Cerpen Riyan Suatrat: Titip Rindu di Hutan Pala

“Sebab kau harus Maluku untuk mencintaiku.” Ari Sombalatu.

Trian masih saja menolak ketika mama memintanya pulang kampung. Baginya kampung tempatnya berasal hanya dari pihak papa. Orang tua Trian menjalani perkawinan campuran.

Papa berasal dari daerah Jawa Timur sementara mama berasal dari sebuah pulau kecil yang terletak dalam gugusan Kepulauan Banda. Sebuah pulau kecil dan terpencil yang bagi Trian sama sekali tak bisa dibanggakan.

Setiap tahun jika merayakan lebaran Trian lebih memilih merayakannya bersama keluarga papa di Surabaya. Jika ditanya asalnya Trian pasti menjawab, “Jawa”. 

Pagi itu segala aktivitas gadis Sembilan belas tahun harus tertunda karena pertengkaran kecilnya dengan mama.

“Trian belum pernah pulang menjenguk nenek. Kasihan nenek kangen sama Trian.”

Trian justru cemberut. “Di sana enggak ada apa-apa, Ma.” Suaranya keras membela pendirian.

“Di sana ada nenek, tante-tante dan om-om, juga sepupu-sepupumu.” 

“Pokoknya enggak, Ma.” Tolaknya keras.

Papa yang mendengar pertengkaran itu memberi kedipan pada mama.

Mama paham dan mundur mengambil jarak.

“Nenek di kampung  rindu sama Trian seperti halnya nenek Mirah di Surabaya.” Suara khas papa menyurutkan emosi Trian.

Gadis itu agak sedikit melunak. Tapi bukan karena setuju untuk dibawa pulang ke kampung mama tetapi sekadarnya karena kedekatan Trian dengan papa dibandin mama.

“Trian harus mengenal semua tempat asal usul keluarga. Baik dari pihak papa maupun pihak mama. Keluarga mama adalah keluarga Trian juga. Mereka sangat baik. Mereka adalah orang-orang baik yang memiliki keturunan baik. Itulah mengapa dulu papa jatuh cinta sama mama dan memilih mama untuk menjadi istri Papa.”

Trian memandang lurus kedepan. Wajahnya sama sekali tak sedap dipandang. Pipinya menggembung mengakibatkan bibirnya maju beberapa senti membentuk cekungan.

Hari yang ditentukan tiba. Pukul sembilan pagi. Papa, mama, mas Handi,  mas Rama, dan Trian berangkat dari rumah. Mereka naik Ferry ke Banda Naira. Sebelum ada Ferry, angkutan yang melayani pelayaran Ambon-Banda-Tual-Ambon adalah kapal cepat. 

Selama dalam perjalanan papa selalu menemani Trian. Banyak hal yang papa ceritakan. Paling banyak tentang kenangan ketika papa dan mama pertama kali bertemu. Sesekali Trian tersenyum mendengar kisah cinta papa dan mama. Seperti menonton film Indonesia tahun 80-an.

Papa jatuh cinta dan mantap melamar mama pada waktu itu adalah karena latar belakang keluarga mama yang sangat baik. Trian sendiri mengakui keadaan itu. Mama adalah sosok perempuan—istri dan ibu—yang luar biasa. Bukan hanya pandai memasak, mengurus anak dan suami, tetapi karakter mama juga sangat baik, sopan, dan bersahaja. 

Ferry bertolak dari Pelabuhan Yos Sudarso Ambon pada pukul  sembilan lewat tiga puluh menit. Trian sudah sering melakukan perjalanan seperti ini, hanya saja bukan melalui jalur laut. Walaupun tinggal di wilayah perairan—wilayah Maluku 92,4% terdiri adalah perairan—sangat jarang bagi Trian melakukan perjalanan menggunakan transportasi laut.

“Sayang, antimonya sudah diminum?” tanya mama.

Trian menggeleng. Wajahnya masih masam. Yang teringat di kepalanya hanya kengerian naik Ferry. Ombak dan gelombang membuat gadis berkulit putih tak nyaman.

Wajah Trian memucat. Kepalanya mulai terasa pening. Napasnya memburu menahan mual yang mulai menyerang. 

“Itu akibat kalau melawan nasihat orang tua. Coba tadi minum obat anti mabuk,” ucap mas Handi dengan nada mengejek. Trian melotot. Kakaknya itu malah terkekeh.

“Sudah jangan bertengkar,” lerai mama tenang.

“Trian pusing? Mual?”

Dia mengangguk. Mama lalu membongkar isi tas tangannya. Mencari minyak kayu putih.

Punggung Trian segera dibalur minyak kayu putih, obat bagi segala penyakit dalam keyakinan orang Maluku. Mulai dari masuk angin, pusing, demam, hingga corona kecuali untuk penyakit yang  terakhir disebut masih belum terbukti tetapi, orang Maluku yakin minyak kayu putih benar-benar dapat menyembuhkan sakit-sakit ringan seperti yang disebut di atas.

Mendadak Trian bangkit dari tempat tidur dan berlari mencari toilet. Mama menyusul cepat. Trian sukses memuntahkan semua bubur ayam saat sarapan tadi.

Tiga kali mama harus mengantar Trian bolak balik toilet.  Wajahnya semakin murung. Seakan ingin mengatakan, “coba ke Surabaya. Enggak akan seribet ini.”

Kurang lebih sebelas jam perjalanan laut, ferry akhirnya tiba di Pelabuhan Banda Neira. Sebuah Pelabuhan dengan fasilitas sederhana. Dermaganya tak sebesar Pelabuhan Ambon. Bangunannya jauh dari kata modern. 

“Masih pusing?” tanya papa lembut.

Si bungsu menggeleng. Angin segar yang dihirupnya sedikit membuat wajahnya cerah. Rasa mual tak lagi terasa.  

Seorang buruh Pelabuhan dengan logat kental Banda Neira menyapa keluarga itu dengan sopan. Menawarkan jasa angkut barang. Setelah tawar menawar dengan mama mereka pun mencapai kesepakatan. 

Perjalanan dari Pelabuhan menuju rumah keluarga mama di Banda Neira memakan waktu hanya tujuh menit. Bukan menumpang kendaraan online, becak, pick up atau jenis mobil angkutan yang biasa dilihat Trian di Kota Ambon untuk mengangkut barang-barang mereka.

Sebuah motor modifikasi dengan tulisan Tossa menjadi alat mengangkut bukan saja barang tetapi juga mas Handi dan mas Rama. Kedua anak itu memang unik. Tak pernah gengsi atau pemilih. Berbeda denganTrian yang menolak habis-habisan rencana perjalanan ini, Handi dan Rama justru teramat antusias.

Trian, papa, dan mama,  masing-masing menumpang ojek menuju desa Nusantara. 

Mata Trian melihat banyak hal baru dan unik selama tujuh menit perjalanan itu. Bukan hal baru semacam subway, mall, atau jembatan layang artistik. 

Hampir semua bangunan masih bernuansa bangunan lama peninggalan zaman Belanda. Tembok-tembok hitam berlumut yang telah menjadi media tumbuh tanaman rambat.  Suasana yang tercipta dengan sendirinya terasa menghipnotis. Perasaan Trian berubah ketika ojek yang ditumpanginya melewati sebuah bangunan besar nan megah di depan sebuah hotel kecil. 

“Abang, itu apa?” tanya Trian pada si abang ojek.

“Itu Benteng Belgica,” jawabnya pendek.

Belgica. Nama itu langsung tertancap dalam otaknya. Benteng itu seakan menarik semua perhatian Trian. Membawanya melupakan rasa dongkol pada perjalanan itu.

Sesampainya di rumah bibi Nur, mereka beristirahat semalam kemudian besok pagi melanjutkan perjalanan menuju Pulau Hatta, tempat kelahiran mama.

Angkutan laut selanjutnya yang harus mereka tumpangi adalah sebuah kapal motor fiber yang dipasangi mesin jhonson. Oleh penduduk lokal, perahu itu disebut pok-pok.  

Panjangnya kurang lebih lima belas meter dengan lebar empat meter. Setengah badan pok-pok ditutupi atap menyerupai rumah-rumahan. Salah satu ujungnya lancip seperti atap rumah gadang. 

Ketika rombongan keluarga Trian tiba di Pelabuhan menuju Pulau Hatta—lagi-lagi sebuah Pelabuhan sederhana yang seakan dipaksakan menjadi Pelabuhan—kapal motor pok-pok sudah setengah terisi. Beruntung mereka datang lebih awal jadi masih mendapat tempat duduk dan leluasa menaruh barang di dek.

Sesungguhnya tak pernah ada penumpang yang ditinggalkan. Semua pasti diterima naik di motor laut khas itu. Hanya saja datang awal membuat kita lebih leluasa naik ke atas motor tanpa berhimpit-himpitan dengan orang dan barang.

Warga yang naik adalah orang Pulau Hatta yang berjualan di Neira—orang Banda menyebut Banda Neira dengan Neira. Mereka membawa sayuran, pala, kenari, papaya, jambu air dan apapun yang mereka tanam yang dapat dijual.

Kapal motor penuh dengan manusia dan barang. Angkutan lokal yang memuat warga dengan segala keunikannya. Mereka terlihat kusam, kucel, dan lelah.

Trian mematung di tempatnya duduk. Memandang risih pada keadaan sekitarnya. Papa yang sejak awal perjalanan selalu memperhatikan tingkah laku putrinya itu tenang dan yakin kalau putrinya itu akan menikmati momen liburan mereka. 

Di tengah perjalanan, kapal mulai oleng. Ombak bergelung-gelung datang menghantam. Mama sedikit kaget. Sudah lama dia tidak melakukan perjalanan laut seperti ini.

Trian kembali tegang. Wajahnya datar. Sangat terlihat kalau dia menahan diri agar tidak muntah. 

Perjalanan memakan waktu kurang lebih satu jam. Memasuki tanjung Cengkeh ombak semakin besar. Kapal oleng. Jantung Trian seperti melompat ke lautan. Tangannya memegang erat tangan mama yang duduk persis disampingnya.

Dari kejauhan Pulau Hatta terlihat. Mama seperti melupakan ombak dan gelombang. Wajahnya menatap takzim. Rindu dan Bahagia akhirnya dapat menginjak kembali tanah kelahiran.

Angin dan gelombang tak lagi memburu. Laut lebih tenang ketika kapal motor memasuki lagi-lagi jembatan seadanya di Pulau Hatta. Semua penumpang turun.

Trian menggendong ransel kebanggaan yang dibelinya di sebuah online shop. Katanya harganya mahal karena barang original. Begitu juga jaket dan sepatunya. Trian merasa lebih stylish dan modis di antara orang-orang pulau.

Banyak oleh-oleh yang papa dan mama bawa untuk keluarga di Hatta. Kakak dan adik mama banyak, semuanya ada sembilan orang. Mama anak keempat. Satu kakak mama telah telah meninggal ketika usianya masih lima tahun. 

Sesampainya di rumah nenek, mereka disambut seluruh keluarga besar.

Gadis itu benar-benar butuh penyesuaian. Senyumnya hanya sesekali, sekadarnya saja agar tak dikira sombong.

Nenek memeluknya dari kursi roda yang telah menemaninya sepuluh tahun terakhir.

“Bosan.” Wajah Trian cemberut lagi. 

“Mama bilang Ruri yah biar temani Trian jalan-jalan keliling kampung.” Saran mama polos.

“Enggak mau ah. Mau lihat apa di sini? Lagian panas banget. Nanti kulitku hitam,” jawab Trian ketus.

“Ke pantai saja. Trian kan suka pantai,” saran papa.

“Nanti aja agak sorean.” Trian lalu masuk kamar. Mengulangi aktivitasnya sejak tiba kemarin siang. Tiduran sambil main game. Tak ada signal di tengah kampung. Jika ingin menelpon warga akan pergi ke hutan pala.

Sore hari setelah matahari tak lagi garang mencurahkan sinarnya, Trian dengan dipandu Ruri, sepupunya, jalan-jalan ke pantai. Mereka melewati kumpulan pohon pala yang tumbuh rindang di sepanjang jalan. Areanya sejuk dan tenang. Sejauh mata memandang hijau dedaunan pala memanjakan mata siapapun yang melewatijalan setapak itu.

Mereka terus berjalan menuju area PLN Pulau Hatta. Jangan salah, jangan dikira karena ada PLN listrik di Pulau Hatta menyala seperti halnya di Kota Ambon.

Trian masih sangat shock ketika pertama kali mengetahui kalau listrik hanya menyala dari pukul enam sore sampi pukul sebelas malam. Semua hp, laptop, kamera harus buru-buru di charge jika tak ingin kehilangan kesempatan main game atau foto-foto keesokan harinya. 

Hari kedua Trian masih belum menemukan hal menarik di pulau tempat Bung Hatta biasa menghabiskan waktu untuk membaca selama dalam masa pengasingan di Neira. 

Hingga suatu sore saat Trian sedang bermain di pasir menikmati laut Hatta yang bergelombang. Matanya menangkap sosok yang hingga akhirnya membuat Trian menghabiskan waktu dalam kerinduan.

Sosok itu bukan tipe lelaki yang Trian lihat di pulau Hatta. Dia bermain akrab dengan sekumpulan anak sekolah dasar. Mereka bernyanyi dan sesekali terdengar lelaki itu melontarkan pertanyaan pada anak-anak.

Mata Trian tak lepas dari sosok jangkung di ujung sana. Walaupun sedikit jauh Trian dapat melihat lelaki itu berwajah tirus. Rambutnya panjang sebahu, lurus dan hitam. Sesekali terdengar suaranya bernyanyi memperbaiki kesalahan lirik lagu yang dinyanyikan anak-anak.

Setelah puas bermain air asin—sebutan orang lokal pada air laut—Trian mengajak Ruri pulang. Hatinya tak lagi tenang. Trian seperti terhipnotis pada sosok si lelaki misterius.

Setibanya di area pohon pala mereka disapa oleh seorang bocah yang tadi ikut bermain bersama lelaki misterius.

“Tadi belajar apa sama Kaka Joe?” tanya Ruri ramah. Membuka pembicaraan.

“Belajar membuat kolase dari bunga dan daun,” jawab si bocah

Oh Namanya Joe. Bathin Trian. Bukan nama orang kampung. Sejak tiba di Hatta Trian selalu mengkotak-kotakkan segala sesuatunya dalam gaya kota dan gaya kampung.

Lamunannya terputus demi mendengar percakapan Ruri dan si bocah.

“Besok ada kegiatan apa, Ican?”

“Belajar Bahasa Inggris.” 

Oh nama anak ini Ican. Lagi-lagi Trian membathin.

“Ya sudah. Pulang sana. Sudah sore.”

Sesampainya di rumah, Trian mendekati Ruri. Memancing sepupunya itu agar besok dapat mengikuti kegiatan belajar bersama Joe. Trian sungguh penasaran dengan lelaki berwajah indo yang tinggal di pulau terpencil yang jauh dari segala kemudahan di kota besar.

Tak seperti biasa sore itu Trian bersiap lebih awal. Kali ini wajahnya ceria. Papa mendapati perubahan itu. Rutinitas baruTrian bermain di pantai setiap sore membuat papa lega. Itu artinya anak gadisnya sudah dapat menerima lingkungannya dengan baik.

Setibanya di lokasi belajar, Ruri menyapa Joe. Lelaki itu ternyata sangat ramah. Bibirnya tak henti menyungging senyum. Sesungguhnya dalam keadaan diam pun, Joe dapat dengan teramat mudah memikat perempuan. Sorot matanya tajam tetapi teduh menghipnotis. Alisnya seperti diukir di salon kecantikan. Ah benar-benar membuat Trian tak nyenyak.

“Mengapa tinggal di sini?” tanya Trian suatu saat setelah mereka telah cukup akrab.

“Aku orang sini. Itu rumah nenekku yang aku tempati. Mamaku lahir besar di sini,” jawabnya bangga.

“Kamu bohong. Mana ada orang sini terlihat seperti kamu.” 

“Seperti apa?” alisnya mengernyit. 

“Wajah kamu seperti bule.”

“Lalu kenapa?”

“Mana ada orang Hatta cakep seperti kamu?” kata Trian bersemangat.

“Kamu pikir orang Hatta seperti apa?” cecar Joe.

Trian agak malu menyadari ucapannya. Tingkahnya jadi kikuk.

“Tapi kenapa kamu betah tinggal di sini? Listrik tidak maksimal, signal internet lelet, jauh dari ibukota. Tinggal di sini seperti balik ke zaman penjajahan. Tak ada pembangunan di sini,” lanjut Trian mencoba mengalihkan pembicaraan.

Pembicaraan mereka terhenti karena papa meminta Trian menghabiskan waktu lebih lama bersama tante Henny dan anaknya. 

Kesempatan itu digunakan Trian untuk mengorek informasi lebih banyak tentang Joe dari tante Henny.

“Joe itu bapaknya orang Belgia, mamanya orang Hatta. Joe lahir di Belgia sana. Apa nama tempatnya itu, Tante Hen tidak tahu.”

“Lalu mamanya Joe di mana?”

“Di Belgia bersama bapaknya.”

“Oooh … “

“Trian sudah kenal Joe?” 

“Iya, Tan.” Wajah Trian memerah. 

“Kenapa dia mengajar anak-anak di sini? Apa dia guru?” tanya Trian lagi.

“Dia bukan guru. Hanya saja dia suka mengajar anak-anak di sini. Trian tahu sendiri, sekolah di sini tidak lengkap fasilitasnya tidak dan kekurangan guru. Jadi sejak Joe datang ke sini dia selalu membuat kelas tambahan. Mereka belajar macam-macam. Bahasa inggris, matematika, bahkan beberapa bulan lalu anak-anak itu diajarkan membuat kursi dan meja dari botol bekas yang diisi sampah plastik.”

“Ecobrick.”

“Iya itu dia. Nama pakai Bahasa Inggris. Tante Henny susah sebutnya.”

“Namanya itu Joe Patra. Teman-temannya dari Ambon biasanya memanggilnya Paet. Tante Henny bingung nama Joe Patra jadinya Paet.”

Trian tersenyum melihat keluguan kakak dari mamanya itu. Diantara teman-temannya hal demikian biasa terjadi. Nama asli yang bagus dan indah pemberian orang tua berubah menjadi panggilan lucu bahkan aneh. 

Joe Patra. Bathin Trian. Nama itu selanjutnya diketahui kekal abadi di dalam hati Trian. Wajah indonya bukan saja menampilkan tipikal bule dengan wajah pucat dan totol-totol. Wajah Patra—panggilan khusus Trian—adalah perpaduan sempurna gen aristokrat Eropa dan gen melayu yang teduh dan bersahaja.

“Pernah enggak kamu merasa bosan tinggal di sini? Enggak ada apa-apa yang jadi hiburan. Kampungnya juga sepi apalagi pas malam. Kesannya malah horror.”

Joe Patra tersenyum. Tidak terlihat manis tetapi menimbulkan kekuatan magis. Tarikannya membuat trian betah duduk berabad-abad di sampingnya sembari menemani dia mengajar.

“Hatta adalah tempatku. Di sini aku akan hidup dan menghidupi orang-orang. Membangun harapan bersama anak-anak sekolah di ujung kampung sana.”

Trian tersentak mendengar perkataan Joe. Sebuah tekad yang bagi Trian mustahil. Dia adalah gadis kota. Jiwa dan raganya sudah terikat kuat dengan gsegala emerlap kota, hiruk pikuk dan arus informasi. Trian tak mampu membayangkan dirinya menetap di tempat seperti Hatta. 

Joe suka membuka kelas di antara rindangnya pohon pala yang tumbuh subur di sepanjang jalan pemisah antara Kampung Lama dan Kampung Baru. Saking banyaknya pohon pala di sana Trian menyebutnya Hutan Pala. 

“Hatta adalah hidupku.” Kalimat itu yang terus Joe ucapkan. Hatinya telah benar-benar terpatri pada kampung kecil dalam gugusan kepualaun Banda.

Hingga saatnya Trian dan keluarga harus Kembali ke Ambon, Joe melanjutkan hidupnya dengan mengajar anak-anak, mengembangkan penelitian membuat sabun, aromatherapy dari daging buah pala. Cita-citanya adalah memajukan perekonomian warga setempat. Banyak potensi di sana hanya belum tersentuh kemajuan zaman. 

Pemerintah pun masih belum peduli. Pembangunan benar-benar tak tampak di sana. 

Trian menatap nanar pulau Hatta dari kejauhan. Rindunya telah dia titipkan di hutan pala. Tempat segala rasa untuk Joe Patra lahir dan hidup di hatinya. Rindu yang pada akhirnya hanya bisa dititipkan di antara rerimbunan pohon pala. 


Photo by Erik van Dijk on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *