Sakit, hatiku sakit jika semua berjalan seperti ini. Semua menggonggong seperti menolak kemauanku. Semua tidak pernah mendukung keinginanku. Aku ingin menangis dan tidur hingga tak ada jadwal bertemu teman-teman. Biar! Aku tidak peduli dengan jadwal dan apapun. Ah! Pokoknya tidak mau ke sekolah lagi!
Aku memeluk bantal dengan erat, sangat erat hingga detak jantungku terdengar, dan sedikit menggeser permukaan bantal yang aku peluk. Sepertinya air mataku juga telah menetes membuat basah. Tidak peduli. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kemauanku tercapai. Aku telah mengambil keputusan untukku sendiri. Bunda pernah bilang kalau aku harus bisa menentukan jalan hidupku sendiri.
Hari ini adalah satu bulan sebelum kelulusan SMA. “Ingin kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah,” kataku. Namun, tadi siang saja saat aku menjawab pertanyaan, teman-teman justru mencemooh jawabanku. “Pilihan yang aneh,” kata Aldo dengan nada suara keras dan pasti terdengar sampai kejauhan. Teman-teman dari jauh menatapku, membuat bingung. Bu Amanda yang menjadi harapanku agar tidak dipermalukan karena jurusan yang aku ambil tidak populer. Justru membalas dengan mengernyitkan dahi sambil bertanya balik “Jurusan apa itu?” dengan tambahan pertanyaan “Kenapa tidak ambil Jurusan Matematika saja biar bisa jadi guru?” Aku malu setengah mati. Ampun! Tidak betah! Apalagi kata Bela dan Siska, aku disuruh mengambil saja jurusan yang jelas. Mengambil Jurusan Manajemen biar menjadi pengusaha, atau mengambil Jurusan Pendidikan biar menjadi guru. Sungguh, aku ingin melempar mulut mereka berdua dengan buku paket yang tebal agar diam. Tapi tidak mungkin itu terjadi.
Setelah itu, rasa kepalaku begitu berat sehingga aku hanya menundukkan wajah. Begitu lama aku melakukannya di hadapan Bu Amanda dan teman-teman. Sedangkan saat aku menunduk, tiba-tiba air mataku menetes. Aku melihat satu tetesan membasahi lantai. Dua, dua tetes. Tiga. Hatiku kacau dan aku pusing harus berbuat apa. Bu Amanda bertanya. Tapi aku diam. Karena Bu Amanda pasti membuatku malu lagi jika aku bicara dengannya. Langsung saja kakiku lari ke dalam kelas dan aku menyembunyikan tangisanku di balik tas. Untung saja buku yang aku bawa banyak sehingga tas milikku membesar dan tidak ada yang tahu jika aku menangis di baliknya.
Tapi aku ingin Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Ming, kamu akan mendukungku bukan? Kamu tidak akan menggonggong seperti mereka kan? Aku tahu, kamu selalu ada di posisiku. Kenapa kamu diam saja? Jawab aku. Kali ini aku membutuhkan jawabanmu. Jangan hanya mengeong saja Ming. Ayolah …, kali ini aku ingin jawaban yang berbeda dari teman-temanku. Andai saja kamu bisa bicara.
Ah, tidak. Air mataku semakin banyak yang menetes. Aku yakin sklera mataku sudah berwarna merah saat ini. Tapi ini bukan salahmu, kucingku. Ini salah teman-teman dan Bu Amanda. Kamu tahu Ming, tiba-tiba wajahku terasa panas saat tadi siang Bu Amanda dan teman-teman memberi pertanyaan bertubi-tubi tentang jurusan yang aku pilih. Aku sudah seperti kue di dalam oven. Wajahku berubah warna menjadi merah. Panas. Bingung. Kacau dan dipermalukan.
Ming, kamu ke mana Ming? Kamu ke mana? Kenapa tiba-tiba lari?
Aku menyusul kucingku yang tiba-tiba pergi. Hanya sampai tengah pintu kamarku saja yang berhadapan ruang tamu. Tapi aku tahu jika si kucing kesayanganku ternyata kelaparan. Haha, aku lupa memberinya makan. Aku melihat Bunda sedang memberinya makan sambil berbicara sama Ayah di dapur.
Oh, iya! Bunda! Aku bicara saja sama Bunda mengenai jurusan yang ingin aku ambil. Pasti Bunda setuju jika aku mengambil jurusan kuliah yang tidak populer di sekolahan. Pasti Bunda mendukungku, karena tidak pernah sama sekali Bunda mengecewakanku.
“Ada apa Citra? Kenapa kamu di sana? Kamu ingin makan juga?” kata Bunda sambil tersenyum.
Suaranya keras karena kami berjauhan. Ya ampun! Aku langsung berteriak bilang tidak apa-apa. Lalu menyembunyikan mataku yang sembab. Tidak ada waktu mengambil tisu untuk mengelap air mata.
Tapi, mungkin Bunda akan mendukung keinginanku mengambil jurusan yang tidak populer? Aku akan menanyakannya! Tidak peduli meski Bunda sedang sibuk bicara dengan ayah.
Aku mengambil tisu dan mengelap bekas air mata. Setelah wajahku benar-benar tidak terlihat seperti anak menangis. Aku berjalan menuju Bunda di dapur. Melewati pintu kamarku dan beberapa kursi di ruang tamu berwarna cokelat. Hanya saja, tiba-tiba aku memutuskan untuk duduk di kursi setelah melihat sekeliling. Foto saat wisuda bunda di dinding, mengingatkanku jika Bunda dulu kuliah di universitas Jurusan Matematika. Persis seperti kata Bu Amanda! Juga, Kinan pacarku sendiri saat aku pulang sekolah memintaku mengganti jurusan kuliah Matematika.
Aku terdiam di atas kursi. Meringkuk dengan napas terasa sesak. Berulang-ulang aku berusaha menghirup udara seperti biasanya. Namun rasa sesak itu tetap ada, malah menjadi-jadi dan membuatku kesusahan bernapas. Bahkan rasa sepi seperti mengguyurku dengan kejam di rumah yang besar ini. Apakah aku benar-benar seperti landak yang tak punya teman? Apakah benar jika aku telah memutuskan hal yang salah?
Tubuhku terasa menggigil. Jantungku terasa berdetak kencang. Menyakitkan. Aku hanya bisa meringkuk di atas kursi. Hingga akhirnya air mataku menetes lagi. Aku sangat takut. Apakah hidup ini memang seperti bajingan ….
“Kamu kenapa Citra sayang? Kamu ada masalah ya? Sini-sini, peluk Bunda. Bunda bersamamu sayang. Kamu kenapa? Gak apa-apa kan?”
Bunda? Kenapa Bunda bisa tahu kalau aku di sini menangis? Kenapa Bunda ke ruang tamu? Aku tidak ingin Bunda tahu kalau aku menangis. Apalagi Bunda dulu pernah kuliah Jurusan Matematika. Jurusan yang populer dan disukai banyak orang.
Tapi …, hangat.
Pelukan Bunda begitu hangat aku rasakan. Setelah beberapa waktu Bunda memeluk, meski aku hanya diam dan menangis. Bunda tetap memelukku begitu lama. Membuat seluruh tubuhku terasa nyaman. Rasa hangat yang menenangkan. Tidak seperti hangatnya masuk oven yang membuatku ingin menangis. Kali ini berbeda.
Bun, aku ingin bicara jika hidup berjalan seperti bajingan. Seperti landak yang tak punya teman. Citra merasa kesepian karena tak ada yang mendukung keinginan Citra. Citra takut, Bun.
“Tidak apa-apa jika Citra tidak mau cerita sama Bunda. Yang penting, kamu baik-baik aja di samping Bunda,” ucap Bunda lirih.
Seakan Bunda tahu mengenai apa yang aku rasakan. Pikiranku kacau. Aku tak mengerti banyak hal. Tapi, semua pikiran seperti berenang di kepalaku.
“Bun?” resahku bertanya.
“Kenapa sayang? Citra baik-baik aja kan? Bunda di samping Citra.”
“Citra ingin kuliah Jurusan Pendidikan Luar Sekolah.”
“Hmm …, kenapa? Bukannya bagus kalau Citra punya pilihan sendiri. Berarti Citra sudah mandiri. Sudah semakin dewasa. Itu kan baik.”
“Tapi teman-teman sampai guru Citra gak mendukung pilihan Citra.”
“Mungkin pilihan teman kamu memang beda-beda, sayang.”
“Tapi pilihan jurusan kuliah Citra enggak populer!”
“Daripada memikirkan pilihan mereka. Citra dengar kata hati aja. Itu lebih baik daripada melupakan hati kita sendiri. Kamu mau Bunda jelaskan sesuatu?”
“Apa Bun?”
“Citra sama Bunda dari dulu hidup di Kediri. Kami tahu? Ada seorang pahlawan yang dimakamkan di sini. Di Selopanggung. Namanya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tan Malaka selama hidupnya juga sering sendirian. Juga, banyak orang yang tidak suka dengannya. Tapi dia selalu mengikuti kata hatinya. Dia juga orang baik dan selalu belajar. Hingga akhirnya Tan Malaka bisa menjadi pahlawan Indonesia. Kamu tahu? Dia jadi Bapak Republik Indonesia!”
“Bapak republik?”
“Iya. Juga, Tan Malaka bisa menguasai delapan bahasa yang berbeda meski dia memilih jalan hidupnya sendiri. Dia mengikuti kata hatinya. Dia selalu belajar dan menjadi sangat pintar.”
“Bukan cuma bahasa Indonesia?”
“Bukan. Tapi delapan dan berbeda-beda. Bunda yakin, kamu bisa seperti Tan Malaka. Cerdas, dan bisa hidup bermanfaat asalkan mengikuti kata hati.”
Aku mengangguk dalam pelukan Bunda.
“Bukan menjadi orang yang sukanya hanya cerewet dan marah pada pilihan orang lain!”
“Ya! Bukan cuma cerewet!” kataku Mantap.
Sedikit demi sedikit, Bunda menolongku dari rasa menggigil yang menyiksaku. Kata-katanya bagaikan semangat yang membuatku bisa bangkit. Hangat, dan melegakan. Mungkin, aku sudah tidak lagi takut kalau teman-teman benci jurusan yang aku pilih.
Aku tidak peduli.
Aku tidak peduli asalkan Bunda bersamaku.
Hmm ….
“Tapi, Bun. Kalau aku dibilang keras kepala teman-teman gara-gara enggak peduli perkataan mereka?
“Hmm …, Tan Malaka juga keras kepala. Bunda juga keras kepala. Kalau kamu tidak peduli. Berarti kita semua keras kepala. Haha.”
Aku tersenyum dan memeluk Bunda semakin erat setelah dengar jawabannya penuh tawa. Jika Bunda bilang begitu. Sudah aku pastikan kalau keras kepala bukan sifat yang buruk. Aku yakin. Karena Bunda adalah orang yang baik.
Apalagi jika keras kepalanya sesuai dengan perasaan di hati.
*Cerpen ini terinspirasi oleh lagu berjudul “Bertaut” by Nadin Amizah
Photo by engin akyurt on Unsplash