Cerpen Delfitria: Isu Kepercayaan yang Tidak Bersuara

“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanyaku sambil menyiapkan sarapan paginya sebelum berangkat kerja. 

“Kira-kira jam 5 sore, De. Kalau tidak macet, seharusnya maghrib sudah ada di hadapanmu, ya,” jawabnya sambil memainkan handphone

Masa awal pernikahan kami malah semakin terasa hampa. Saat pendekatan dulu, ia hampir setiap jam menanggapiku. Setelah dua bulan menikah, Ia yang baru saja naik jabatan di kantornya semakin terlihat sibuk. Aku berusaha memahami ini sebagai milestone yang harus dihadapi. Bukankah setiap kenaikan kelas butuh ujian? Barangkali waktu adalah giliran ujian kami saat ini, ya. 

Waktu mendekati pukul 5 sore, aku siap-siap untuk membuat makanan favorit miliknya yaitu Spaghetti Ghocujang buatanku. Ia suka sekali pedas! Ah, apalagi cara dia menerima makananku membuatku semakin bersemangat membuat spaghetti dengan bumbu lainnya. 

Waktu mendekati pukul 6 sore, “Sudah sampai di mana?” 

Hanya dua centang biru yang hadir di ruang percakapan kita. Tidak ada argumentasi tentang kemacetan atau rapat. Tidak ada berita apa-apa. Rasanya ingin ku telpon! Tapi kalau ternyata dia ada rapat, bagaimana? Ayolah, jangan membuat sesuatu yang kecil menjadi rumit. Berdewasa, berdewasalah!

Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Masih belum ada kabar tentangnya. Ini bukan kali pertama dia melakukan ini. Ini sudah berkali-kali dalam satu bulan terakhir. Ia memang sempat cerita bahwa pekerjaannya saat ini sangat berat dan membutuhkan konsentrasi. Namun bagiku, hal ini merupakan permasalahan yang serius. Aku sudah pernah menyampaikan kepadanya bahwa kehadiran sangat penting bagiku. 

Aku pernah bercerita dengannya saat pillow talk. Waktu beranjak tidur memang waktu yang terbaik untuk menyampaikan keresahan mengingat pagi hingga sore Ia seperti menghilang karena pekerjaan. Ku siapkan wajah ku di hadapannya. 

“Kamu tahu, gak, kenapa aku tidak suka ditinggalkan begitu saja tanpa kabar?” tanyaku.

“Takut dighosting, ya? Ayolah kita, kan, sudah menikah!”

“Bukan. Aku punya memori buruk tentang ditinggalkan begitu saja tanpa kabar. Saat kecil, Ayahku sering sekali berbohong. Ia bilang akan pulang cepat di malam tahun baru sehingga kita bisa menunggu detik-detik tahun baru Bersama-sama. Aku sampai menolak ajakan teman untuk bakar jagung. Tapi Ayahku tidak datang, tidak berkabar. Itu bukan satu-satunya. Ayah juga pernah berjanji akan lebaran di rumah, tapi ternyata, Ayah lebih memilih untuk lebaran di kampung. Atas alasan uang, Ibu dan aku tetap di rumah saja. Sedih sekali. Apa Ayah bilang? Tidak. Ayah sama sekali tidak bilang alasannya. Aku dan Ibu yang sudah menunggu harus tidur dengan rasa kecewa.Aku tidak mau hal itu juga terjadi di antara kita, Bi.” Jawabku sambil menunduk. Aku bahkan takut menyampaikan hal ini. Apakah permintaanku untuk diberi kabar terlalu berlebihan?

“Iyaaa, De. Tidak yaa. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku akan selalu berkabar. Bukannya dari dulu memberikan kabar jadi sesuatu yang penting buat kita berdua? Jangan khawatir ya, tidur yuk!” jawabnya. Jawaban yang menenangkan. Jawaban yang membuat aku semakin yakin bisa bertahan dengannya apapun kondisinya. 

“Maaf, De. Load hari ini banyak sekali. Sepertinya aku baru akan pulang jam 9 malam dari sini.” 

Sebuah pesan itu masuk di saat jam 8 malam. Iya, jam 8 malam. Spaghetti Gochujang sudah dingin dan mengeras. Aku mengira setidaknya jika Ia akan pulang jam 9, aku masih sempat untuk memanaskan makanan. Tapi ya, jawaban baru datang jam 8 malam, spaghetti ini terlalu dingin untuk dipanaskan. Lagian, aku terlanjut menggabungkan dengan saus. 

“Iya, hati-hati.” Jawabku singkat. Sedikit marah. Banyak sedihnya. Apa perkataan mengenai keresahanku saat itu sudah dilupakan?

“Assalamualaykum, De” pintu terketuk. Aku tahu siapa yang akan datang. 

“Waalaykumussalam, Bi” aku raih tas kerjanya. Ku siapkan air hangat untuk mandinya. 

“De…?” seperti biasa, dia paling tahu kalau aku sedang ngambek. 

“Iya.”

“Kamu, marah?”

“Menurut kamu?”

“De, kan sudah ku bilang, pekerjaan saat ini loadnya sedang tinggi banget.”

“Terus?”

“De, kenapa masih marah?”

“Engga marah”

“De?”

Setelah itu aku hanya bisa diam. Aku sama sekali tak bisa menyampaikan apa-apa. Bagaimana kalau kata yang keluar hanya bersifat emosional? Bagaimana kalau itu membuat hidupnya semakin terasa berat? 

Dalam beberapa kasus, aku sulit sekali bicara. Benar-benar tidak bisa berbicara apapun. Entah karena isu ini merupaka trust issue tapi entahlah aku benar-benar sedih dan marah. Aku jadi ingat dulu saat masa perkenalan. 

Saat itu aku kesal karena dia mulai merokok lagi. Dia bilang, dia takut jika harus jujur denganku. Kita sudah bersepakat untuk tidak merokok. Dalam kondisi seburuk apapun, rokok bukan jalan pintas untuk Bahagia. Aku takut Ia akan seperti Ayah (juga) yang batuk darah karena itu. Setelah beberapa waktu kemudian, akhirnya dia baru mengaku. Aku sulit sekali untuk menerima hal itu. Bagaimana kalau dia akan merokok lagi dan tidak bilang apapun? Mengapa tidak bilang?

Dari kejadian itu aku mendiamkan dia beberapa hari. Aku tetap melayaninya sebagaimana seharusnya kewajiban seorang istri. Tapi masih dengan pendirianku tentang kesal. Selanjutnya Ia pun memilih untuk mendiamkanku juga. Kita tidak bersuara. Sampai akhirnya dia bilang, dia tidak suka didiamkan. Jika salah, ia lebih suka dimarahi besar-besaran. Tapi, kan, aku tidak bisa!

“De… Jangan seperti ini, ya?”

“Iya. Silakan mandi, airnya sudah siap. Aku tidur duluan.” 

Aku beranjak ke kamar terlebih dahulu. Aku memaksakan diri untuk tidur dan menutup mata. Meskipun saat ku kondisikan diriku tertidur, telinga dan mata ku masih bisa merasakan suara langkah kaki dan bayangannya. 

“De, saya tahu telah membuatmu kecewa karena saya tidak jujur hari ini. Saya tidak jujur akan pulang malam. Saya juga lupa memberikanmu kabar di sore hari. Saya telah melanggarnya, saya telah melanggar hal yang menjadi kekhawatiranmu. Tapi di sisi lain, saya juga tidak suka diacuhkan, De.” Ujarnya sambil menepuk pundakku. 

Iya, dia juga punya trust issue. Dia tidak suka ketika aku tidak menjawab pertanyaannya. Dia tidak suka aku diamkan. Di sisi lain, aku malah sibuk membentengi diriku dengan kekecewaan. Setelah dipikir-pikir, padahal kondisi ini bisa ya dikomunikasikan? Seharusnya aku tidak perlu pura-pura tidur. Aku bisa meraih tangannya di pundakku dan kita kembali melakukan pillow talk seperti di awal dulu. Aku gengsi aku marah!

Gengsi adalah makanan manusia terutama saat mereka sedang emosional. Aku dan dia seringkali menelan gengsi Bersama-sama hingga akhirnya kita kenyang. Akibat kekenyangan, kita tidak sanggup lagi menyambung komunikasi. Boro-boro bertanya kabar, menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’ saja kalau bisa secepat mungkin. Apa yang dilakukan orang saat kekenyangan? Ya! Tidur. Bagi mereka yang kenyang gengsi, lebih baik tidur saja daripada berantem. 

“Hari ini pulang jam berapa?”

“Jam 5 sore ya kalau tidak macet.” 

Kejadian itu pun terjadi lagi. Ia yang takut untuk jujur, aku yang takut untuk mendengarkan. 


Photo by Mikel Parera on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *