Aku Hidup Karena Aku Menulis

Oleh: Melly W

Namaku, Mella. Teman-teman biasa memanggilku, Mell. Orang bilang hidup itu keras, kejam dan saling mengungguli. Bagiku, hidup itu seperti poros waktu. Ia akan terus berputar selama napas berhembus. Segala masalah datang silih berganti, juga segala asa bergumul di pikiran. Dalam setahun, tiap peristiwa pasti saja mengiringi langkah kita dan tangkai pena pun menulis tiap kejadian sesuai takdirnya. Seperti jalan menulis yang membuatku hidup bahkan lebih dari sekadar hidup.

Siapa yang tak terharu melihat karya pertamanya hadir. Lalu karya kedua, ketiga dan selanjutnya. Menulis membuatku hidup dan menghidupkan kisah-kisah lalu menjadikannya abadi. Saat suatu peristiwa membawaku pada keterpurukan, membuat jiwaku mati, segala asa lenyap dan hidup seperti tak ada arti. Menulis menjadi terapi untukku. Ia mengajak segala rasaku menari di antara aksara. Mengumbar sedih dan pilu di tiap lembar. Terus dan terus kuulangi hingga aku kembali dapat berdiri tegak untuk melanjutkan kehidupan.

Hidup itu tak pernah sia-sia. Kitalah yang sering kali menjadikannya tak bermakna. Banyak kejadian di luar nalar aku saksikan, bahkan aku suka tak percaya tapi itulah yang terjadi dan semua atas kehendakNya. Banyak kisah kutuliskan. Merangkai kalimat demi kalimat dengan diksi yang indah. Aku jadi seperti Tuhan, di mana tiap kejadian akulah yang mengaturnya. Aku bisa mengubah yang baik menjadi jahat, begitu juga sebaliknya.

Dalam tiap karya tulis, aku bisa menjadi apa pun yang aku mau. Kata orang, penulis itu adalah orang dengan seribu profesi. Begitu juga dengan seorang editor. Mereka bilang kerjaan editor itu adalah kerjaan tingkat dewa. Bayangkan saja tingkat dewa! Berarti bukan orang sembarangan yang dapat melakukannya. Inilah pencapaianku. Bisa menjadi seorang penulis yang juga seorang editor. Bukan hal mudah aku meraihnya. Perjalanan panjang yang berdarah-darah dengan cucuran keringat dan air mata (hehehe… kedengarannya lebay, ya?)

Memang begitulah yang aku alami selama bertahun-tahun menjalani profesi ini. Masa terpuruk sudah aku lalui, dari diremehkan, dipandang sebelah mata sampai dikhianati teman. Ceritanya panjang dan itu amat menghantam mentalku. Untung saja aku masih punya teman-teman yang memberi semangat. Makanya, untuk ke depan aku harus lebih berhati-hati memilah dan memilih teman. Sahabat bisa jadi dialah musuh kita, dan musuh bisa jadi dialah sahabat sesungguhnya.

Berkarya bagiku tiada henti. Siapa pun akan kurangkul jika ingin belajar bersama. Ada yang bilang aku orangnya terlalu baik dan polos. Makanya banyak yang memanfaatkan. Apa betul begitu? Katanya sih betul, buktinya aku tidak sadar kalau di dalam komunitas yang aku miliki ada musuh dalam selimut. Biar sajalah, mungkin mereka betah dengan selimut yang aku sediakan hingga ingin memilikinya. Itu cerita tentang komunitasku.

Untuk sebuah tulisan, aku leluasa untuk membuat ending sesuai inginku. Anehnya, cerita yang aku tulis seringkali terjadi sesungguhnya. Sejak itu aku tak mau lagi mengakhiri kisah dengan kesedihan, kehilangan atau penderitaan. Sekarang aku selalu mengakhirinya dengan suka cita. 165 buku antologi bersama telah aku tulis dan beberapa novel kolaborasi juga ada. Novel solo baru 5 buku, terbilang sedikit, kan? Di penghujung tahun ini ada tiga buku solo yang akan terbit. Satu buku antologi cerpen, satu novel solo dan satu fiksimini. Borongan, ya? Hehehe…

Siapa sangka juga aku bisa menulis semua itu dalam waktu bersamaan? Itulah keinginan dibarengi tekad kuat untuk mewujudkannya. Apakah setelah itu akan berakhir? Tentu tidak. Bagaimana mungkin seorang penulis berhenti berkarya? Kalau pemain bulu tangkis, namanya menggantungkan raket, nah kalau penulis berhenti menulis apa namanya dong? Masa menggantungkan pena?

Itulah aku, dengan segala pernak-pernik kehidupan yang kulalui sebagai seorang penulis. Tak ada kata jenuh. Sampai aku bisa menulis karya yang membuat mata dunia terbuka (mengkhayal dulu boleh, kan?) Siapa yang tahu takdir Allah. Siapa yang tahu ketentuannNya. Jalani saja dengan indah. Menulis saja terus dengan kebanggaan menjadi penulis. Aku hidup karena aku menulis.


Photo by Thought Catalog on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *