Cerpen Aden S. Prima S: Gegara Baca

“Ibu, apa memang tidak mungkin ya, hubunganku dengan Galang?”

“Coba kamu pikir sendiri, seusianya apakah mungkin ia mampu bersungguh-sungguh?”

Tiara terdiam. Di usianya yang telah menginjak kepala tiga, pantaslah bila ibu Tiara meminta putri sulungnya untuk mengambil keputusan sendiri. Walau mungkin ada rasa was-was bila putrinya gegabah, tidak mengikutkan akal dan hanya perasaan yang diutamakan, tetap saja, ibunya mencoba memberi ruang pada putrinya untuk berpikir dan memutuskan yang terbaik untuk hidupnya. Mutiara yang biasa dipanggil Tiara di rumah atau Mutia di kalangan rekan kerjanya tengah dihadapkan kenyataan bahwa ada lawan jenis yang tengah mendekati. Bukan secara islami seperti yang ia tau, tetapi cukup berhasil mengetuk hati Tiara yang kurang didominasi oleh Allah SWT.

Paling gak lima tahun lah…” 

Jawaban Galang seperti kaset yang terus berputar di benak. Tiara sangat suka dengan perhatiannya tapi apa yang dikatakan ibunya memang ada benarnya. Seusia Galang yang baru menginjak usia kepala dua, ia belum matang secara emosi dan tentu saja belum siap untuk memulai kehidupan berumah tangga. Pasti ingin menyenangkan kedua orang tuanya dulu  juga.

“Aish… Ya Allah, kenapa jadi rumit begini,” Tiara beranjak dari renungannya dan segera pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan berwudhu sebelum tidur.


Bluk! Suara Kasur yang dijatuhi tubuh kecil Tiara. Tiara coba memejamkan mata tapi tetap saja, tangannya masih bergerilya melihat chat wa yang tak kunjung berbunyi. Ternyata jatuh cinta yang indah itu juga menyiksa, batin Tiara. Saat mata sudah mulai lelap, sesuatu bergetar mengagetkan membuat kedua kelopak mata Tiara kembali terbuka dan mencari sumber getaran. Panggilan masuk wa dari seseorang yang ditunggu-tunggu.

“Halo.” Sebuah chat masuk.

“Dah tidur?” Lanjutan chat masuk barusan.

“Iya, udah.” Jawabku singkat, rasa lelah menunggu tak teredam oleh siapa pengirim chat tersebut

“Kangen suara pean.”

“Ih, gombal.”

“Nyanyilah.”

“Hehehe… gombal banget si, suaraku kan cempreng.”

“Iya gak apa-apa. Ayo aku tungguin.”

“Enggak ah, malu.”

“Kirim voice note saja kalau gitu deh.”

Tanpa memperpanjang chat atau membuat si dia penasaran dan lebih berjuang, Tiara pun merekam suaranya, “Met bubuk, Galang. Semoga mimpi indah.”

“Ayolah.”

“Itu sudah.”

“Oh, iya. Makasih ya?”

“Iya….”

Hm, Tiara jadi berpikir sejenak sebelum melanjutkan tidur. Apa bisa ya aku mengabaikannya yang terus saja membuat hatiku berbunga-bunga. Padahal yang kulakukan sangat flat. “Semoga tetap indah seperti ini, Ya Allah.” Pinta Tiara dalam hati.

Esok harinya Tiara jadi lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.

“Mbak, kenapa, Buk?

“Gak tau, biarin aja, mumpung rajin. Ibuk jadi lebih ringan pekerjaannya.”

Tanpa sepengetahuan Tiara, diam-diam adiknya memperhatikan gelagat perubahan sikap kakaknya. Meski belum berapa lama, tampak antusias dan semangat.

Sore hari waktunya Tiara menyapu, dimulai dari halaman rumah yang cukup luas. “Ya Allah, sebahagia ini, ya?” Tiara membatin. Batinnya kemudian sempat memohon, “Allah, kalau memang aku harus move on dari orang yang kusayang karena ia telah bahagia dengan pasangannya, jaga dan luruskan niatku untuk menyempurnakan imanku dengan Galang. Orang yang kau hadirkan tanpaku ada persiapan.”

Ia kemudian memandangi sebuah bangunan yang kelihatan tak jauh dari tempatnya menyapu dan sejurus kemudian pandangannya menyapu hamparan langit biru bersih dengan awan-awan putih di atas bangunan tersebut. “Lancarkanlah, ya Allah,” wajahnya menengadah menghadap langit bersih yang dipandangi. Bergegaslah ia melanjutkan pekerjaan rumah yang menjadi kesibukannya selama ia berstatus jobless.

Hari dimana merupakan selamatan 1000 hari Pak Puh Tiara, Tiara dengan antusias menyiapkan sebuah masakan.

“Buk, ini kelapanya sudah diparut. Aku minta bawang Bombainya ya, Buk?”

“Iya, ambil saja. Itu motong sereh buat apa?”

“Mau bikin minuman infuse water, Buk. Minuman herbal buat badan seger.”

“Bikin buat siapa?”

“Nggeh, pacarku.” Dijawab dengan polos tanpa beban. Ibunya yang hendak sholat ashar terdiam melihat tingkah putri sulungnya.

“Buk Darmi, gimana rasa nasi goreng buatanku ini?” Mengambil sesendok nasi goreng dan mendekatkan ke seseorang yang sedari tadi membantu memasak persiapan masakan untuk selametan. Wanita paruh baya yang merupakan tetangga sekaligus penjual rujak dan lauk pauk di dekat rumah Tiara menerima sendok berisi nasi goreng panas tadi. Sembari mengusir hawa panas yang dibawa nasi goreng tadi, Bu Darmi menanyakan siapa gerangan pacar Tiara.

Sopo? Wong sini ta? [Siapa? Orang sini kah?]

“Hehehe, rahasia, Bu Darmi. Icipi dulu gimana rasanya?” Tiara mengelak dan meminta Bu Darmi bergegas memberi komentar.

Sesekali Tiara menoleh ke jam dinding, memastikan hidangan bekal untuk seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga akhir-akhir ini, bisa menemani bertugas. “Gimana, Bu Darmi?”

“Enak gurih, Cuma kurang asin, tambah sedikit garam lebih pas rasanya,” saran Bu Darmi setelah mengetahui rasa hidangan yang dibuat Tiara.”

“Sudah kutambah garam, sekarang gimana rasanya, Bu Darmi?” Tiara mengaduk nasi goreng yang dibuatnya sambil memberi isyarat Bu Darmi untuk mendekat dan mencoba rasa nasi goreng yang telah ditambah bumbu dapur tadi.

Yo, wes enak. Pas.” 

Kotak makan berwarna biru yang sebelumnya pernah Tiara pakai untuk membawakan bekal Galang saat bertugas malam, sudah penuh dengan nasi goreng ala-ala Tiara. So Spicy and less colour alias lebih cocok dinilai Nasi Goreng Putihan. Tiara dengan kotak makan dan botol minum seperti termos mini sudah rapi dalam bungkusan plastic. Tiara melihat kembali handphonenya, mencari-cari jawaban Galang. “Apa sudah jalan, ya?” Pikir Tiara. Tiara masih mematung di depan halaman rumah. Ia yakin bahwa Galang benar tidak akan berangkat dulu seperti ujarnya di akhir chatnya.


“Besok mau ada yang datang ke rumah.” Tiara mengirim pesan.

Tak kunjung ada balasan, membuat Tiara lemas. Ia mulai menceritakan siapa dan bagaimana ceritanya sampai ada seseorang yang akan datang silahturahmi ke rumah. Sayangnya, sepanjang apapun ia menghasilkan untaian kata membingkainya dalam chat, tetap tak membuat Galang memberi balasan. Tiara pun semakin yakin, baiklah mungkin ini yang terbaik untuk kita.

Suatu sore ayah Tiara mendudukkan Tiara, mencoba menanyakan apakah cerita ibunya soal pacar Tiara itu benar.

“Dipikir lagi, Nduk. Nikah itu disiapkan juga lahir batin, apa sudah yakin ia bisa mengayomi dan melindungimu, Nduk? Ia masih sangat muda dan belum siap jadi imam.” 

“Nggeh, Tiara juga belum siap. Jadi biar sama-sama kami bersiap.”

“Yakin dia gak hanya main-main? Umumnya seumuran dia, masih main-main, Nduk. Berteman saja dengannya dan lihat apa ia sungguh-sungguh atau sekedar main-main.”

“Siti Khadijah dan Rasulullah bisa, Pak.”

“Nah, itu Rasulullah, Nduk. Bukan dia. Keadaanmu juga sudah seperti Siti Khadijah?”

Tiara terdiam sambil coba melihat lagi ke dalam dirinya. “Ya Allah, aku ingin meneladani Rasulullah dan Bunda Siti Khadijah? Sungguh tidak mungkin, kah?” 


Photo by Alexas_Fotos on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *