doaku pun juga tiada lagi berarti.

Di suatu pagi, aku tiba-tiba memutuskan untuk tak menyerah. Aku akan melakukan apa saja yang bisa kulakukan. Dan satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menulis. Yap, menulis dan berkebun.

Aku tak punya laptop, tapi aku punya HP yang masih bisa kumanfaatkan. Jadi aku kemudian memilih menulis dengan HP. Kebetulan aku juga punya blog yang terbengkalai. Itulah, aku telah mengabaikan keberadaannya karena terlalu berfokus pada permasalahan yang ada.

Memilih Hidup Saja Susah

Apa keputusan kecilku membawa perubahan? Iya, tapi tidak instan. Bahkan di awal-awal aku merasa tidak mengalami perubahan apapun. Aku bahkan berkali-kali kembali putus asa. Kembali menangis dan kembali over thinking. Parahnya, kadang aku semakin ketakutan. Apakah aku benar-benar bisa mengatasi semuanya?

Meski begitu aku tetap memilih untuk tak berhenti. Seperti apapun kondisiku, aku tetap saja pergi berkebun ke ladang. Selepas dari meladang aku tulis apa saja yang bisa kutulis. Tanpa kusadari, kedua kegiatan itu menjadi healing bagi tubuh dan pikiranku.

Ah, memilih hidup saja susah. Apalagi memilih mati bukan?

Bangkit Dari Kehidupan yang Seakan Mati

Perlahan, aku menyadari mulai menemukan jalan keluar. Peluang-peluang berdatangan semenjak aku memutuskan untuk terus menulis dan berkebun. Aku mendapat pekerjaan sebagai content writer. Meski penghasilannya tak sebarapa, tapi aku bisa membeli pulsa setiap bulannya. Sehingga kegiatan menulis di blogku terus berjalan lancar.

Aku juga sempat memenangkan lomba blog. Dua lomba sekaligus secara berturut-turut sebagai juara 2 dan juara 5. Hadiahnya bisa kugunakan untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan yang memang belum beres.

Sampai akhirnya aku tiba di satu titik yang menyadarkanku bahwa aku tidak boleh hanya sekedar bangkit dari keterpurukan. Tapi aku juga harus berhenti hidup agar bisa menjalani kehidupan di dunia ini dengan seutuhnya.

Berhenti Hidup Agar Bisa Hidup

Suatu hari, seorang teman menghubungiku via chat WA. Ia berkata kalau saya harus mengikuti sebuah program. Program tersebut mengajariku tentang inner child dan bagaimana caranya menyembuhkan inner Child yang terluka.

Satu poin yang yang bisa kuceritakan di sini adalah, program ini juga mengajariku tentang pentingnya menerima. Menerima sepenuhnya segala hal yang terjadi dalam hidupku, baik ataupun buruk. Sebelum memutuskan untuk bangkit dan menyelesaikan semuanya.

Lalu, apakah di akhir 2021 ini aku totally baik-baik saja? Tidak, sama sekali tidak. Aku terkadang masih didera rasa khawatir dan putus asa. Tapi porsinya sudah tidak banyak, tak lagi sampai mengganggu aktivitas keseharianku. Dengan kata lain, aku sudah bisa mengontrolnya dengan baik.

Semenjak program inner child yang aku ikuti. Penerimaanku terhadap jalan hidupku semakin besar. Aku tak lagi pernah menyalahkan siapapun. Perlahan aku juga belajar lebih fokus mencari solusi dan jalan keluar ketimbang fokus pada masalah yang menghampiri.

Kini, aku telah memutuskan untuk berhenti hidup agar bisa hidup. Maksudnya apa? Aku berhenti hidup dengan penyesalan dan ketakutan yang berlebihan. Sebaliknya aku memilih untuk hidup dengan lebih berani. Tak peduli sesulit apapun kehidupanku ke depannya. Aku akan menerimanya, aku akan menjalaninya, dan aku akan menaklukkannya.


Photo by Sam Poullain on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *