Cerpen Iecha: Moko Tahun ke Tujuh

[Moko bagus, ya?]

Pesan singkat di LAN Messenger itu mengalihkan perhatianku dari mencari toko cokelat terlezat di Praha. Aku segera membuka lampiran yang dia kirimkan. Kini, di layar komputerku muncul gambar pekatnya langit malam dengan titik-titik putih serupa bintang berserakan. Lekas aku balas pesan singkatnya tadi.

[Iya. Keren banget.]

[Kapan-kapan kita pergi ke situ, yuk?]

Eh? Kita?  Aku bengong beberapa detik.

[Kak Meta katanya ada mobil. Muat kok berenam. Nanti patungan bensinnya aja.]

Aku menghembuskan napas yang tadi sempat tertahan. Pergi bersama gank, maksudnya, bukan pergi berdua. Hampir saja aku gede rasa. Beruntung aku masih sadar kalau yang aku hadapi adalah Krishna. Cowok itu bukan tipe yang suka memberi kode, meskipun kata-katanya sering membuat bertanya-tanya.

“Kris!” panggilku, setengah berteriak.

Dia—yang duduk di deret tiga bangku ke tiga—menoleh seraya memamerkan senyumannya. “Oke?”

“Boleh kirim foto-fotonya lagi, nggak? Gue pikir-pikir mending bikin majalah tentang Bandung aja, deh. Deketan.”

“Siap! Dengan senang hati!”

“Sekalian informasi tentang Moko, ya. Rewrite dulu.”

“Heh, ngobrol pake LAN aja sih, kalian!” tegur Bang Jeffry, ketua kelasku.

Aku cuma lempar cengiran sebelum kembali fokus ke komputer. Tab  pencarian di layar berubah dari Praha ke Bandung. Berbagai situs yang menyediakan informasi tentang obyek wisata di Kota Kembang itu kini terpampang, menunggu aku buka. Aku memilih Tangkuban Parahu sebagai bacaan awal. Terlintas ide di otakku untuk memasukkannya di rubrik sejarah karena aku akan memasukkan Moko liputan utama.

Jangan salah sangka, aku bukan redaksi majalah. Tempatku saat ini juga bukan kantor. Aku sedang berada di tempat kursus desain digital, dan membuat majalah adalah tugas akhir kelompok. Aku sekelompok dengan Krishna, Kak Meta, dan orang yang menegurku tadi—Bang Jeffry. Saat mengambil undian tema, kami mendapat pariwisata. Mereka juga menunjukku sebagai pemred hanya karena pernah jadi tim redaksi buletin sekolah.

Sewaktu menentukan kota mana yang akan kami angkat di majalah, aku mengusulkan Praha. Aku tergila-gila dengan kota bernuansa klasik itu. Menelusurinya lewat Google saja sudah membuatku merasakan duduk manis di Wenceslaus Square atau menikmati aroma pembawa kebahagiaan di museum cokelat.

Tidak ada yang protes. Bang Jeffry dan Kak Meta ada di tim pokoknya-ikut-saja. Sedangkan Krishna, yah, kami memang seperti berbagi sel otak. Dia juga suka kota itu dan kami pernah piknik bareng lewat Google Earth sebelum teman-teman datang. Hanya, dia memberikan alternatif jika pencarian kami mentok: Bandung.

Pesan di LAN Mesengger muncul lagi. Krishna menghujaniku dengan foto Moko lengkap dengan pesan agar aku mencari dengan kata kunci Bukit Bintang. Aku balas pesannya dengan ucapan oke, kemudian kembali menelusuri sejarah meletusnya gunung Tangkuban Perahu.

Namun, pikiranku masih berada di Moko meski di depanku tengah tersaji informasi letusan freatik Tangkuban Perahu pada 1910. Imajinasiku menggambarkan aku dan Krishna berada di antara orang yang menikmati keindahan malam dari Moko. Hanya kami, tanpa Bang Jeffry, Kak Meta, Sunny, dan Dimas. Lekas aku memukul kepalaku saat khayalan itu semakin pekat. Aku harus segera kembali pada materi Tangkuban Perahu sebelum terjebak pada baper yang tidak perlu.

Meski aku akrab dengan teman sekelas dan punya gank berenam, tapi kedekatanku dan Krishna seakan ada di frekuensi yang berbeda. Obrolan kami selalu seru, apalagi jika sudah membahas kesukaan. Seperti aku katakan tadi, kami seperti berbagi sel otak.  

Ya, ya, aku memang edikit menyimpan rasa untuk Krishna. Obrolan kami seakan berada di frekuensi yang sama. Terlebih jika sudah membahas kesukaan, seolah kami berbagi sel otak.  Di pagi hari sebelum teman-teman datang, dia sering menyanyikan lagu kesukaan kami dengan suaranya yang merdu. Aku merasa mendapat keistimewaan mendengar nyanyiannya karena jika sudah ada teman lain yang datang, dia tidak bernyanyi lagi.

“Lo kenapa, Shir?” tanya Bang Jeffry. Mejanya ada di kanan belakangku.

“Puyeng, Bang.”

“Kris, Shira puyeng, nih! Gara-gara lo, pasti!”

“Ngobrol pake LAN aja sih, Bang,” balasku, mengulang perkataannya tadi.

Fokusku kembali pada catatan gunung Tangkuban Perahu meletus. Aku tidak peduli pada reaksi Krishna setelah Bang Jeffry meneriakinya seperti itu. Sebisa mungkin aku bersikap biasa dan mengenyahkan rasa yang aku simpan untuk Krishna. Yah, setidaknya untuk saat ini, sebelum urusan gunung meletus terbengkalai.


“Aku mungkin akan bilang cinta setiap hari. Kamu jangan bosen, ya?”

“Kenapa?” tanyaku, sambil menatapnya.

“Karena begitu adanya. Kamu juga jadinya nggak perlu khawatir tentang perasaan aku.”

Wajahku menghangat, meski rasanya aku juga ingin menoyornya karena gombalan receh itu. Lekas aku kembalikan pandanganku pada hamparan langit malam yang seolah tanpa batas seraya menyembunyikan senyum. Dia terkekeh di sebelahku.

“Pasti terasa hambar, sih. Tenang aja, aku akan kasih kejutan di hari-hari yang nggak kamu duga.”

Moko malam ini. Khayalanku saat kursus dulu seakan mewujud nyata. Aku di sini, bersamanya, menikmati indahnya langit malam dengan taburan bintang dan kerlip lampu rumah penduduk.  Aku bukan indigo yang dapat meramal masa depan. Khayalanku hanya sebatas khayalan yang segera aku musnahkan. Namun, Krishna menjadikannya nyata. Tahun lalu, saat piknik bersama gank, dia mengungkap isi hatinya.

“Kamu nggak keberatan, kan?” lanjutnya.

Aku menggeleng pelan sambil merapatkan jaket yang aku kenakan. “Apa aku harus bilang juga?”

“Nggak usah. Itu bukan kamu. Aku lebih suka kamu nyaman dengan apa yang kamu lakukan.”

Begitulah Krishna. Mungkin salah satu hobinya adalah memastikan aku merasa nyaman. Setahun ini, selalu itu yang dia lakukan. Kadang aku pikir, sepertinya dia tahu lebih banyak tentangku dibanding diriku sendiri. Dia tahu cara memperbaiki mood-ku yang berantakan, sedangkan aku selalu gagal dalam hal itu. Entah dari mana dia bisa mengetahuinya, aku tidak ingin bertanya banyak.

Jika saja tadi dia tidak berucap seperti itu dan meminta mengucap cinta setiap hari, mungkin aku akan mengusahakan. Selama ini aku tidak pernah merasa berjuang untuknya. Selalu dia yang berjuang, bahkan mungkin berjuang meyakinkan dirinya sendiri. Aku tahu ia kesulitan sebab tidak sekalipun aku berucap cinta untuknya. Aku cenderung pasif meski jantungku selalu berdetak lebih cepat, bibirku secara otomatis melengkung ke bawah, dan mataku membentuk bulan sabit karena ucapannya.

Katakanlah aku tidak serius dalam menjalani hubungan ini. Aku memang menyimpan rasa sejak masih kursus, tapi tidak berani berharap banyak. Krishna empat tahun lebih muda dariku. Cowok seusianya cenderung mencari yang lebih muda atau seumuran karena masih ingin bermain-main. Sedangkan, aku berada pada usia yang mengharuskan berpikir serius tentang pernikahan.

Aku tidak tahu di mana kapal ini akan berlabuh. apakah akan bahagia bersama atau kami memiliki cinta yang lain. Terlalu banyak pertimbangan yang membuatku gamang, hingga dalam perayaan setahun kami aku hanya berharap kami dapat merayakan anniversary ke-dua di tempat ini lagi. Jika kami memang ditakdirkan untuk yang lain, aku ingin menikmati kebersamaan dengannya dulu hingga benar-benar lelah.

“Kalian mau nginep di sini?”

Suara Bang Jeffry membuatku menoleh. Cowok berambut belah tengah itu sudah berdiri di sebelah Krishna. Aku melirik jam di ponsel. Sudah lebih pukul satu malam. Pantas saja udara terasa dingin. Aku sebenarnya masih ingin di sini karena pukul dua nanti langit malam sedang indah-indahnya. Namun, teman-temanku bisa mengamuk. Yah,kami ke sini satu gank lagi, bukan berdua.

“Nanti dong, Bang! Jam dua langitnya bagus. Lo kalau foto bisa dapet yang keren banget,” ucap Krishna.

“Gue sih, mau aja, tapi Meta, Sunny, sama Dimas gimana?”

“Sewain tenda. Ayo sama gue.” Krishna berdiri sambil mengibas debu di celananya, kemudian menjulurkan tangannya ke arahku. “Ayo ikut, Beb.”

“Aku di sini aja,” tolakku, enggan melepas pemandangan indah ini.

“Aku nggak mau kamu diculik genderuwo.  Nanti yang jadi ibu anak-anakku siapa?”

“Heh Bocil, lamar aja, sih!” seru Bang Jeffry.

Aku tidak ingin menanggapi ucapan itu. Cukup dengan kekehan saat melihat Bang Jeffry menendang bokong Krishna. Tendangan itu pelan, Hanya Krishna yang banyak drama seolah-olah ditendang sekuat tenaga. Tidak lama keduanya juga terkekeh, dan Bang Jeffry mengacak rambut Krishna, gemas.

“Lamar, Cil! Lamar! Pegel gue jadi satpam dua bocil pacaran.”

“Gue bukan bocil ya, Bang!” protesku.

“Lo bocil juga! Udah berapa kali gue dianggap om lo?”

“Balik dari sini gue lamar deh, Bang. Kasian abang gue yang baik hati ini.”

“Halah! Lo pikir gue percaya? Ayo sewa tenda, deh! Kasian mereka.”


[Beb, besok kan hari Sabtu,]

Pesan singkat itu singgah di ponselku, tepat saat aku baru merebahkan diri, penat usai seharian bekerja dan terhimpit di KRL. Aku tidak tahu maksudnya mengirim pesan itu. Kalau tadi dia Jum’atan, sudah pasti besok Sabtu. Krishna bukan orang yang terbiasa membicarakan rencana malam Minggu. Dia suka yang spontan.

[Iyap, bener.]

[Kasih tahu Ayah besok aku mau ketemu beliau.]

[Kan udah sering ketemu.]

[Emangnya kamu nggak capek pacaran melulu?]

Tiba-tiba kepalaku pening. Aku tahu maksud pesan Krishna. Seharusnya aku senang karena perjalanan ini akan menemukan akhir bahagia. Aku pun tidak ragu untuk melangkah bersamanya, menemaninya hingga ujung usia. Hanya dengan membayangkan kami memiliki keluarga kecil saja hatiku sudah menghangat.

Namun, ayah pernah menyatakan ketidaksukaannya pada Krishna. Masih jelas di ingatan saat suatu malam ayah menyidangku tentang hubunganku dan Krishna. Bukan ayah berharap kami segera melegalkan hubungan, tapi ayah memintaku menjauhinya.

“Ayah nggak suka kamu pacaran sama Krishna!” kata ayah, waktu itu.

Aku nyaris terlonjak dari sofa waktu itu. Pernyataan ayah tidak pernah aku antisipasi. Melihat ayah dan Krishna sering ngobrol di ruang depan tentu membuat harapku melambung. Aku pikir ayah sudah menerimanya. Namun, apa yang aku dapatkan hari ini sungguh berbeda.

“Kenapa?” tanyaku, tercekat. Hampir saja kata itu tidak dapat keluar dari tenggorokanku.

“Shira, kamu harus tahu kalau Ayah sayang kamu!”

“Shira tahu, Yah! Tapi kenapa nggak boleh pacaran sama Krishna?”

“Kamu bisa dapet yang lebih baik. Bukan Krishna!”

“Kenapa?”

Air mataku hampir luruh. Aku berusaha menahannya agar tidak terlihat lemah di depan ayah. Sungguh, ini berat untukku. Seakan aku harus memilih ayah yang sudah mencintaiku sejak awal, atau Krishna yang sudah terlanjur aku cintai. Aku benar-benar tidak sanggup memilih.

[Beb, kamu kaget ya, aku bilang gitu?]

Pesan singkat itu  menyadarkanku pada pesan sebelumnya yang belum aku balas. Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa. Aku tidak mau membuat ayah murka, tapi aku juga tidak sanggup melihat kekecewaan di mata Krishna. 

[Beb, nggak usah dijawab. Aku udah tahu jawabannya. Love u, saranghae, aishiteru, j’taime. Tidur. Udah malem.]


Moko malam ini. Aku kembali menatap langit malam dengan taburan bintang dan kerlip lampu rumah penduduk di bawah. Hampir pukul dua pagi, langit seakan membongkar semua keindahannya untuk diperlihatkan pada penduduk bumi.  Bintang beraneka ukuran bekerlip indah. Bulan sabit berwarna keemasan sempurna, beberapa planet juga hadir meski samar. Tujuh kali aku ke sini, belum pernah sekali pun aku kecewa.

“Beb, inget zaman muda, ya?”

“Emang sekarang udah kakek-kakek?” tanyaku.

“Nggak sih. Tapi kan, anak-anak udah pada gede.”

Aku terkekeh mendengar ucapan cowok berpipi chubby itu. Ucapannya mengingatkanku pada ayah yang sering menyebut dirinya tua tiap aku naik kelas. Buatku, ayah masih tetap muda hingga sekarang. Begitu pun cowok di sebelahku ini. Dia makin terlihat lucu dan menggemaskan dengan pipi bulat.

Rasanya masih seperti mimpi bisa membersamainya dan mewujudkan mimpi-mimpi bersama. Semakin hari dia semakin bulat dan menggemaskan. Aku pun begitu. Orang bilang, gendut tanda bahagia. Hm … mungkin saja. Yang jelas, sifatnya tidak berubah sejak dulu.

Aku ingat malam itu. Pesan Krishna tidak aku balas hingga esok hari. Aku menyerah, tidak sanggup memilih antara ayah atau Krishna. Insomniaku kambuh, hingga pagi mataku tidak mampu terpejam.  Di benakku terbayang raut kecewa Krishna jika tahu ayah tidak menyetujui hubungan kami.  

Dia datang sebagaimana kebiasaannya di hari Sabtu. Yang membedakan adalah dia tidak menemuiku. Hanya berbincang dengan ayah, kemudian pamit. Seulas senyum yang ia berikan padaku yang menatapnya bingung, senyum yang tidak pernah aku ketahui maknanya. Pesan singkatnya datang kemudian, membuatku beku. Untuk bertanya pun aku tidak sanggup.

[Love you, saranghae, aishiteru, j’taime]

Sejak hari itu, tidak ada lagi pesan basa basi darinya. Hanya ucapan cinta itu saja yang muncul setiap hari. Dia juga tidak membalas pesan yang aku kirim. Aku patah hati dan berpikir kalau pesan singkatnya sekadar ucapan penghibur hati dari penolakan ayah. Hingga aku mulai membalas pesannya dengan ucapan yang sama, setiap malam.

Tiga bulan berjalan tanpa suatu yang berarti. Ayah tidak pernah lagi mengajakku berbincang soal Krishna. Mungkin ayah sudah merasa menang sekarang, dan tersenyum di atas luka menganga di hatiku. Krishna pun sulit aku hubungi. Hanya pesan singkatnya yang datang tiap pagi dan malam, seakan terkirim melalui mesin. Aku nyaris lelah, tapi sisi hatiku memaksa bertahan.

Sampai suatu hari aku dikagetkan dengan topi bergambar kepala penguin yang tergeletak di sofa ruang tamu. Topi itu milik Krishna. Aku yakin karena aku yang menemaninya ke tukang bordir untuk membuat gambar kepala penguin itu. Namun, hanya topinya yang ada di situ,  pemiliknya tidak aku temukan di mana pun.

“Krishna sering kemari kalau kamu kerja,” jelas ibu. “Entah apa yang diobrolin sama Ayah.”

Bukankah itu keterlaluan? Aku menunggunya selama ini, tapi dia tidak pernah menemuiku . Jika saja dia tidak ke rumah, mungkin tidak akan sesakit ini. Dia datang, tapi bukan untukku. Apa ini waktunya untuk berhenti berharap? Apa dia membahasku saat menemui ayah? Pertanyaan itu terus terngiang di benakku.

Tidak sampai dua bulan setelahnya, dia datang. Kali ini bersama keluarganya. Senyumnya merekah cerah seperti senyum ayah. Iya, ayah tersenyum lebar menyambut kedatangan Krishna dan keluarganya yang tiba-tiba. Krishna tidak pernah memberitahuku kalau akan datang. Pesan singkatnya hanya yang biasa dia kirim. Aku terbengong. Sungguh, ini jauh di luar dugaan.

“Aku jelasin ke Ayah kalau aku punya prinsip yang sama buat bahagiain kamu,” jelasnya waktu itu.

“Ayah langsung luluh?”

“Kalau langsung luluh mungkin kita udah nikah sejak bulan lalu. Aku suka cara Ayah jaga kamu.”

Lima tahun berlalu sejak hari itu. Kami sudah menjadi orang tua sekarang. Putra pertama kami baru masuk TK, namanya Chandra. Krishna yang memberi nama karena dia lahir di malam hari. Karakternya pun setenang malam. Aku mungkin berlebihan kalau mengatakan tangisnya sudah merdu sejak pertama kali aku mendengarnya, tapi begitulah adanya.

Sedangkan Adisti—adiknya yang berjarak dua tahun—benar-benar seperti matahari yang membawa keceriaan di rumah. Menyuruhnya duduk diam adalah perbuatan paling sia-sia. Dia ingin memegang semua benda, lalu menghujani kami dengan pertanyaan. Kelak Adisti akan dipinang lelaki pujaannya, aku yakin Krishna akan melakukan hal yang sama sebagaimana yang ayah lakukan padanya.

“Beb, I love you, saranghae, aish—“

“Woy Bocil, Adisti bangun!”

Oh ya, hari ini kami tetap piknik gank.


Photo by Pradeep Ranjan on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *