Kreteg! Kreteg!
Tubuh ini terasa penat sekali. Kupatahkan ke sepuluh jari tangan secara bergantian hingga menimbulkan suara. Tangan mulai stretching ke atas kepala. Leher kugeleng-gelengkan ke kanan dan kiri. Betapa enaknya melakukan aktivitas ini. Tubuh dapat rileksasi sejenak.
Duduk berlama-lama sambil menatap layar monitor laptop, membuat mata agak pedih. Sudah dua hari ini, aktivitas ini kulakukan berjam-jam. Tidak hanya di sekolah, di rumah pun lembur agar tugas cepat selesai. Tak peduli hingga larut malam asal mata belum mengantuk tetap kubercanda dengan angka-angka. Namun, apa daya pekerjaan ini belum selesai juga. Sinyal ternyata tidak bersahabat sehingga aplikasi tidak bisa menyimpan data dengan cepat.
Hati ini sebenarnya sudah meronta-ronta ingin menonton drakor kesukaan. Selama pekerjaan belum selesai dan demi sebuah kata menjaga profesionalisme, dengan ikhlas drakor tereliminasi harus dinomorduakan.
“Capek ya, Bu Tita?” tanya Pak Roni.
“Ya-iyalah, Pak. Siapa juga yang tidak capek menatap laptop terus,” jawabku.
“Mau tidak capek, Bu?”
“Apaan tuh, Pak?”
“Kerjanya sambil lihat si Ganteng ini, Bu,” ujar Pak Roni sambil menyibakkan poni yang menutupi dahinya.
Mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Pak Roni, semua yang berada di ruang guru ini berrsorak riuh.
“Huu …, maunya Pak Roni. Modus tingkat dewa dari Negeri Antaberantah.” Bu Tina menyelutuk sambil melemparkan sebungkus kerupuk yang ada di mejanya.
Bukannya marah, Pak Roni menangkap kerupuk itu dan segera memakannya. Semuanya tahu kalau Pak Roni suka menggoda guru-guru yunior terutama yang masih jomblo.
“Enak, Bu, kerupuknya. Terima kasih.” Pak Toni memamerkan senyum gigi putihnya laksana iklan pasta gigi yang rajin hilir mudik tampil di layar kaca itu.
Situasi yang penuh canda tawa inilah, yang menghiburku di kala suntuk dengan pekerjaan yang menumpuk. Satu pekerjaan belum selesai sudah menanti pekerjaan yang lainnya. Balada guru kelas enam. Berkejaran dengan waktu. Cieelah … waktu kok dikejar. Cintamu saja yang kukejar.
“Kalau capek, istirahat saja, Bu. Jangan memaksakan diri. Kesehatan itu nomor satu,” ucap Bu Astuti dengan bijak.
“Siap, Bu!” ucapku seraya memberi tanda hormat pada beliau. Tampak senyum semringah yang mengembang di raut wajahnya saat melihat tingkahku ini.
Kulanjutkan pekerjaan mengisi aplikasi e-rapor, sambil berdoa agar sinyal kali ini bersahabat denganku. Memasukkan kompetensi dasar mata pelajaran yang dari tadi tidak tersimpan harus diulangi lagi. Mengulang dan mengulangi lagi hingga semua tersimpan di aplikasi. Kuncinya harus sabar. Kesabaranku diuji saat ini.
Saat pikiran sedang fokus menyentuh tombol-tombol warna hitam di keyboard, terdengar nada notifikasi dari gawaiku. Kuhentikan gerakan lincah jari ini, untuk mengambil gawai yang berada tepat di samping laptop putihku.
Kulihat nama yang terpampang di layar. Aduh, senangnya hatiku saat melihatnya. Baru melihat nama saja sudah membuatku tersenyum, apalagi kalau membaca isi WhatsApp itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Di saat rasa lelah mendera obat cinta tiba. Maunya sih so sweet.
‘Dik, maaf nanti sore acara kita ditunda dulu. Aku mengantar Delia,’
Senyumku rasanya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Kini hanya kukerucutkan bibirku saat membacanya. Malas rasanya membalas pesan itu. Percuma saja kalau aku tak setuju, Mas Bian tetap akan mengantar Delia. Si Wereng Cokelat penganggu hubunganku dengan Mas Bian.
Kurun waktu setahun perjalanan cintaku dengan Mas Bian tak membuatku memahami sikapnya pada Delia. Aku yang dianggap kekasihnya ternyata kalah dengan sahabat karibnya. Cemburu … aku sangat cemburu.
Siapa sih yang tidak tertarik dengan Mas Bian-ku. Sosok abdi negara dengan badan yang tegap, berhidung laksana perosotan, dan berkulit eksotis itu. Lubuk hatiku yakin kalau Delia juga menyukai Mas Bian. Sebagai seorang perempuan, aku tak bisa mempercayai persahabatan yang tulus antar lawan jenis. Pasti ada sesuatu diantara keduanya dan Delia berusaha menutupinya agar orang lain tidak mengetahuinya.
Pada saat berdua dengan Mas Bian, kusampaikan keluh kesahku tentang Delia yang mungkin mempunyai perasaan lebih pada Mas Bian ini. Menurut pendapatku seorang wanita dan pria dewasa tidak mungkin bersahabat murni. Pasti salah satunya akan terjebak dalam friendzone. Namun, Mas Bian kukuh menyangkalnya. Ia tidak menyukai Delia sebagai pujaan. Namun, hanya berteman karib saja. Lalu, haruskah aku mempercayai semua itu?
‘Teman makan teman’
Ucapanku saat itu hanya disambut dengan tawa oleh Mas Bian. Sejak saat itu, aku malas membahas Delia yang menurutku bagaikan onak yang harus disingkirkan. Sementara ini, biarlah Delia merasa menang dan mendapatkan perhatian lebih dari Mas Bian.
Pesan dari Mas Bian hanya kubaca saja tanpa ingin membalas pesan itu. Malas membalas pesan yang merusak mood-ku siang ini. Gawaiku berdering. Malas menerima panggilan dari Mas Bian. Kutekan tombol warna merah untuk menolak panggilan tersebut. Ternyata Mas Bian tidak patah arang, tetap bersikukuh menghubungiku terus.
“Bu, itu handphone-nya berbunyi terus. Siapa tahu, ada berita penting,” ucap Bu Astuti seraya menyuruhku menerima panggilan tersebut.
Panggilan demi panggilan tak kuhiraukan. Terhitung pangilan ke lima baru kuangkat handphone-ku tanpa bersemangat. Rasanya malas menerima kalau saja tidak disuruh Bu Astuti. Mungkin beliau yang berada di samping mejaku terganggu dengan deringan suara itu.
Kuanggukkan kepala seraya meminta maaf pada teman-teman. Kulangkahkan kaki menuju tempat duduk di bawah pohon beringin yang ada di halaman sekolah untuk menerima panggilan telepon dari Mas Bian tersayang.
“Assalamualaikum, Dek.”
Diam tak bersuara. Kubalas salam itu hanya dalam hati. Aku tahu menjawab salam itu hukumnya wajib. Namun, saat ini rasa malas dan sedikit cemburu yang menerpa membuatku diam seribu bahasa.
“Adek … Sayang. Jangan marah dong!”
Kubiarkan Mas Bian melontarkan kalimat rayuannya. Ia tahu kalau saat ini aku sedang merajuk. Lama-kelamaan pertahananku jebol juga. Ternyata aku tetap peduli pada Mas Bian.
“Biarin. Memang Mas saja yang bisa seenaknya sendiri,” balasku.
“Maafkan daku, Say. Kamu kan tahu kalau Delia sendirian di kota ini. Tidak ada seorang pun keluarga yang menemaninya. Hanya aku keluarga terdekatnya sekaligus temannya.”
“Ya, sudah. Sekalian saja, Mas jadikan Delia pacar!”
Mendengar nada kalimatku yang sudah beroktaf tinggi, suara Mas Bian melemah. Hembusan napas terdengar kasar di ujung telepon.
“Percayalah, Dek. Aku takkan berubah walaupun ada satu, dua, atau tiga Delia di sekitarku. Cintaku tulus padamu.”
Hatiku menghangat mendengar kalimat itu. Seandainya Mas Bian tahu, mungkin ada rona merah yang menghiasi pipiku ini.
“Gombal!” jawabku. Mas Bian langsung meluncurkan jurus mautnya.
“Jalan-jalan ke Pasar Baru, jangan lupa membeli nangka. Jika kau cinta padaku, marilah kita membeli nangka eeaa,”
Mendengar penggalan pantun yang mirip diucapkan pelawak terkenal itu, tawa tak dapat kucegah.
“Gak lucu, Mas. Mana, gak nyambung,” balasku.
“Gak apa-apa gak nyambung nanti aku cari selotip untuk menyambung hatimu dan hatiku. Tadi itu yang benar, Jika kau cinta padaku, marilah saling percaya.”
Benar kata orang, komunikasi itu sangat penting selain kepercayaan. Setelah berbincang dengan Mas Bian, hatiku pun sedikit luluh walaupun rasa sebal masih ada. Dengan berat hati aku mengizinkan Mas Bian mengantar Delia.
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya Delia menutupi rencana jahatnya merebut Mas Bian dengan mengatasnamakan persahabatan, nanti juga akan terlihat. Biarlah waktu yang menentukan. Saat ini aku hanya bisa berdoa, semoga hubunganku dengan Mas Bian baik-baik saja.
“Suntuk amat mukanya, Bu! Suara Bu Silvia membuatku tersentak dari lamunanku. Kubalas dengan senyuman saja celotehan tadi.
“Mau, ini?”
Wangi cokelat yang menguar dari dalam kotak yang diletakkan Bu Silvia di depanku, membuatku berhenti memainkan jemari tangan di atas keyboard. Mengambil sepotong kue dan menelan bulat kue itu. Kue brownies ini, seperti hubunganku dengan Mas Bian. Manis tapi bantat. Nyata manisnya tapi begitu semu karena pahitnya selalu mengiringi.
Dua hari sudah Mas Bian belum menghubungiku lagi. Kesibukan latihan untuk mempersiapkan turnamen yongmodo membuatnya harus fokus latihan. Malam Minggu kurasa sangat kelabu. Dekat dengan seseorang yang rasanya jauh dari jangkauan.
Tok!Tok!
Terdengar pintu diketuk. Kubuka pintu dan membalas ucapan salam dari luar. Aku sudah hafal betul itu pasti Silvia. Tadi kita berdua sudah janji akan hang out melihat pameran pembangunan. Kulihat Silvia tampak cantik dengan balutan baju berwarna hijau itu. Ternyata, tanpa janji pun baju yang kupakai juga senada warnanya.
Setelah meminta izin pada bundaku, segera kami meluncur ke tempat pameran. Tentu saja banyak pengunjung malam ini karena bertepatan dengan malam Minggu. Waktunya para jomlo mencuci mata. Lelah melihat barang yang dipamerkan, Silvia mengajak mencari minuman segar di kafe yang tidak jauh dari tempat pameran itu.
Bercanda dengan Silvia yang memang kocak sangat menyenangkan hati. Ada saja bahan lelucon yang membuatku tertawa lepas. Kalau di sekolah, kita saling memanggil dengan sebutan Bu. Namun, di luar sekolah, hanya memangggil dengan nama saja. Dia adalah teman istimewaku.
Saat menunggu pesanan yang belum datang, tiba-tiba Silvia berbisik. “Lihat arah jam sebelas!”
Sontak kulihat arah yang ditunjukkan oleh Silvia. Hatiku hancur melihat pasangan–laksana sepasang kekasih. Ya, kulihat Mas Bian dan Delia berada di kafe yang sama. Mas Bian malam ini masih menggunakan seragamnya dan tampak memesona. Raut muka Delia tampak berbinar. Kulihat Delia sesekali menyuapkan makanan ke Mas Bian, tetapi Mas Bian menolaknya.
Silvia mengenggam tanganku, memberi kekuatan agar aku tegar. Kuambil handphone di dalam tas dan menghubungi nomor Mas Bian.
“Mas, kamu di mana?” tanyaku begitu nada dering telah tersambung.
“Ini, Dek. nemani Delia. Tadi ngantar periksa ke dokter,” jelasnya.
“Tega, kamu, Mas. Kepercayaanku kamu hancurkan. Menemani atau beradegan mesra?”
Mas Bian memutar tubuhnya. Jiwa prajuritnya beraksi mencari keberadaanku. Namun, segera mungkin kuajak Silvia keluar dari kafe tersebut agar tidak bertemu dengan Mas Bian secara langsung.
“Kamu akan menyerah setelah sejauh ini?” tanya Silvia.
Sudut hatiku bersuara, menegurku yang mulai pesimis, tetapi sudut hati yang lainnya gelisah untuk tetap berjuang.
“Baru beberapa waktu menjalin hubungan, tetapi selalu makan hati yang didapatkan.”
Kuhembuskan napas dengan kasar. Entah, ada kejadian apa lagi setelah malam ini. Rapor cinta yang telah kuhias dan isi dengan kompetensi dasar saling percaya ternyata berujung penghianatan. Kejujuran Mas Bian bagiku, bagaikan makan buah simalakama yang tidak menguntungkan untuk perjalanan cintaku.
Hatiku seketika remuk menjadi butiran debu. Seperti yang aku perkirakan, aku selalu menjadi nomor dua setelah Delia. Rapor cintaku merah menyala.
****TAMAT ****
Photo by Alexander Sinn on Unsplash