Cerpen Okta Laila: Catatan Istri Menjanda Empat Hari

“Istri keluar ada suaminya didepan mata jangankan pamit, menoleh pun nggak! Kau anggap apa Suamimu ini? Patung? Kambing atau Sapi?”

Pesan singkat melalui WhatsApp itu sontak bikin suasana hati jadi membara, berati tadi Ku bilang ketika mau sholat dhuhur ada yatiman di Komunitas Dia nggak dengar.

“Lah kuping masih terpasang nggak sih Ms, tadi aku sudah pamit. Kenapa jadi malah kesetanan!”

“Kamu itu yang setan! Istri dibilangin Suami bukannya jawab baik-baik malah bikin emosi!”

“Saya juga emosi, kenapa tiba-tiba marah seperti ini, kayak liat istrinya selingkuh!”

“Aku lelah dengan sikapmu, sudah menjadi kebiasaan keluar tidak pamit Suami, dibilangin pasti ujung-ujungnya merendahkan Suami!”

“Kamu pikir apa Aku juga nggak lelah Mas, apapun yang Kuinginkan selalu tidak Mas dengar, Sekarang merasakan bagaimana tidak didengar kan?”
Perang pesan WhatsApp terus menerus tak bisa dihentikan. Hingga akhirnya terkirim pesan.

“Mulai sekarang Aku mundur menjadi Suamimu, Aku sudah lelah dan tidak kuat lagi, mulai hari ini Kamu sudah tidak halal lagi dengan Ku.”

Pesan kubaca dengan hati bergetar, keringat dingin keluar dari kening, suasana di tengah keramaian rihlah Anak-anak yatim seolah tidak bisa menghapus kepiluanku. Namun aku tetap berusaha tersenyum bersama komunitas meyembunyikan hati yang remuk karena ditalak Suami saat itu. Aku tetap berusaha tertawa ketika mendampingi out bond Anak-anak yatim dan membuat mereka tertawa bersama Kami.
Aku adalah salah satu influcer dari komunitas “Sedulur” yang mana komunitas ini mengelola donasi dari donatur untuk dibagikan rutin sebulan sekali kepada Janda, Dhuafa dan Anak yatim. Sedangkan Rihlah merupakan acara tiga bulan sekali yang tujuannya untuk membahagiakan Anak-anak yatim. Seharusnya aku sangat bahagia sore itu, karena bisa menikmati senyum bahagia dari Anak-anak Yatim Kami, tapi sore itu acara satu setengah jam serasa sehari penuh, rasanya sudah kepengen pulang dari tempat rihlah tapi karena aku merupakan salah satu dari panitia maka tak bisa kemana-mana sebelum menuntaskan tanggung jawab, karena ada snack yang harus dibagikan, ada amplop dan hadiah door prize untuk anak langit titipan dari para donatur yang belum dibagikan karena mereka masih pada asik bermain out bond dengan relawan yang lain, sungguh penantian panjang acara sore itu.

Dan akhirnya setelah selesai acara Aku langsung melesat pulang, pamit undur diri dulu dari teman-teman relawan lainnya karena biasanya setelah acara Kita akan ngobrol sebentar untuk mengevaluasi kegiatan tersebut, karena dadaku sudah mulai sesak menahan kabut yang bergejolak di hati.

Sesampai di rumah beruntung rumah kosong, Anak-anak sudah pasti masih main belum pulang. Karena dulu kita sudah pernah berjanji jangan sampai bertengkar di depan Mereka.

“Maksud Wa tadi apa Mas, Kamu bilang talak! apa nggak berfikir ada dua anak kecil yang butuh Kita?”

“Aku capek, setiap hari Kamu sepelekan!!”

“Kamu pikir Kamu saja yang capek Mas, Aku juga capek Mas seharian kerjaanmu tidur terus!!”

“Sudah merasa hebat menjadi istri yang super sibuk,hah!! Aku tidur seharian tapi masih ada gaji yang masuk tiap awal bulan, rekening juga Kamu yang bawa, masih kurang bersyukurnya Kamu hah!”

“Terus maumu apa Mas?”

“Aku Mau cerai.”

“Aku tidak mau, talak yang Kamu lontarkan ke Aku tidak sah!!”

“Kata siapa tidak sah, Aku sudah berniat tanpa paksaan dan Aku sangat capek dengan Kamu yang selalu nuntut suami.”

“Enak sekali Kamu bilang seperti itu, terus nasib Anak-anak?”

“Kalau Kamu nggak sanggup biar ikut Saya semua mereka.”

“Kamu mau buat aku gila Mas!”

Saya mendorong suami saya hingga tubuhnya terbentur tembok, kemudian Dia berjongkok mungkin lelah karena nada pertengkaran kami tadi, 11 tahun pernikahan baru kali ini kita bersiteru sangat menguras tenaga. Dia mulai memelankan nada bicara.

“Aku sudah mengeluarkan talak itu dan niat itu juga ada, Aku mau sendiri dulu.”

Suamiku kemudian masuk kamar dan menutup pintunya, aku duduk termangu di ruang tengah. Pikiranku melayang, “Apa Aku sebentar lagi akan menjadi Janda? Terus Anak-anak apa harus kurelakan bersama Ayahnya, bisa gila aku kalau jauh dari Anak-anak. Kalau aku cerai apa akan menyelesaikan ego kita yang terlalu tinggi, bukankah nantinnya akan banyak hati yang terluka? Hati Anak-anak, hati Orang Tuaku dan hati Mertuaku yang sudah Aku sayangi seperti Orang tuaku sendiri.”

Dan sore itu lamunanku dibuyarkan oleh si Bungsu minta dimandiin, ketika memandikan si Bungsu hati terasa teriris melihat senyum polos dan celotehnya menceritakan harinya bermain sepeda, Ku simak dengan mata yang berembun membayangkan jika Dia harus menelan pahit untuk perpisahan Orang tuanya.

Waktu tetap berjalan, Suamiku keluar kamar untuk pergi ke Mushola jamaah maghrib dan berlanjut jamaah isya. Sudah menjadi rutinitas setelah dari Musola Kita akan makan bersama, untuk malam ini sudah Ku siapkan makan malam untuk Suami dan Anak-anak. Semua berjalan seperti biasa, bedanya Aku memilih sedikit berbicara dan fokus menyuapi si Kecil, sedangkan si Sulung yang banyak bicara dengan bercerita kesehariannya tadi. Hingga akhirnya aktivitas ku akhiri dengan tidur di kamar Anak-anak, sebelum tidur kutulis pesan Wa kepada Suami.

“Besok shalat shubuh Aku bangunin nggak?”

“Kalau nggak dibangunin bisa bablas sampai Dhuha”.

Pesan singkat yang sedikit agak kaku menutup percakapan malam itu, Kami pun melewati malam dengan pikiran masing-masing untuk introspeksi diri.

Hari Pertama

Pagi hari setelah shalat subuh, aktifitasku seperti biasa menyiapkan sarapan dan bersih-bersih rumah. Kulakukan dengan setengah hati karena fikiran yang sangat kacau. Semua terasa beda, Suami yang biasa tidur setelah subuh ini memilih membuat kopinya sendiri dan menikmatinya di ruang tamu, si Sulung yang masih belajar melalui daring minta bantuan Ayahnya. Pemandangan yang jarang terjadi, karena biasanya Kulakukan sendiri sambil memasak dan mengurus si Bungsu. Tugas Emak berkurang satu saja rasanya bisa bernapas lega.

Setelah semua beres, si Sulung juga sudah di handle Ayahnya, Kusegerakan langkahku menuju kamar mandi dan segera berangkat ke kantor. Karena namaku masih tercatat sebagai staff non pns di Kantor Urusan Agama desa Jatiklabang.

Hari pertama sebagai calon janda, Aku menjadi sangat menjaga aurat dari Suamiku yang menjatuhkan talaq kemaren. Karena biasanya ganti baju dikamar sekarang keluar kamar mandi harus sudah berpakaian lengkap. Rasanya agak aneh sih, tapi ini merupakan hal yang sangat principle menurutku, karena jika Aku sudah tidak halal bagi Suami maka Dia sudah menjadi orang lain bagiku.

Hari ke dua

Hubungan Kami masih terasa hambar, di hari ke dua pun rasanya masih seperti orang lain. Kami hanya sedikit bicara, selama semua bisa dilakukan sendiri Suami tidak pernah menyuruhku. Padahal biasanya sangat suka dilayanin, seperti makan minta di ambilkan, kopi minta di buatkan atau sekedar minta di ambilkan air es di kulkas. Semenjak pertengkaran itu, semua dilakukannya sendiri. Dari segi tenaga memang berkurang dan nggak capek tapi hati ini terasa sangat hampa, karena melayani yang tercinta dengan sepenuh hati akan membawa kita pada titik kebahagiaan yang mungkin tidak pernah dirasakan pada jamaah Jomblo.

Hari ke dua sebelum tidur sengaja ku Wa Suami, karena malam ini tidur lagi di kamar Anak-anak.

“Sampai kapan Kita akan seperti ini Mas?”

“Berikan Aku waktu dulu.”

Jawaban singkat tapi membuat hati ini semakin perih, sebelum mata terpejam Ku awali dengan harapan doa yang begitu dalam untuk kebaikan rumah tangga Kami, Ku lantunkan shalawat hingga Aku tertidur lelap dan bantal yang basah dengan air mata.

Hari ke tiga

Pagi di hari ketiga Aku pergi ke Kantor agak pagi, karena dapat telfon dari Bapak Kepala KUA kalau hari ini ada tamu yang mau ke Kantor agak pagi. Setelah Kutunggu beberapa menit trnyata tamunya seorang perempuan yang umurnya lebih muda dua tahun dari umurku, sekitar 32 tahun. Dia ke Kantor di antar oleh Ayah perempuan tersebut.

“Assalamualaikum Buk.”

“Waalaikumsalam, ada yang bisa Saya bantu Mbak?”

“Saya mau daftar cerai Buk, apa yang bisa Saya siapkan?”

“Bentar ya, Saya ambilkan chek list persyaratan yang harus dilengkapi dan siapkan blanko yang harus di isi.”

Ku perhatikan perempuan tersebut ketika mengisi blanko cerai. Akankah setelah Dia, Aku menjadi perempuan selanjutnya yang mengisi blanko cerai, rasanya hati ini menjadi gerimis membayangkan keretakan rumah tangga yang sudah kita bina selama 11 tahun. Tiba-tiba ada pesan Wa yang masuk.

“Nanti sore Kita sowan ke Abah Yai Aufal Marom untuk minta solusi pemasalahan Kita.”

“Iya Mas,”jawab Ku singkat.


Sore itu Anak-anak Kami titipkan ke Ibu dulu dan Bismillah Kami berangkat ke Rumah Abah Yai dengan berboncengan sepeda motor, karena jarak rumah beliau hanya memakan waktu 15 menit. Ketika membonceng Suami rasanya ada yang aneh, tiga hari Kita saling menjaga dan menutup diri, ada getaran lembut didada yang datang secara tiba-tiba. Terasa seperti pengantin baru yang menimbulkan banyak getaran di mana-mana.

“Assalamualaikum Kang, Pak Yai ada,”tanya Suamiku kepada Santri.

“Waalaikumsalam, monggo silahkan duduk dulu, Saya ke ndalem dulu mencari Abah Yai.”

Setelah beberapa menit Abah ke Ruang tamu menemui Kami yang sedang menunggu Beliau dengan cemas.

“Assalamualikum,” Pak yai mengagetkan Kami.
“Waalaikumsalam,”Jawab Kami barengan.

“Alhamdulillah ada Alumni jauh yang datang, apa sudah kangen dengan Abah,”Goda Beliau kepada suamiku. Karena memang Suamiku merupakan salah satu alumni pesantren Abah enam tahun yang lalu.

“Alhamdulillah Bah, Saya akan selalu kangen sama Abah, rumah juga dekat harusnya saya kesini bukan ketika hanya ada masalah untuk mendapatkan nasehat dari Abah.”

“Sebenarnya Ada apa Kang?” tanya Abah. Beliau memangil Kang karena panggilan tersebut merupakan panggilan khusus untuk semua Santri putra.

“Saya telah menalak 1 Istri saya Bah, setelah tiga hari Saya renungkan, Saya menyesal dengan menalaknya.”

“Apa yang harus Saya lakukan Bah, haruskah Saya menikahi Dia lagi seperti dulu?”

“Ketika seorang Suami menalak Istri itu bukan berarti semua telah berakhir, dari zaman Rosulullah hingga sekarang bahwasana ketika Istri cerai dengan Suami dan masih dalam masa iddah yang masih berhak adalah Suami, dan itu diperkuat ketika di tafsir Muin dan tafsir Jalalain bahwa saat Al Quran mengatakan bahwa ketika Wanita yang dicerai, hanya Suaminya yang paling dekat atau berhak. Maka dari itu Rujuk pun juga di permudah, karena Allah pun juga tidak menyukai perceraian, jadi tidak membutuhkan Shahadat dan tidak perlu persaksian, nanti bilang saja Kamu mau rujuk kepada Istri, Insya Allah sudah sah lagi.”

“Alhamdulillah, Kami tidak perlu mengatur pernikahan Kami lagi ya Bah?”

“Tidak usah Kang, Maka dari itu, bijaksanalah dengan kata talak, jangan keluarkan ketika hati disulut emosi, semua akan Kamu sesali.”

“Astaghfirullah… terimakasih Bah untuk semua nasihat Abah.”
“Pulanglah dan perbaiki rumah tangga kalian, selesaikan apapun yang menjadi sandungan dalam rumah tangga kalian.”

“Njeh Bah, Kami pamit dulu dan terima kasih untuk nasihat dari Abah, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,”jawab abah dengan senyuman yang sangat mendamaikan.

Diperjalanan hatiku begitu lega hingga butiran air mata jatuh dan terhempas angin, Aku sengaja memilih diam di Pesantren tadi karena menjaga dari hal-hal yang mungkin tidak perlu Ku katakan. Sampai di Rumah masih saja Aku diam memasang jual mahal, berharap Suami akan merayuku.

Hari ke empat

Tepat hari ke empat setelah berjamaah shalat subuh, Suamiku membalikkan badan menyodorkan tangannya, Aku meraihnya dan kukecup dengan lembut. Kemudian Dia menarikku ke pelukannya sambil berkata.

“Maafkan Aku Dek, Maafkan salahku yang terlalu egois.”

“Maafkanlah Istrimu juga Mas, yang tidak bisa menghargaimu sebagai Suami.”

Ada kehangatan yang begitu cepat menjalar ditubuhku, dan Suami juga merasakan hal yang sama. Dengan mengerlingkan mata genitnya kepadaku dan kubalas dengan senyuman, kemudian Dia mencopot mukenaku dan menggendongku di atas ranjang yang tiga hari ini terasa dingin. Dan Kami menuntaskan cinta Kami dengan perasaan yang sangat bahagia, sungguh Kami merasakan seperti pengantin baru yang getaran cinta Kami begitu sangat memecah kenikmatan di fajar itu. Setelah semua selesai tersalurkan tangan Kami masih berpegangan dan tertawa-tawa sambil mengenang betapa dulu cinta kita bersatu dengan banyak perjuangan, salah satunnya suami rela naek motor sekitar 8 jam perjalanan menuju Kota Surabaya untuk memastikan kalau Aku sudah makan atau belum.


Photo by Alex Jones on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *