Darahku terasa mendidih melihat bagaimana mesranya Mas Andi dengan wanita itu, kebohongan yang selalu ia tutupi akhirnya terlihat. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai bau busuk itu akan tercium juga.
Kubulatkan tekad, sudah saatnya mengakhiri semua kepalsuan ini. Jika sudah tidak ada lagi kejujuran dan kesetiaan untuk apa dipertahankan. Maaf saja aku bukan tipe wanita yang rela diduakan. Aku langsung menghampiri mereka.
“Jadi rapatnya seperti ini ya, Mas?”
Melihat kedatanganku, pasti Mas Andi kaget, lihat saja ekspresi terkejutnya sungguh menggelikan.
“Mau bilang dia sekretarismu? Tapi kamu kan hanya karyawan biasa. Hmmm….” Sambil mengetuk kursi yang diduduki oleh Mas Andi ,aku kembali bicara, “Atau Mas mau bilang dia rekan kerja yang kebetulan makan siang jam istirahat? Tapi kok mesra? Pegangan tangan, elus-elus rambut sambil bahas liburan berdua ke Bali?”
Melihat Mas Andi yang hanya bisa diam, aku tersenyum getir. Dua tahun saling mengenal lalu menikah ternyata rumah tanggaku hanya bertahan di tahun kedua. Selama hampir empat tahun Mas Andi tidak pernah berbohong padaku, dia selalu menceritakan semua hal yang terjadi padanya. Namun, sejak lima bulan yang lalu sikapnya mulai berubah, tidak pernah bercerita masalah yang ia alami dan sering beralasan lembur jika pulang malam juga sudah makan di luar sebelum pulang. Jadi kecurigaanku benar jika Mas Andi telah berpaling hati.
“Jadi, apa alasan Mas sampai tega menghianatiku?” Kutatap mata Mas Andi mencari jawaban, tapi dia hanya diam menunjukkan ekspresi bersalah.
“Karena kamu mandul. Mas Andi mau punya anak makanya dia menikahi aku.” Yang menjawab justru wanita sundal di depannya. Kutatap wajah wanita itu, lumayan cantik pasti wajahnya mendapat perawatan setiap hari. Dengan sombong ia bangkit dan mengelus perutnya yang sedikit buncit, “Lihat, baru nikah empat bulan saja aku sudah hamil. Kamu?”
Aku hanya mampu menggeleng kepala, dia yang pelakor tapi seakan tidak merasa bersalah. Bagus sekali pembohong bertemu penggoda. Dua-duanya cocok.
“Oh, jadi masalah anak toh? Oke, kalau begitu selamat ya Mas, bentar lagi bakal jadi ayah, dong,” balasku santai. “Urus saja surat cerai kita. Mas tahu kan, ke mana kirimnya. Tenang saja aku tidak akan tinggal di rumah yang kamu beli, aku cuma ambil barang-barang aku saja. Untuk barang-barang yang kamu beli silakan ambil atau buang saja, atau bisa juga Mas kasih ke istri baru Mas, bukannya dia suka barang bekas ya?” sindirku lalu berbalik meninggalkan restoran tempat mereka memadu kasih.
Kuabaikan teriakan makian dari wanita sundal yang tak terima kusindir, Mengambil ponsel, segera kutelepon mama untuk mengatakan aku akan pulang ke rumah. Sedangkan, untuk mama mertua kukirim rekaman video yang tadi diam-diam kuambil saat memergoki Mas Andi bersama istri barunya. Aku yakin mereka menikah secara siri karena tidak mungkin menikah secara sah tanpa izin dari istri pertama. Jika pun menikah secara sah pasti ada data yang dipalsukan.
Hatiku hancur, tidak ada siapa pun yang mau rumah tangganya hancur di tengah jalan. Namun, terkadang kita tidak pernah tahu rencana dan ujian dari takdir Tuhan. Rela atau tidak tetap harus menjalaninya.
Dulu Mas Andi berjanji jika ia akan selalu setia sampai maut memisahkan kami, selalu mencintai apa pun kondisiku kedepannya nanti, ternyata dia juga yang mengingkarinya.
Sudah tiga tahun aku hidup sendiri dan menetap di rumah orang tua. Selain tidak ada yang merawat mereka aku juga harus membesarkan putraku yang sekarang sedang aktif-aktifnya. Mama melarang mencari pembantu untuk menjaga Muhammad Al Khalid, jadi jika aku bekerja maka Khalid akan bermain dengan kakek dan neneknya.
Mas Andi menyesal saat tahu jika aku juga sedang hamil saat kami akan bercerai dan ingin kembali. Sayangnya, kepercayaanku padanya telah hilang. Lebih baik menjadi janda daripada kembali rujuk. Kedua orang tua Mas Andi masih berkomunikasi denganku, dan sesekali berkunjung ke rumah untuk menemui cucunya. Aku tak pernah bertanya tentang wanita sundal yang telah merebut Mas Andi sebab itu bukan urusanku. Prioritas utama adalah Khalid dan orang tuaku.
Aku bekerja di salah satu toserba berlantai tiga, mirip dengan mall karena memakai eskalator dan semua kebutuhan juga lengkap. Di lantai dasar tersedia sembako dan peralatan dapur, lantai dua berisi produk skincare dan elektronik sedangkan lantai atas berisi pakaian, sepatu, tas, buku dan peralatan sekolah juga novel serta komik. Aku bekerja sebagai karyawan salah satu brand hijab dan baju muslim, gajinya lumayan bisa untuk biaya keperluan sehari-hari dan menabung sedikit untuk keperluan masa depan Khalid, Mas Andi memang tak melupakan nafkah pada anaknya tetapi aku tak ingin selalu mengandalkan uang Mas Andi.
Seharian aku sibuk bekerja melayani pembeli. Hari ini toko lumayan ramai karena mendekati hari raya, jadi banyak yang membeli baju lebaran. Saat turun ke lantai dasar dan membeli barang-barang yang diperlukan seseorang menyapaku.
“Assalamu’alaikum, Yuli Ramadhani, ya? Alumni SMA Bhakti Angkasa?” sapanya ramah.
Aku melirik melihat orang yang tadi menyapa, seorang pria dewasa dengan wajah teduh dan janggut tipis di dagunya sosok yang berwibawa ia memakai baju batik dan tersenyum sambil menunggu jawabanku.
“Wa’alaikumussalam, siapa ya?” tanyaku heran, aku benar-benar sudah lupa wajah teman-teman sekolah dulu.
“Muhammad Ridho Al Khalid, teman sekolah kamu. Lupa?” balasnya seraya menggeleng tak percaya jika aku sudah melupakannya.
“Oh Alkha, ketua OSIS juga anak ekskul basket, kan? Yang dulu numpahin bekal makan siangku?”
Mendengar perkataanku, Alkha tertawa. Kenangan yang tidak akan terlupakan karena dari sanalah awal perkenalan kami.
Kami mengobrol cukup lama sampai Alkha ditegur oleh seorang wanita seumuran mama dan memarahinya. Aku hanya bisa tertawa dan meminta maaf karena telah membuat Alkha melupakan tugasnya sebagai seorang anak.
Alkha juga mengenalkanku pada ibunya yang ternyata dulu pernah kutolong karena kelelahan saat belanja pakaian dan kami banyak mengobrol termasuk alasan tentang mengapa aku bekerja dan bercerai. Saat akan pulang, Alkha mengucapkan sesuatu yang membuat duniaku berhenti.
“Yuli Ramadhani, maukah kamu menjadi makmumku untuk mencari rida Allah. Aku tahu kamu sudah bercerai dan sekarang sendiri. Kalau kamu bersedia, aku dan keluarga akan datang malam ini untuk melamar.”
Sungguh aku tak mampu berkata-kata, Alkha tiba-tiba melamarku. Dulu aku pernah memiliki rasa suka padanya tapi kusembunyikan karena banyak yang suka padanya. Hingga aku lulus sekolah sejak itu aku tidak tahu lagi kabarnya. Mungkin ini lah rencana dari takdir Tuhan yang telah Ia siapkan untukku, memberikan jodoh yang terbaik dari jodoh terdahulu.
“Ya, aku bersedia.”
Fin
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash