Namanya Radista. Aku masih kecil saat pertama kali mengenalnya. Sejujurnya aku tidak terlalu mudah mengingat orang-orang, tetapi aku mengingat Radista dengan baik. Radista tingggal sendirian di rumah kecil di seberang rumahku. Dulu, setiap pagi ibu pasti mengantar makanan ke sana. Saat aku bertanya alasannya, ibu hanya mengatakan bahwa kita harus berbagi.
Maka hari kanak-kanakku dipenuhi kenangan aku yang mengekor di belakang ibu sambil memegangi ujung roknya, saat mengantar makanan ke rumah Radista. Ibu memang tidak melarangku ikut, tetapi juga tidak mengizinkan masuk. Ibu selalu meminta agar aku menunggu di luar.
Meski begitu aku selalu bisa mengintip dari sela-sela daun pintu yang dibuat jarang-jarang. Di dalam rumah itu sangat gelap, tidak ada jendela, penerangan hanya berasal dari celah-celah pintu tempatku mengintip. Dari sela-sela papan aku bisa melihat Radista duduk. Namun ada yang aneh. Kedua kakinya dimasukkan dalam sebuah kayu berlubang yang membuat kakinya seolah-olah terbagi dua mulai dari pergelangan kaki. Setelah besar aku tahu, gelondongan kayu itu bernama kayu pasung.
Saat badanku sudah sedikit lebih tinggi, dan berbagai pertanyaan tentang Radista tidak bisa terbendung, ibu masih saja diam tapi akhirnya mengizinkanku ikut masuk ke dalam rumah Radista. Aku membantunya makan, menyisir rambut bahkan membersihkan badannya. Radista suka berbicara dan bernyanyi sendiri. Ia Hanya menyanyikan satu lagu. Aku tidak yakin lagu itu benar-benar ada atau hanya hasil rekaan saja karena aku aku tidak bisa menemukannya di kolom pencarian daring mana pun.
Lhoksuemawe jalan Kutaraja
Kutaraja tepinya lautan
Bila dipandang ke kiri dan ke kanan
Hati sedih diiring tangisan
Meski ingatanku payah, tetapi aku masih ingat lirik lagu yang sering dinyanyikan Radista. Balok kayu pasung yang menyandera kakinya membuat Radista tidak bisa kemana-mana. Aku bahkan ragu, apakah dia bisa berjalan dengan baik. Kegiatan Radista hanya dua. Berbicara sendiri dan bernyanyi sendiri. Dia tidak acuh dengan dunia sekitar. Dia bahkan tidak terganggu dengan gelapnya ruangan. Namun, sesekali aku bisa menangkap raut wajahnya menengadah ke langit-langit dengan pandangan menerawang.
Hari demi hari berlalu, ibu tidak lagi ikut mengurus Radista. Aku senang melakukannya dan aku sendiri yang memintanya kepada ibu. Saat aku meminta, ibu tampak berkaca-kaca.
“Benar kamu mau melakukannya sendiri?” tanya ibu kala itu yang langsung kutangggapi dengan senyum sumringah. Aku senang, meski aku tidak tahu mengapa saat itu aku lihat mata ibu tampak basah.
Sejak ibu mengizinkan, aku sangat menikmati hari-hari bersama Radista, saat dia bernyanyi aku ikut bernyanyi. Meski hanya satu lagu berulang, dia tidak bosan. Aku juga. Saat dia berceloteh asal, aku mendengarkannya.
Dia berbicara banyak hal seolah dia tidak pernah terkungkung di ruang gelap. Aku juga mulai menuliskan celotehan-celotehan yang dilontarkannya. Ada saat dimana Radista bercerita seolah semua kisah yang diceritakannya sangat nyata yang membuatku berhenti menulis dan kemudian mendengarkannya dengan penuh minat.
“Ada seorang gadis,” katanya sambil tersenyum.
“Dia suka bertualang. Dia pergi ke hutan menemui suku-suku pedalaman di Mentawai,” Radista berhenti sejenak sambil menyingsingkan lengan bajunya. Dia memandangi lengan atasnya lama. Dalam bayang ruangan yang samar, aku bisa melihat seberkas goresan tinta hitam menempel di kulitnya.
“Dari Mentawai dia mendapat hadiah tato.” Aku semakin tertarik menyadari dia berbicara tentang dirinya sendiri. Kisahnya di masa lalu. Kami melewati hari itu dengan cerita tentang hari-harinya bersama suku pedalaman yang unik itu. Saat Radista bercerita, aku bisa melihatnya sangat bahagia. Aku rasa itu salah satu hari-hari terbaik dalam hidupnya.
“Mereka itu tinggal di atas pohon,” Aku langsung paham dia berbicara tentang perjalannya yang lain,” anak-anak digendong dalam tas rotan, telinga mereka dibebani anting-anting berat hingga daunnya memanjang dan berlubang sebesar biji kacang tanah.” Lalu dia menyibak rambut yang menutupi telinganya. Aku sering melihat lubang antingnya yang besar itu saat menyisirnya. Aku tahu dia berbicara tentang salah satu suku di pedalaman Kalimantan.
Pada kesempatan lain, dia berbicara tentang kisahnya dengan suku pedalaman di Jambi. “Mereka memanjat pohon yang sangat tinggi yang sudah didoakan sambil membawa obor berasap lalu mereka turun sambil membawa kantung-kantung berisi madu. Semua bergembira. Si Gadis ikut menari bersama mereka.” Lagi-lagi dia tersenyum saat mengisahkannya.
Masih banyak kisah lainnya, tentang pantai-pantai , pengalaman makan ulat yang keluar dari batang pohon, tentang suku yang tidak pernah menggunakan alas kaki, sampai pada mayat-mayat yang dipelihara tanpa dimakamkan selama bertahun-tahun. Aku masih kecil saat itu, tetapi ceritanya justru memantik gairah petualanganku.
Semua kisah menarik itu mengantarkanku pada pertanyaan besar. Dia begitu menikmati hari-harinya. Aku tidak memahami mengapa dia berhenti melakukannya.
“Kenapa berhenti berkelana?” Aku mencoba menyuarakan kebingunganku. Namun, Radista hanya diam. Pertanyaanku hanya dibalas dengan tatapan kosong. Tidak ada lagi cerita menarik tentang perjalanan. Aku menyesal telah bertanya. Meski demikian, aku tidak beranjak. Selama seminggu, hari-hari kami dipenuhi oleh sepi yang damai. Sembari menunggu, aku menuliskan kisah-kisah yang pernah diceritakannya dalam catatanku.
Seminggu berselang, lagu Lhokseumawe kembali terdengar. Aku tahu Radista sudah kembali dan aku bersemangat ingin mendengar celotehannya.
“Sangat mudah pergi ke Madura,” katanya sambil merampas buku dan pulpen di tanganku lalu membuat sebuah lingkaran besar. “Ini aku.” Dia memosisikan pensil itu di sisi luar lingkaran. Dia menuliskan kata “Madura“ di dalam lingkaran.
“Aku mau ke Madura,” katanya sambil mengangkat pensil dan meletakkannya di dalam lingkaran, “dan sekarang aku sudah di Madura.” Kami tertawa setelahnya, sangat lama, seolah itu adalah lelucon paling lucu di dunia. Dia sudah sering menceritakanya sejak aku kecil, tetapi tetap terdengar lucu bagiku.
Aku sering mengikuti kebiasaan Radista sebelum memulai perjalanan, aku selalu melakukan hal yang sama. Membuat lingkaran besar, menuliskan tempat tujuanku lalu menirukan tindakan Radista dengan narasi yang sama.
Dua hari yang lalu Radista melanjutkan kisah yang belum selesai saat aku menyelanya.
“Si gadis,” kata Radista memulai ceritanya. “Dalam perjalanan ke Paser, bertemu seorang laki-laki dan mereka saling jatuh cinta. Mereka menghabiskan waktu beberapa lama berpergian bersama.” Radista kini membelai lembut perutnya.
“Suatu hari, si gadis mulai merasakan ada yang berbeda pada tubuhnya. Dia memberitahukannya kepada si lelaki, yang menyambutnya gembira. Beberapa bulan sebelumya mereka telah menikah dengan adat Mentawai sebelum memutuskan pulang untuk mengabarkan kepada keluarga.” Radista menunduk sejenak sambil tetap membelai perutnya dengan sayang.
“Tetapi, kepulangan mereka hanya untuk mendapat kabar bahwa kakak-kakak mereka sudah menikah. Adat tidak mengizinkan dua orang kakak beradik saling menikah dalam dua keluarga. Itu adalah aib besar. Mereka tidak boleh bersama. Untuk mencegah hal ini, si lelaki dinikahkan paksa dengan seorang gadis pilihan orang tuanya dan si gadis dikurung di dalam rumah.”
“Hari demi hari berlalu. Baik si gadis dan si lelaki tidak pernah bertemu. Suatu malam, si lelaki menyelinap ke tempat si gadis di kurung. Mereka bertangis-tangisan dan kemudian berkasih-kasihan memuaskan dahaga rindu. Mereka juga sepakat akan melarikan diri. Mereka yakin, mereka akan hidup tenang di tengah suku-suku pedalaman yang mereka temui dalam perjalanan mereka.” Aku menahan napas ikut larut dalam kelamnya kisah Radista.
“Sayangnya rencana mereka tidak berjalan lancar. Tengah malam, mereka ketahuan sebelum sempat melarikan diri. Si lelaki diseret dan dituduh zina. Hukum adat mengharuskan pezina laki-laki harus dilempari batu sementara pezina perempuan dilempari kotoran, lalu mereka dikucilkan.” Aku menahan napas. Perbuatan seperti itu hanya sanggup dilakukan orang yang paling biadab.
“Malam itu dua lingkaran penghukuman adat berhasil menghilangkan nyawa seorang manusia hingga merenggut si lelaki, sementara si perempuan berlumuran kotoran, tidak kalah mengenaskan.” Radista kini bercucuran air mata. Aku semakin mengutuk perbuatan itu dalam hati.
“Kepergian si lelaki membuat si gadis seolah kehilangan nyawa. Dia tidak lagi memiliki gairah. Dia kembali dikucilkan dan dikurung dalam sebuah rumah kecil. Bulan-bulan berikutnya keluarga mendapati si gadis telah berbadan dua. Adat mengharuskan seorang yang hamil karena zina harus ditenggelamkan demi membuang sial. Si gadis sudah banyak berkelana, tapi tidak ada tradisi membunuh manusia yang lebih kejam daripada yang dihadapinya.”
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku ingin memeluknya sekaligus takut Radista kembali tidak mengacuhkanku. Jadi, aku hanya diam meski sudut mata tidak kuasa membendung tangis. Lalu hal yang tidak terduga terjadi, jari-jari lusuh Radista membelai wajahku dengan tatapan yang seakan meruntuhkan pertahananku.
“Jangan menangis,” katanya yang semakin membuatku terisak. Aku menangkupkan tangan kananku pada jari-jari kurusnya. Dia masih membelai wajahku sambil terus bercerita.
“Keluarga si gadis menyembunyikan berita itu dari masyarakat. Si gadis merasa bahagia saat melihat putri kecilnya lahir. Namun, satu hal yang tidak kuasa ditanggungnya adalah saat dia dipisahkan dengan bayinya. Si gadis yakin dia akan kuat menjalani hari-hari tanpa cahaya di rumah kurung asalkan ia bersama dengan bayi dan semua kenangan indah akan si lelaki. Tanpa semua itu, dia hanya sesosok yang tidak berarti.”
Aku mengerti, si gadis yang dimaksud adalah Radista sendiri yang kini tengah yang bercerita sambil bercucuran air mata. Dia mulai kehilangan semua kesadarannya saat dia dipisahkan dengan bayinya. Selanjutnya bisa ditebak. Dia akan menjadi meracau dan menjadi sedikit sinting, aku juga akan mengalami hal yang sama jika aku menjadi Radista. Semuanya menjadi masuk akal sekarang, itulah alasan Radista terkurung di tempat ini.
Jika sebelumnya aku takut menjangkau Radista, kali ini aku menghambur memeluknya seerat yang dimungkinkan kedua lenganku. Radista tidak menolak, dia menciumi pipiku berkali-kali dan aku membalasnya. Hari itu, dengan segenap perasaan, kami bertangis-tangisan mengisi kesunyian dalam ruang gelap seperti dua orang yang sekian lama merindu hebat.
Setelah memelukku, Radista meraih tanganku dan menggenggamya erat.
“Aku menyayangimu,” katanya sambil mencoba mengulas senyum. Di antara isak tangis, aku juga mencoba mempersembahkan senyum. Aku ingin dia tahu aku juga begitu menyayanginya.
“Adisti ….” Untuk pertama kalinya dia menyebut namaku. Meski terkejut, aku tidak bisa nenutupi raut bahagia. Aku memeluknya sekali lagi dengan erat. Begitu banyak cinta, begitu banyak kejutan. Aku ingin tinggal selamanya.
“Bayi itu begitu berharga, jika suatu saat kamu bertemu, katakan kepadanya bahwa dia bukan kesalahan, dia bukan anak haram karena dia lahir dalam ikatan pernikahan. Katakan kepadanya, ayah ibunya sangat menyayanginya.” Aku mengangguk, euforia kebahagiaanku lantaran Radista menyebut namaku untuk pertama kali, membuatku tidak memperhatikan makna lain dari ucapannya.
Dua hari yang lalu, dia memintaku meninggalkan pulpenku. Aku dengan senang hati meninggalkannya di sana bersama selembar kertas yang aku robek dari catatanku. Sore itu aku pulang dengan hati berbunga-bunga dan tidak sabar untuk menemui Radista keesokan harinya.
Namun, saat akan mengunjunginya kemarin, aku mendapatinya terduduk sayu dengan kepala tertunduk. Rumah tanpa cahaya itu sunyi. Tanpa senandung lirih tembang lawas Lhoksuemawe yang biasa. Di dekat gelondongan kayu pasung yang menjerat kakinya, sebuah pulpen tergeletak berlumuran darah hampir mengering. Darah yang mengalir dari urat nadi di pergelangan tangannya. Radistaku, teman, sahabat sepiku, ibu periku, pendongeng kisah primitif itu sudah tiada. Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku selain kehilangan hebat yang begitu menyiksa.
Pagi ini, sehari setelah pemakaman Radista, ayah bertengkar dengan Ibu. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi saat ayah melampiaskan kemarahan kepada ibu tentang kematian Radista. Yang aku tahu, aku meminjaminya pulpenku dan keesokan harinya aku kehilangan Radista. Aku sungguh menyesal, kemarin kuhabiskan waktu seharian mengakui dan mengutuk ketololanku di depan ayah dan ibu. Aku yang membunuh Radista.
“Harusnya Disti tidak boleh bertemu Radista. Sejak awal aku sudah mengingatkanmu.” Suara ayah terdengar seperti menahan amarah hingga aku bisa mendengarnya dari dalam kamarku. Aku memberi celah pada pintu kamar agar aku bisa menyaksikan pertengkaran mereka. Ayah dan ibu duduk saling berseberangan dibatasi oleh sebuah meja kecil. Ibu menghadapku sementara aku hanya bisa melihat punggung ayah.
“Kepergian Radista bukan salah siapa-siapa. Itu adalah takdir.” Ibu berbicara tegas meski aku bisa merasakan kesedihannya saat berbicara tentang Radista.
“Adisti tidak boleh tahu apa yang terjadi sebenarnya, “ Suara ayah terdengar lagi meski kali ini menjadi lirih.
“ Ia hanya akan semakin terluka, Rin.” Nada putus asa Ayah justru membuatku semakin bingung. Mereka berbicara tentang aku dan Radista, harusnya aku berhak tahu, ‘kan? Mengapa aku tidak seharusnya bertemu Radista, mengapa aku harus melupakan Radista perlahan-lahan? Aku tidak ingin melupakan Radista
“Kita sudah kegilangan Sony, kita kehilangan Radista, aku tidak mau sampai kita kehilangan Adisti juga.” Kini ayah sesenggukan dengan hebat. Aku hendak keluar untuk menenangkan ayah saat ibu berdiri lalu menepuk pundak ayah sambil memeluknya. Aku mengurungkan langkah.
“Lupakan semua masa lalu, kita adalah orang tua Adisti, kita yang mengasuhnya sejak ia lahir. Disti tidak akan meninggalkan kita. Percayalah.”
“Benar begitu?” Ayah bertanya lagi seolah masih butuh diyakinkan.
“Iya. Kamu ayahnya, dan aku ibunya. Soni dan Radista…. ” Ibu berhenti sejenak sambil menyusut air mata, “ ya…, mereka hanya adik-adik nakal yang mengantar Adisti. Radista melahirkan Adisti untuk kita.” Ibu memeluk ayah semakin erat seiring dengan tangisannya yang semakin tidak terbendung. Saat ibu menengadah pandangan kami bertemu dan mukanya menjadi pias.
Aku tidak kalah terkejut dengan apa yang baru saja kudengar. Badanku seketika menggigil hingga gemetar. Di antara isak tangis, kesadaran lain mulai ribut di kepala dan menamparku dengan hebat . Aku tersungkur tidak bisa menahan bobot tubuh. Radista adalah ibu kandungku. Sepasang kekasih yang menikah di Mentawai yang dikisahkan Radista adalah orang tuaku. Radista mengenaliku dan Bayi itu yang dititipkan pesan cinta itu adalah aku. Dadaku sesak oleh perasaan ngeri yang mulai tak tertanggungkan. Kegilaan macam apa ini?
Photo by Ben White on Unsplash