Cerpen Trie Acieh: Warti si Penari Tayub

Udara malam kian terasa dingin. Warti mulai mengatupkan kedua tangan. Menggosok telapak tangan terus menerus. Setelah terasa hangat, ia menempelkannya pada wajah, membuat wajahnya merasakan hangat.

“Sudah malam, Nak. Ayo, masuk! Tak baik anak gadis malam-malam masih di luar rumah,” ujar bu Darmi.

“Bu … boleh Warti bicara sebentar?”

“Ada apa, Nduk. Tak biasanya sikapmu seperti ini. Apa ada yang menganggu pikiranmu?” Bu Darmi heran dengan sikap Warti–anak semata wayangnya ini. Selama enam belas tahun usianya, tak pernah sekali pun berkeluh kesah 

“Bu … besuk terakhir pembayaran ujian. Apa Ibu sudah punya uang?” Warti berkata dengan hati-hati. Ia sebenarnya tidak ingin menambah beban ibunya. Tak tega melihat ibunya membanting tulang berjuang menghidupi Warti dan Dono—adiknya. Berjuang seorang diri setelah dua tahun yang lalu bapaknya meninggal.

“Sabar, Nak. Besuk pagi sebelum kamu berangkat sekolah, Ibu akan ke rumah bu Dasri untuk meminjam uang.” Bu Darmi berusaha menenangkan pikiran Warti seraya mengajak masuk ke rumah untuk tidur karena hari telah larut  malam.

Keesokan harinya Warti bisa bernapas lega setelah ibunya menyerahkan uang untuk membayar biaya ujian. Warti sudah berulang kali ingin berhenti sekolah demi membantu perekonomian keluarganya. Paling tidak membantu agar ibunya tidak bekerja seorang diri. Namun, bu Darmi menolak mentah-mentah keinginan Warti tersebut.

“Bu … Warti berangkat sekolah dulu.” Warti mencium tangan ibunya. Perasaan lega karena bisa membayar biaya ujian akhir semester membuat langkahnya terasa ringan. Ucapan syukur berulang kali terlontar dari bibir mungil itu. 

“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa ikut ujian,” ucap Warti.

Warti selalu ingat pengorbanan ibunya. Ia tidak ingin mengecewakan orang yang paling disayang itu. Saat bu Darmi menasehati agar Warti belajar dengan giat, perintah itu dilaksanakan dengan keikhlasan hati. Terbukti Warti nilainya tidak  pernah mengecewakan, walaupun tidak yang terbaik di kelasnya.

Warti merasa heran saat pulang sekolah melihat pintu rumah tertutup rapat.  Terlihat sepi seakan tidak ada penghuninya. Bergegas Warti mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak ada suara balasan salam yang dapat ditangkap indera pendengarnya. Saat memegang gagang pintu, Warti langsung membukanya dikala mengetahui pintu tidak terkunci.

“Bu … Ibu dimana?” 

Warti mencari ibunya di dapur. Ruang dapur terlihat sepi. Tak dijumpai ibunya di sana. Saat melintas kamar ibunya yang tak terkunci, Warti menjadi penasaran. Betapa kagetnya saat melihat ibunya meringkuk di bawah selimut yang warnanya telah memudar sudah tampak usang dimakan usia. Entah sudah berapa tahun selimut itu menemani ibunya setiap  malam.

“Ibu …kenapa?” Warti meraba dahi ibunya. Tangan Warti  terjengat merasa  agak panas. Terlihat ibunya diam tak menjawab pertanyaan Warti. Selama ini tak pernah ia melihat ibunya seperti ini. Tadi pagi ibunya masih terlihat sehat.

“Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya kecapekan saja,” jawab bu Darmi lirih. 

Warti segera ke kamar dan berganti pakaiannya. Setelah salat Duhur, Warti bergegas mengambil air hangat untuk mengompres ibunya.  Menaruh handuk kecil yang basah ditempelkan ke dahi ibunya. Setelah kering, ia mengulangi hal yang sama sampai suhu tubuh ibunya dirasa normal.

“Bu, saya antar ke bu Bidan, ya?”

“Tidak perlu, Nak. Ibu hanya perlu istirahat.” Bu Darmi menolak ajakan anaknya itu.

Warti tak bisa memaksa ibunya. Ia hanya bisa pasrah, menurut apa yang diucapkan ibunya itu. Saat ini, ia sangat paham bahwa ibu tidak memiliki uang untuk memeriksakan kesehatannya. Memaksa pun rasanya percuma. 

Semenjak ibunya sakit, Warti menggantikan sebagian tugas ibunya di rumah bu Dasri. Pekerjaan membersihkan rumah dan menyetrika baju, bukanlah pekerjaan berat menurutnya. Warti sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan itu di rumah secara mandiri. Untunglah bu Dasri orangnya sangat baik, sehingga Warti bisa mengerjakan tugas ibunya sepulang sekolah.

“Istirahat dulu, Nak. Apa kamu tidak capek baru pulang sekolah langsung ke sini?” tanya bu Dasri saat melihat Warti sibuk mencuci baju di dekat sumur belakang rumah.

“Terima kasih, Bu. Tidak capek,kok. Ini sudah hampir selesai,” ujar Warti seraya tersenyum manis.

“Ya, sudah. Kalau capek, istirahat dulu baru bisa kamu selesaikan nanti.”

“Inggih, Bu.” Bu Dasri berlalu di hadapan Warti menuju taman samping rumah. 

Warti segera menyelesaikan tugasnya. Ia tak mau menundanya. Semakin cepat semakin baik. Apabila pekerjaan cepat selesai, ia akan mempunyai waktu luang untuk belajar. 

Sayup-sayup terdengar suara merdu bu Dasri yang menyenandungkan lagu atau gendhing Jawa. Selama di rumah bu Dasri, kesempatan untuk mendengar suara merdu ini terbuka lebar. Suara merdu ini, membuat siapa pun yang mendengar akan larut di dalamnya.

“Merdu sekali suara, Ibu?” ucap Warti tulus.

“Suara ini adalah asset utamaku, Warti. Lewat suara ini, Ibu bisa mendapatkan uang untuk biaya hidup. Kamu bisa lihat perubahan ekonomi, Ibu. Ini semua berkat suara emas ini.”

Warti mengangguk menyetujui pendapat bu Dasri. Setiap orang di desa ini pasti kenal dengan beliau. Orang luar kabupaten pun pasti kenal. Bu Dasri termasuk penari tayub yang terkenal dengan kecantikan dan suaranya yang merdu. Honor sekali pentas beliau pun bernilai fantatis.

“Apa kamu mau belajar menjadi penari tayub, Warti?” tanya bu Dasri.

“Ngapunten, Bu. Apa saya pantas belajar dengan Ibu?” Warti balik bertanya. Selama ini yang ia ketahui, belajar langsung dengan seorang penari tayub yang terkenal akan mahal biayanya. Ia tak layak belajar karena tak memiliki uang.

“Ibu lihat kamu memiliki bakat yang terpendam untuk nyanyi atau nembang. Kalau diasah lama-kelamaan bakatmu akan muncul. Kamu lihat pisau yang digunakan di dapur itu. Pisau itu akan tajam kalau diasah. Demikian juga bakatmu,” jelas bu Dasri.

“Kalau Ibu berkenan mengajari, akan senang sekali hati ini. Namun, bagaimana cara membayarnya, Bu?” Bu Dasri tertawa kecil mendengar jawaban polos Warti.

“Ha … ha …, lucu kamu Warti. Uang untuk apa? Bayar Ibu?” 

“Inggih, Bu.” Warti menjawab dengan menunduk. Ia merasa tak sanggup menatap mata orang yang berada di hadapannya.

“Kamu dan ibumu sudah seperti keluarga sendiri. Selama ini ibumu sangat berjasa mempersiapkan segala keperluan pentas. Anak Ibu, dua-duanya laki-laki. Tidak ada yang bisa meneruskan jejak sebagai penari tayub. Ibu mau mengajarimu karena kamu sudah seperti anak Ibu sendiri,” ucap bu Dasri.

Gembira itu yang dirasakan Warti. Hatinya campur aduk mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan bu Dasri. Ia sama sekali tak pernah bermimpi mendapat kesempatan ini. Ibarat kata “Ketiban Ndaru” mendapat durian runtuh.

“Apa kamu tidak malu menjadi penari tayub?” tanya bu Dasri.

“Mboten, Bu. Buat apa malu. Itu termasuk salah satu budaya yang harus dilestarikan. Kalau semua anak muda tidak ada yang melestarikan, pasti budaya ini akan hilang,” jawab Warti. 

Saat di sekolah guru sejarahnya menjelaskan tentang budaya daerah. Warti sangat tertarik sekali. “Tayub berasal dari kata ditata kanti guyub (ditata hingga menyatu, selaras, serasi, dan seimbang). Artinya melalui seni tari ini ada upaya pemberdayaan agar masyarakat makin bersatu dalam kebersamaan. Gerak tidak hanya diberi arti dari sudut estetikanya, melainkan menemukan filsafatnya. Sebuah tarian pergaulan yang disajikan dalam rangka menjalin hubungan sosial masyarakat dalam kesetaraan. Kesenian Tayub memanggul konten rohani; ekspresi ketulusan dan kejujuran.”

Semenjak ibunya sakit hingga sembuh, Warti tetap membantu di rumah bu Dasri. Setiap sore sehabis mengerjakan semua tugas rutinnya di rumah tersebut, Warti mempelajari cara menyanyikan lagu Jawa sesuai irama gendhing dan belajar menari. Rutinitas itu dilakukan tanpa mengesampingkan kewajiban utama sebagai seorang pelajar. Tak terasa waktu berjalan kian cepat. Warti sudah lulus dari SMA.

“Warti, kamu sudah lulus SMA. Tarianmu juga sudah lumayan bagus. Suaramu masih perlu diasah lagi agar lagu yang kamu lantunkan sesuai dengan cengkoknya. Agar kamu mendapat sertifikat untuk pentas, kamu harus kursus di tempat resmi. Nanti Ibu daftarkan dan jangan pikirkan biaya. Ibu yang akan menanggung semua itu,” ujar bu Dasri.

“Terima kasih, Bu. Entah bagaimana saya bisa membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Semoga Allah melimpahkan balasan berlipat ganda,” ucap Warti tulus sambil berlinang air mata. Cinta tulus dan pertolongan bu Dasri sangat banyak pada keluarganya. 

Setahun sudah Warti rutin mengikuti kursus. Hari ini merupakan hari bersejarah baginya untuk dikukuhkan sebagai seorang waranggono. Ia mengikuti upacara siraman waranggono. Ritual siraman bagi para sinden langen tayub yang diselenggarakan di sebuah pemandian di kecamatan Tuban. Upacara ini dilakukan setiap tanggal satu November. Dengan iringan tabuhan gamelan Jawa, ritual diawali dengan kirap sesaji dari halaman pemandian. kemudian di akhiri dengan neratas banyu dengan cara menenggelamkan kaki sebatas lutut dan mengilingi sendang widodaren. Ritual ini di percaya dapat mempercantik diri, suci lahir batin dan memberi keselamatan. Ritual siraman ini merupakan ritual yang harus dilakukan oleh waranggono junior untuk melangkah ke senior dan dari yang amatir menjadi profesional.

Warti merasa bahagia. Semua jerih payah dan usahanya tak sia-sia. Betul, usaha tak akan pernah menghianati hasil, Seminggu setelah acara tersebut, Warti berkesempatan diajak bu Dasri untuk mendampinginya pentas. Warti segera mempersiapkan diri. Ia tidak ingin membuat bu Dasri kecewa. Warti ingin menunjukkan kemampuan yang dimiliki setelah mengalami pahit getirnya berbagai ujian selama ini. Diejek temannya karena memilih sebagai penari tayub sudah biasa didengarnya saat masih SMA dulu.

“Warti, sudah siap?” tanya bu Dasri sesaat sebelum pentas.

“Sudah, Bu. Namun, saya gugup.” Warti meremas kedua tangan secara bergantian.

“Gugup itu biasa. Dulu, Ibu juga pernah mengalami seperti itu. Percaya diri dan berdoa agar apa yang kamu lakukan lancar.”

“Nggih, Bu.” Warti menarik napas memejamkan mata dan berdoa. Memorinya mengingat latihan demi latihan yang telah dilakukan.Ia yakin malam ini dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Terdengar suara pramugari (landhang) memberikan informasi kepada yang hadir di arena tayub tentang acara yang dilaksanakan. Pak Hardi selaku tuan rumah memiliki hajat mengkhitankan Rudi—anaknya. Warti mendapat kesempatan menari gambyong sebagai tari pembuka ucapan selamat datang kepada para hadirin. Tepuk tangan terdengar sangat meriah saat berakhirnya tari gambyong tersebut.

Selanjutnya pak Hardi maju dan duduk diapit oleh waranggana (direpeni) sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah. Pak Hardi memberikan amplop berisi uang saweran dengan gendhing Sri Rejeki dengan harapan rejekinya melimpah setelah hajatan selesai.

Tiba saatnya seorang pramugari membagikan sampur atau selendang untuk para penari dan bertugas mengatur jarak setiap penari di sekitar waranggana. Gendhing yang diminta pun bervariasi, ada pangkur, gambir sawit, ibu pertiwi, setyo tuhu, nyidam pentol, prawan Kalimantan dan lainnya. Itulah sebabnya Warti belajar semua jenis lagu agar bisa mendendangkannya saat ada yang meminta gendhing tersebut.

“Bagus, Nak,” ucap bu Dasri lirih saat Warti mengumandangkan gendhing sesuai permintaan hadirin. 

Warti puas bisa tampil hari ini. Ia masih harus banyak belajar mengatasi berbagai keributan kecil yang tadi terjadi. Saat ada penari yang bersenggolan dan perang urat. Saat mencium bau alkohol dari seorang pengunjung yang sedikit mabuk. 

“Berkahilah langkah pekerjaan in, Permudah jalan menuju sukses dengan cara yang halal,” doa Warti. Selama ini, Warti sudah mendengar image negatif yang mengiringi langkah seorang waranggana. Digoda oleh pengunjung yang ikut menari itu hal biasa yang tidak  perlu ditanggapinya. Warti ingin menunjukkan, ia seorang penari tayub masa kini yang mampu mempertahankan tradisi budaya dengan elegan.


Photo by Nuno Alberto on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *