Katakanlah rencana kami: aku, Lale, dan Geeta, bodoh. Menyedihkan lebih tepatnya. Apalagi setelah benar-benar terbukti berantakan hingga membuat kami terlunta-lunta di jalanan desa Kawaguchiko padahal saat itu suhu turun hingga 2oC. Untunglah ada convenience store 24 jam. Tapi, cerita ini bukan tentang kami, melainkan pertemuanku dengan laki-laki bermata bunga.
Apa yang kuanggap kekacauan dalam rencana perjalanan itu, nyatanya menyisakan kenangan manis. Adalah Ronan Tiago, laki-laki bermata biru dari Irlandia dengan separuh darah Meksiko.
Kurang lebih tahun lalu, Desember 2018, dengan ambisi melancong ke luar negeri, aku dan Geeta mengalah pada rencana Lale: melancong ber-tas punggung ke Jepang di bulan April 2018. Mencari salju. Dengan ongkos harus semurah-murahnya. Urusan akomodasi dan tempat wisata tujuan pun kuserahkan ke Lale. Yang penting aku harus melihat gunung Fuji, itu sudah cukup.
“Tenang saja, biar hemat, malam pertama kemungkinan kita bisa menginap di temanku di Tokyo,” ujar Lale mantap satu bulan sebelum keberangkatan di kafe biasa kita bertemu. Nyatanya, teman yang dimaksud Lale tinggal dengan kekasihnya. Mustahil untuk menginapkan kami.
Setelah hari pertama berujung tidur di restoran 24 jam, esoknya kami seharian di kendaraan menuju Kawaguchiko. Tempat paling dekat dan jelas untuk melihat kemegahan Fujiyama. Satu syarat yang dipenuhi Lale supaya aku ikut dalam perjalanan.
Sebelum sampai Kawaguchiko, kami mampir di Togendai. Berkeliling danau dengan Victory, kapal wisata bergaya klasik. Sekitar pukul lima sore, kami pun lanjutkan perjalanan dengan menumpang bus. Tak dinyana, sampai stasiun Kawaguchiko sudah pukul 9 malam. Tidak ada kereta maupun bus menuju tempat penginapan yang jaraknya ternyata lebih dari 12KM. Tidak ada juga yang bisa jelaskan selain dengan bahasa Jepang tentang cara mencapai lokasi Airb&b kami. Lale pasrah. Aku tak puny ide.
“Ayo cari penginapan di sekitar sini,” usul Geeta yang mulai kedinginan di bawah suhu 30. Aku mengiyakan. Meminta Lale menjaga barang bawaan selagi aku dan Geeta berkeliling mencari hotel atau penginapan.
Setengah jam berkeliling, masuk ke lima hotel dan penginapan paling dekat, di tempat ke enam terbit harapan.
“Sumimasen. Watashi wa kon’ya no tame no heya o sagashitemasu, anata wa nani ka motte imasu ka [1]?” tanyaku pada Tasuyama, pemilik hotel, mengandalkan Google translator.
“Haik, sumimasen, subete no heya ga ippai ni natte imashita,[2]” jawab Tasuyama sambil membungkukkan badan,
“Ah, jika tak keberatan, ada yang sudah booking tapi belum konfirmasi kapan tiba. Tunggulah sampai pukul 12, jika dia tak datang, kamarnya bisa kalian tempati.”
Tak lama, terdengar suara ban berdecit di depan lobi. Seseorang laki-laki berambut gelap menurunkan tangga lipat dan tas besar dari bagasi taksi. Yang paling mencolok tentu saja matanya yang berwarna safir.
“Nona-nona bisa menunggu di sini kepastian konfirmasi pelanggan kami. Harga kamar sebenarnya 15000 tapi kalian boleh sewa 9000,” katanya dalam bahasa Inggris terbata,
“Kalian juga boleh menginap di lobi jika ternyata mereka datang. Free. Di luar cukup dingin.” Kemudian dia pamit untuk menyambut tamu yang baru datang.
“Yes, Anila, moga aja si tamu datang ya,” kata Geeta setelah kujelaskan negosiasi harga dengan Tasuyama. Ah, kami memang lucu, tidak ada yang bercakap bahasa Jepang dan hanya aku yang berbahasa Inggris. Alhasil, aku jadi juru bicara.
Kami memanfaatkan kesempatan untuk menghangatkan badan sebentar sebelum menjemput Lale. Selain mata birunya, aku memang penasaran dengan tangga lipat yang dibawa pelanggan hotel yang baru datang.
“Are you a photographer[3]?” tanyaku saat dia tersenyum menyapaku selagi meunuggu pemilik hotel menyelesaikan administrasi.
“How do you know[4]?” Raut terkejut tak dapat disembunyikannya.
“I m Ronan Tiago by the way, and yes I m a photographer[5]. Flower photographer for sure,” dia mengulurkan tangan kepada kami bergantian dengan senyum yang menggetarkan jiwa.
“Cool, saya Anila Reswari. Teman saya Geeta,” kusambut uluran tangannya, tersenyum kikuk. “Kebetulan aku wartawan. Sering kerja dengan teman-teman fotografer yang bawa tangga seperti itu,” dan tawanya lepas karena cara menebaku lucu.
“Aku ke sini untuk festival Fuji Shibazakura, kamu?” sebuah post card berwarna pink magenta dia tunjukkan padaku. Festival yang terlihat keren.
Ronan bertanya apakah aku menginap di hotel itu, aku jelaskan situasinya. Aku dan Geeta pamit pada pemilik hotel untuk memanggil Lale yang masih di stasiun. Menunggu sampai jam 12, kami putuskan pergi ke toko 24 jam untuk membeli beberapa ramen. Saat tengah malam, kami kembali ke hotel.
“Girls, the customers who booked the room doesn’t come. So you could take the room for 15000 Y,” jelas Tasuyama. Ronan baru turun untuk ke pergi mencari snacks.
“Loh, tadi katanya boleh 9000Y,” Lale geram setelah menunggu lama ternyata penawaran berubah. Tak ada kesepakatan, Tasuyama bahkan menyuruh kami pergi jika tak mau bayar dengan harga 15.000. Pada saat panas itulah Ronan melewati kami menuju luar. Katanya mau cari kudapan malam untuk mengganjal perut. Kami pun pergi. Balik ke toko 24 jam. Ronan sudah di meja kasir dengan kantong plastik besar.
“Ada apa Anila?” Tanya Ronan begitu kami masuk ke dalam toko. Aku sendiri heran, tumben ada bule yang tampak penasaran dengan urusan orang lain. Untuk ke dua kali, aku jelaskan situasi kami. Dia mengangguk-ngangguk. Kemudian mengambil tanganku untuk memerikan enam lembar uang 1000 Y untuk menambah 9000 Y yang kami punya supaya bisa menyewa kamar di hotel.
“Pakai dulu ini. Aku ada di kamar 401 jika kalian butuh apa-apa. Di sini cukup dingin, jangan sampai kalian kena flu saat liburan. Itu buruk sekali,” rasanya sangat malu sebenarnya. Tapi di sisi lain kami senang.
Karena sudah dongkol dengan Tasuyama, kami memutuskan tidak ke hotel dan menginap di convenient store. Keesokan pagi saat di stasiun menunggu beroperasi, kulihat Ronan di halte bus. Kuputuskan mendekatinya.
“Inikah antrean ke Shibazakura?” dia menangguk tak lupa senyumnya.
“Sebentar. Kamu tunggu di sini ya,” dengan langkah yang lebar, dengan gegas dia lenyap di tikungan dan sekejap kembali membawa sebuah kantong. Dia serahkan kantong kertas itu padaku. Ada enam onigiri hangat dan tiga botol minuman.
“Ini untuk kalian sarapan,” ujarnya. Lagi-lagi aku sangat bersyukur dan sedikit malu karena merasa gembel. Tapi ini lucu karena pertemuanku dengan Ronan sedikit canggung.
“Thanks Ronan,” saat kupanggil dengan nama pertamanya, tampak ketidaksetujuan.
“Apologize, I m Indonesian, and get used to call people by their first name, Ronan. And I like how to call you Ronan, sorry[6],” jelasku mengeroksi. Dia pun mahfum dan langsung bercerita lebih banyak. Tentang darah Meksikonya, ibunya yang tak pernah sekalipun ke luar Irlandia tapi berjodoh dengan orang Meksiko, atau kunjungannya sekali ke Indonesia. hobi dan profesinya sebagai fotografer bunga adalah yang paling membuatnya tampak bersemangat dan berapi-api.
“Are you going to Shibazakura too? Jadi kita bisa barengan?” Ronan bertanya, dan aku melirik pada dua temanku meminta persetujuan. Mereka keberatan karena tiketnya lumayan mahal, 2000Y. Tapi Lale punya pikiran lain, ada uang dari Ronan semalam.
“Kami pikir itu bukan ide yang buruk. Lagi pula, ini akan jadi kesempatan mengagumkan untuk sekaligus belajar fotografi dari ahlinya. May I?” Pikiran itu muncul begitu saja. Mengintip cara fotografer yang hasil jepretannya biasa terpampang di National Geographic tak pernah jadi angan-angan. Dan aku tak sengaja bertemu salah satunya. Ditambah, dia super kece.
“BTW, why you guys didn’t coming to the hotel last night?” jantungku mau copot, bagaimana dia tahu kami tak kembali ke hotel bahkan setelah mendapatkan bantuan darinya?
“Aku nunggu kalian di lobi sekitar satu jam,” makin gak enak hati. Untung saja shuttle bus menuju area danau Motosuko. Dan kami pun bersiap naik.
“Ronan, I thanked God that we are, I am, meet you, a good man from nowhere[7],” sebelum terlambat, aku mengatakan rasa senangku berjumpa dengannya. Dia menyimak setiap kata dengan seksama. Matanya hanya berkedip beberapa kali selama aku berceloteh, saat tatapannya bertumbukan dengan mataku, gila! kupikir ada lautan di matanya yang biru. Dalam dan menenangkan tapi juga tampak berbahaya. Dan saat dia bercerita, aku juga melihat bunga di matanya. Ada hal menarik yang menarik dari matanya, mata yang bercerita: berkeliling dunia melihat taman-taman tercantik, tertua, hingga terpencil. Pergi ke festival-festival bunga. Tak jarang, masuk ke dalam hutan-hutan untuk menjumpai bunga-bunga liar langka seperti chocolate cosmos, bunga khas dari negara asal ayahnya, Meksiko.
Salah satu festival paling berkesan baginya adalah Genzano Infiorata Flower Festival di Italia.
“Bunga sendiri sudah indah dan magis. Di Genzano, orang-orang membuat mandala dari bunga sebagai karya seni sekaligus sebagai doa,” katanya sebelum kalimat selanjutnya sayup-sayup tak terdengar. Sial, aku ketiduran.
Ronan membangunkanku saat bus tiba di lokasi. Di sana, seperti orang udik lainnya, aku berteriak keriangan dan segera mengeluarkan ponsel untuk mendapatkan beberapa video.
“Ayo kutunjukan spot terbaik untuk mendapatkan foto sempurna,” ajaknya. Meski aku sebenarnya ingin pelan-pelan saja menikmati paduan pink moss, beningnya danau, hijaunya pinus-pinus, dan megahnya Fuji, tapi kakiku mengikutinya. Aku berjanji menemui Geeta dan Lale di area penjemputan bus saat tengah hari untuk makan dan kembali ke Kawaguchiko. Mereka senyum-senyum menggodaku.
Setelah berkeliling kami kembali ke halte. Lale dan Geeta sudah di sana. Rencananya, kami akan berkeliling di sekitar danau Kawaguchiko, menaiki cable car dan makan udon di restoran depan stasiun yang terkenal enak. Sedangkan Ronan kembali ke Tokyo untuk melihat festival wisteria. Sebenarnya kami ingin, tapi kalah lagi sama bujet yang minim.
“Aku mungkin bisa balik ke Tokyo besok. Bagaimana kalau kita camping di Kawaguchiko. Sayang jika jauh-jauh ke sini tapi tak mencobanya,” usul Ronan. Rencana dadakan itu bahkan lebih menyeramkan dari mendatangi festival wisteria di Tokyo.
“Tenang, aku tau tempat sempurna,” tambahnya.
Malamnya, selagi membakar marshmellow dan yakitori, Ronan bercerita banyak tentang mimpinya melengkapi 1001 koleksi bunga langka sebelum lewat usia 30 tahun. Itu artinya dua tahun lagi. Menggenapi 100 festival bunga di seluruh dunia. Mengabadikan 200 taman bunga dengn berbagai tema. Bagiku sendiri, Ronan seperti jade vine, bunga asal Philipina, terutama matanya. Cantik dan magis.
“Ngomong-ngomong, kamu seperti Kadapul, rare. Demikian juga momen kita. Meski bertemu dalam waktu singkat, tapi aku sangat menikmati setiap detiknya. Bahkan saat kamu mengigau di bus,” kata Ronan yang separuh wajahnya tak terjamah terang dari api unggun. Meskipun kata mengigau cukup meresahkan dan memalukan, tapi aku tak terlalu peduli karena toh kami akan berpisah. Paginya, kami benar-benar berpisah. Dia menuju Tokyo, kami ke Chiba. Kukalungkan kain Baduy yang kupakai sebagai syal kubilang padanya itu tanda mata untuk Ronan. Dia menyukainya.
Saat mengayunkan raket sekuat tenaga untuk menghalau chrysanthemums yang dilempar ke arahku dan gadis-gadis saat parade The Battala de Flores di Valencia tahun lalu, tanganku tak mampu menahan raket hingga terlempar sekitar dua meter di depanku. Seorang laki-laki tampak mengusap kepalanya dengan kasar. Menahan sakit akibat tertimpa raket berwarna pink yang lepas dari genggamanku. Saat dia membalikkan badan, aku tertegun dan memekik girang, “Jade Vine! Ronan!”
[1] Permisi, saya mencari kamar untuk malam ini. Apakah ada kamar kosong?
[2] Maaf, semua kamar sudah penuh saat ini
[3] Apakah kamu seorang fotografer?
[4] Bagaimana kamu tahu?
[5] Kenalin, saya Ronan Tiago, dan saya memang fotografer
[6] Maaf, saya orang Indonesia dan terbiasa memanggil yang lain dengan nama depan mereka. Lagi pula, aku suka menyebut nama Ronan.
[7] Ronan, saya sangat bersyukur bertemu denganmu, laki-laki baik yang datang entah dari mana
Photo by Quinten de Graaf on Unsplash