“Ibuuu! Ibuuu! Ibuuu!” seru Ara sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Meja makan masih kosong.
Hari ini, rejeki nomplok. Ada yang beberes di komplek gedongan. Banyak buang kardus dan kertas. Kemudian, uangnya diletakkan di meja.
Dari dapur, Yanti datang dengan wajah memerah sambil membawa sapu. Tak lama kemudian, Buk! Batang sapu menghempas punggung Ara. Betapa kagetnya dia. Begitu masuk rumah langsung disambut pukulan oleh ibu tirinya.
“Ampun, Bu!” teriak Ara.
Buk!
“Kamu ambil perhiasan ibu! ” Yanti kembali menghempaskan pukulan ke punggung Ara.
“Ampun, Bu! Aku nggak ambil perhiasan! Bener… ” seru Ara sambil mencoba keluar dari rumah.
Tepat daun pintu terbuka, Ara berdiri. Yanti makin menggila. Diambil bangku besi yang ada di dekatnya. Kemudian, dihempaskan ke Ara. Buk! Salah satu sisi bangku mengenai kepala Ara bagian belakang.
Tubuh Ara jatuh ke lantai teras rumah. Sebelum dipukul lagi, Ara segera berdiri untuk pergi.
“Pergi kamu dari sini!” teriak Yanti.
Saking takutnya, Ara langsung membereskan buku-buku pelajaran dan baju-baju yang berserakan di teras rumah. Dimasukkan dalam tas dan kardus. Berhenti sejenak. Kepalanya mulai pusing. Tas disangkutkan ke punggung. Kardus dibawa di tangannya. Tergopoh-gopoh, Ara berjalan. Kepala Ara terasa berat.
Pak Syaiful berkata, “Kamu pasti dapat yang terbaik. Sabar, ya! Pulanglah kamu ke ayahmu!”
Suasana jadi ramai. Tetangga banyak yang keluar dari rumahnya. Penasaran. Mengatakan hal yang sama.
“Tinggalah bersama ayahmu!”
Ara menggangguk mantap. Berusaha tersenyum sambil menahan sakit di punggung dan kepala.
Bagian belakang terasa sedikit dingin. Jika terkena hembusan angin. Penasaran! Telapak tangan kiri, mengelus kepalanya. Yang dilihat, darah. Namun, dia harus terus melangkahkan kaki.
Teringat dia akan perkataan ayahnya, “Apapun yang terjadi, kamu jangan ke rumah ayah! Istri ayah yang sekarang nggak mau ada kamu! Uang kami gak cukup kalau kamu tinggal di rumah!”
Hal itu memberatkan dia untuk ke ayahnya. Sambil berjalan, dia berpikir keras harus tinggal di mana. Uang hasil jual kardus sudah diletakkan di meja rumah. Menyesal dia. Meski tak banyak, tapi lumayan buat makan dan minum selama dua hari.
Ara kehausan. Mencari kemana-mana rumah yang ada keran. Tapi, ini komplek gedongan. Keran airnya pasti di dalam halaman rumah.
Sekarang, itu sudah berubah menjadi tempat galon berisi air minum yang bisa diminum siapa saja. Kotak sampahnya sudah tidak ada di situ lagi. Berpindah tempat. Sayang, tidak ada gelas plastik yang biasa digunakan.
“Yah, gak ada gelas. Gak bisa minum juga.”
Lalu, dia menuju tempat satpam rumah itu untuk meminta gelas plastik.
Ruang satpam sedang ramai. Ada satu orang wanita sedang duduk di dalam.
“Pak, minta gelas kecil untuk minumnya,” seru Ara begitu sampai di ruang satpam yang terletak di depan rumah samping gerbang. Sang satpam yang sedang menyeruput kopi langsung menghentikan.
“Oh, gelas di sana sudah habis, ya? Iya, sebentar. Saya ambilkan di dalam.” Satpam masuk ke dalam rumah yang besar itu.
Namun, satpam terlalu lama. Ara sudah lemas sekali. Dia pun menyandarkan tas dan kardus ke tembok pagar rumah itu. Dan Ara bersandarkan kepalanya di atas kardus … kepulasan.
Satpam yang bernama Tarjo akhirnya keluar. Dan dia keheranan. Begitu buka pagar, gadis itu duduk santai menundukkan kepala di kardus. Kemudian, coba dibangunkan.
“Mba, bangun! Mba! Mba!”
Tapi, dia tetap tidak bangun.
Panik mulai merayapi kaki Tarjo. Wanita yang ada di dalam pun ikut panik. Hari ini, Shita melamar jadi perawat untuk seseorang yang sedang sakit. Dengan niat yang kurang baik. Mengincar gaji besar. Takut dimintakan bantuan medis maka diputuskan untuk segera pergi. Tanpa sepatah kata pun. Kayak perlombaan jalan cepat.
Tarjo makin bingung melihat situasinya. Segera, dia kembali ke dalam rumah dan mengatakan kepada majikannya. Berharap ada solusi.
“Kak Ivan, di luar ada orang yang gak bisa dibangunkan. Sebaiknya diapain ya? Panggil ambulan atau ditunggu sampe bangun trus suruh pulang?”
“Kok, bisa?! Tidur atau pingsan?” seru Ivan sambil meletakkan kertas yang dibawanya.
“Di mana orangnya?” tanya Ivan pada Tarjo sambil berjalan ke luar.
Tarjo segera mendahului majikannya. “Ini orangnya, Kak!”
“Dek, bangun!” Seru Ivan lembut sambil menggoyang-goyangkan lengan kanan atasnya.
Tak lama kemudian, ia pun terbangun. “Mana gelasnya?” tanyanya sambil mengangkat wajahnya.
” Arabella!” teriak Ivan yang kaget. Ivan masih ingat siapa dia. Orang yang menolongnya saat terjadi penjambretan.
Ara pun langsung berdiri. Rasa sakit ini ….
“Ngapain di sini? Bawa tas dan kardus pula! Mau pulang kampung? Minta anter ke stasiun?” tanya Ivan bertubi.
“Ikh, judes banget! Kayak pacarnya!” Dari kejauhan, Ara melihat sosok ayahnya sedang berjalan. Menuju dirinya.
Ivan dan Arabella satu sekolah. Sekarang, Ivan sudah lulus. Tapi, kekasih Ivan suka sekali mem-bully Ara. Nita iri dengan kecerdasan Ara yang hobi tidur. Nita dan Ara di kelas yang sama.
Sudah auto takut, Ara menghampiri ayahnya. Ara malu. Papa Eki langsung teriak di depan muka Ara.
“Bagi, uang! Papa laper! Di rumah, Eva belum masak. Emang lagi gak ada duit juga? Semalem, uang habis buat judi!”
Dia berkata, “Ara gak punya uang. Maaf, Pa!”
Begitu mendengar jawaban Ara, Papa Eki langsung kesal dan mendorong hingga terbentur pohon kepala Ara. Dia jatuh duduk. Kepalanya menunduk. Papanya memeriksa kantong celananya. Benar saja, kosong. Posisi badan Ara sedikit miring. Uang gak ada, dia kesal sekali. Didorong dan Ara tiduran di sisi jalan. Papanya pergi.
Itu gambar ke dua untuk Ivan. Dulu, dia pernah melihat Ara ditampar karena menyembunyikan uang di lipatan celananya. Tapi, baru kali ini, Ara terlihat banyak diam. Tak ada usaha menghindar. Dia berlari menghampiri.
“Aneh!” gumannya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ara.
Lalu, wajah Ara dipukul-pukul. Tak ada pergerakan juga. Kali ini, dia gak bangun. Dia pingsan! Wajahnya sangat pucat.
“Pak, bilang Ujang suruh keluarkan mobil. Saya bawa dia ke Rumah Sakit terdekat!”
Gerbang buka. Mobil sudah siap. Kardus dan tas dibawa masuk. Ivan menggendong Ara. Dimasukkan ke dalam mobil.
“Bilang ke Bi Iyem, pulangkan perawatnya! Kita urus lagi nanti!” kata Ivan kepada Tarjo.
Di perjalanan, Ivan resah! Dulu, kamu pernah melindungiku. Sekarang, aku yang akan melindungimu dari apapun, sumpah Ivan dalam hati yang kasihan melihat Ara.
Ivan merasakan aneh di pahanya. Terasa basah. Lalu, kepala Ara yang diletakkan di pahanya diangkat. Seketika itu juga, hatinya terasa sakit. Celananya yang berwarna abu-abu terdapat noda berwarna merah. Semakin kacau-balau pikirannya.
Photo by Pablo Heimplatz on Unsplash