“Mas, besok jalan yuk!”
“Mau ke mana?”
“Ke rumah bapak dan ibuk.”
“Iya ya, aku juga sudah kangen sama bapak dan ibu. Seru juga mungkin kalau lewat rute yang tidak biasa, mumpung musim panas jadi jalanan tidak licin.”
“Boleh, juga.” Aku mengiyakan usulnya. “Kalau begitu, kita harus siap-siap mulai sekarang. Besok kita berangkat usai sholat subuh agar dapat pemandangan pagi sebelum kendaraan mulai ramai.”
Dengan semangat membara, vespa yang merupakan satu-satunya kendaraan kami, segera kami servis. Mas Bimo mencuci bagian luar dan juga bagian dalam mesinnya, mengganti oli mesin, menambah oli samping juga bagian kopling, dan memastikan rem kondisi sempurna. Di saat yang sama, aku sibuk menyiapkan beberapa baju yang nyaman untuk kami berdua, baik untuk perjalanan maupun untuk menginap di rumah ibu.
Sibuk dengan persiapan, tak terasa matahari telah lama beranjak dari pandangan, digantikan dengan sinar rembulan. Kami pun membereskan semuanya dan berangkat tidur lebih awal agar stamina untuk esok hari cukup.
Aku terjaga dari lelapku ketika kudengar sama-samar bisikan di telingaku dan usapan lembut di pipiku. Suara khasnya membujukku.
“Jeng… ayo bangun, sholat malam dulu.”
Aku sebenarnya sudah mendengarnya tapi masih pura-pura tertidur. Rasanya ingin aku berlama-lama menikmati momen dimanjakannya. Kulihat dia tersenyum, duduk bersimpuh di atas sajadah yang terbentang, sudah selesai sholat malam.
Dalam hati, “Aduuhh… bagaimana bisa tidurku nyenyak sekali sampai-sampai tidak mendengar bahwa dia sudah bangun dan sholat malam duluan.” Maka aku buka mata dan tersenyum,
“Kangmas apa sudah sholat?”
“Iya, sudah. Aku nggak tega membangunkan kamu, pules sekali tadi. Sudah, ayo segera wudhu sana.”
Kulihat Mas Bimo melanjutkan dzikirnya ketika aku beranjak ke kamar mandi. Sungguh bersyukur aku memiliki dia yang selalu bertutur kata lembut dan penyayang. Kasihnya membuat aku malu dan termotivasi untuk terus memperbaiki diri. Selalu ku ingat kata-kata dia dalam kutipan Quran Surah Al-Isra’ ayat 79 bahwa manusia diperintahkan sholat malam sebagai ibadah tambahan. Mudah-mudahan Allah mengangkat kita ke tempat yang terpuji. Tak lama kemudian, aku sudah siap sholat malam di dekatnya. Kami pun larut dalam do’a masing-masing.
Sudah satu jam kami sholat dan dzikir. Jam di dinding telah menunjukkan pukul empat pagi, pertanda sebentar lagi akan memasuki waktu subuh. Kami pun beranjak ke meja makan untuk sekadar minum teh hangat dan bercengkrama, menyusun rencana perjalanan sengaja mengambil rute yang agak jauh dengan medan yang sedikit menantang, menyuguhkan pemandangan yang berbau petualangan.
Suara mengaji dari masjid sudah terdengar. Kami segera bersiap untuk pergi ke masjid. Setelah siap, Mas Bimo membuka pintu. Udara pagi yang sejuk dan berkabut membuat hati ini selalu bersyukur. Alhamdulilah, dengan karunia kesehatan sehingga masih bisa menghirup aroma segarnya udara pagi, mendengar kicau burung kutilang yang hinggap dari dahan satu ke yang lain dan kenikmatan bersama suami pergi menunaikan sholat subuh berjamaah di masjid.
Sepulang dari masjid, kami segera bersiap untuk berangkat berpetualang. Setelah memastikan rumah aman, vespapun dinyalakan dan Mas Bimo mengajak untuk berdo’a agar perjalanan kami aman dan nyaman sampai tujuan.
Vespa bergerak meninggalkan rumah. Setelah berjalan sekitar 10 menit, diantara rumah-rumah penduduk, mulai terlihat hamparan tanaman sayur mayur yang menghijau. Kadang kebun mawar yang membuat hati ini menjerit girang membayangkan adegan romantis seperti film-film jadul, berdua naik vespa sambil bercengkrama. Kupu-kupu mengisi relung dadaku, menggelitik.
Tak lama kemudian, perjalanan kami mulai memasuki hutan pinus. Kadang, kabut tebal menghalangi pandangan kami, membuat kecepatan vespa harus dikurangi. Hawa makin dingin terasa. Kumasukkan lebih dalam kedua tanganku di saku jaketnya. Kueratkan lagi pelukanku dari belakang sambil kusenandungkan lagu petualangan. Perlahan, kabut mulai menipis. Mataku terpaku melihat sesuatu di atas sana, di antara dahan-dahan pepohonan tinggi yang menjulang. Aku menepuk-nepuk bahu Mas Bimo.
“Masyaallah…”
“Ada apa, Jeng?” sambil memelankan laju vespa kami.
“Itu…banyak monyet di atas sana.”
“Ooo…iya ya…”
Monyet-monyet itu bergelantungan, melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Puas menyaksikan pemandangan itu, vespa pun kembali melaju. Tak henti-hentinya dalam hati aku bersyukur menyaksikan pemandangan seindah ini. Kanan kiri masih ditumbuhi pepohonan tinggi nan lebat, suara derasnya air sungai yang mengalirkan air gunung yang jernih, batu-batu hitam yang berserakan tapi memberikan kesan indah dengan kealamiannya.
Seratus meter di depan, terlihat beberapa pengendara yang berhenti untuk istirahat. Di dekat situ, tampak pemandangan yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Mengalir air terjun sekitar 30 meter jauhnya dari jalan raya. Sengaja oleh pemerintah disiapkan kursi-kursi dari semen sebagai rest area sambil menikmati pemandangan.
Ada dua warung di area itu. Kami pun masuk sambil memesan dua gelas susu segar hangat dan roti bakar sambil istirahat menikmati segarnya udara dan air terjun yang memesona tersebut. Aku sudah tak sabar untuk menyeruput minuman hangat didepanku. Karena memakai sarung tangan, aku tak sadar kalau minuman tersebut panas sekali. Alhasil, ketika minuman itu sampai di bibirku aku kaget sekali dan reflek menjatuhkan gelas yang aku pegang.
Mas Bimo ikut panik melihat kecerobohanku. Dengan sigap, dia memegang dan melepas sarung tanganku yang ketumpahan minuman panas tersebut. Dia lalu membuka dengan cepat air putih bekal kami dan mengguyur tanganku, mencuci tanganku dengan air dingin tersebut. Sambil meniup-niup tanganku. Tak lupa, aku juga disuruh berkumur. Tak berapa lama, rasa panas itu sudah berangsur hilang tapi tanganku masih memerah. Terlihat dari mukanya dia masih khawatir.
Dia tahu kalau aku suka sekali dengan minuman berwarna putih itu. Lalu dia meminjam piring kecil kepada ibu penjual untuk menuang minuman tersebut sedikit demi sedikit. Dia meniupnya dan memberikannya kepadaku.
Setelah kurang lebih lima belas menit istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Sekarang, kecepatan vespa kami bisa maksimal karena kabut sudah mulai hilang tergantikan oleh sinar matahari yang malu-malu muncul karena terhalang oleh tingginya pohon-pohon dan langit banyak tertutup awan.
Keluar dari hutan pinus, sekarang pemandangan banyak rumah-rumah penduduk sehingga membuatku agak bosan. Karena lelah mengobrol, tak sadar mataku mulai mengerjap-ngerjap perlahan, mulai mengantuk. Aku bilang pada Mas Bimo kalau aku ngantuk. Dia memegang tanganku dan mengalungkan erat di pinggangnya, seperti anak kecil yang menggelayut manja menahan kantuk saat dibonceng.
Jika suatu waktu aku benar-benar hilang keasadaran dan membuat vespa kami oleng, dengan sabar Mas Bimo menepi dan menyuruh aku turun. Aku disuruhnya lompat-lompat sebentar, minum, dan diajak ngobrol. Ketika kantuk memang benar-benar tidak bisa ditahan maka kami mampir ke warung rujak cingur untuk istirahat yang agak lama. Setelah tenaga pulih, baru kami melanjutkan perjalanan lagi.
Untuk mencapai rumah ibuk, dibutuhkan waktu selama lima jam perjalanan dengan sepeda motor. Perjalanan kami sudah empat jam sehingga membuatku capek duduk di belakang. Dengan sabar, Mas Bimo menawari aku untuk mengemudikan vespanya. Akan tetapi, jam terbangku tak selama dia sehingga belum terlalu lincah sehingga perjalanan terasa lebih lama. Aku pun menyerahkan urusan mengemudi kepadanya yang lebih ahli. Tak lama kemudian, kami sampai di rumah ibuk.
Menjalani kehidupan berumah tangga adalah urusan menyatukan isi dua kepala yang berbeda. Terkadang, keinginan bisa sejalan tapi sering juga ada perbedaan. Kita akan menikmati kebersamaan tatkala adanya rasa saling menghargai dan rela berkorban untuk kedamaian bersama. Tidak peduli usia pernikahan masih seumur jagung ataupun sudah setengah abad akan selalu harmonis jika diskusi dilakukan sebagai jalan keluar mengatasi masalah. Rasa sayang tak akan luntur meski anak sudah sepuluh jika dari diri masing-masing selalu berusaha melayani satu sama lain.
Photo by Isabella Smith on Unsplash