Hani melihat seorang pemuda, bertubuh tinggi, berkulit putih dan tidak lupa, tampan! Hani merasa belum pernah mengenalnya. Namun, rasanya sudah lama bersama dengannya. Eh, dia tersenyum melihat Hani. Senyum yang tidak akan dilupakan Hani. Hani mendekat, ingin bertanya siapa namanya. Cowok itu berbalik dan meninggalkannya. Hani berlari dan mengejar. Tiba-tiba ….
“Aduh!” Hani berteriak saat terjatuh dari kasur. Ternyata hanya mimpi, pikir Hani.
Hani mengumpulkan kesadarannya dengan mengucek mata. Dia melihat jam weker di nakas. Sudah setengah tujuh! Gawat! Bisa terlambat sekolah, pikir Hani. Dia bergegas mandi dan berangkat ke sekolah. Soal lapar pikir nanti, yang penting jangan terlambat! Begitulah yang Hani pikirkan.
Dia beruntung jarak rumah dengan sekolahnya cukup dekat. Hanya berjalan kaki sepuluh menit. Jika berlari —seperti yang dilakukan sekarang— dia akan sampai dalam waktu lima menit saja.
“Tunggu, Pak!” Hani berteriak kepada Pak Dimas —satpam di sekolahnya. “Aku mau masuk, Pak. Jangan ditutup dulu.”
Pak Dimas hanya geleng-geleng kepala dan menutup pintu setelah Hani masuk. “Fiuuh, untung keburu,” ucap Hani.
Dia segera berlari menuju kelasnya. Begitu duduk di bangku kesayangan, bel berbunyi. Dina, teman sebangkunya bertanya, “Ngapain lo lari?”
“Hampir telat, Din. Lo kayak nggak tau gue aja. Ntar aja bahasnya. Jam pertama ada Bu Tiara ketauan ngobrol bisa gawat!” jawab Hani.
Bu Tiara adalah wali kelas mereka yang terkenal tegas saat mengajar. Namun, jika di luar kelas, beliau luar biasa baik. Ketika Bu Tiara masuk ke kelas, suasana hening seketika. Tidak ada yang berani bersuara, kecuali ketua kelas —yaitu Hani— mengomandoi teman-teman untuk memberikan salam kepada Bu Tiara.
“Anak-anak. Hari ini kalian ada teman baru, pindahan dari Bogor. Ayo, silakan masuk, Nak.” Bu Tiara mengajak seseorang masuk.
Deg!
Kok dia? Hani merasa deja vu melihat siswa baru itu. Bukankah dia yang ada dalam mimpiku tadi?
Namun, Hani tidak bisa leluasa mengingatnya. Apalagi ketika Bu Tiara memintanya untuk mengajak Doni —siswa baru itu— berkeliling sekolah saat istirahat nanti, membuat konsentrasinya pecah.
Doni duduk tepat di belakang Hani, membuatnya makin tidak berdaya. Sepanjang pelajaran, Hani tidak bisa menyerap dengan baik. Efek kehadiran Doni sungguh biasa.
Bagaimana bisa dia hadir di mimpiku? Sedangkan kami baru bertemu sekarang? pikir Hani.
Bel istirahat berbunyi. Biasanya Hani akan langsung berlari menuju kantin sekolah, apalagi pagi tadi dia tidak sempat sarapan. Namun, ide itu terpaksa harus ditunda, karena dia mengantar Doni berkeliling.
“Ayo, Don. Gue ajak lo keliling sekolah. Oh ya, kenalin nama gue Hani.” Hani mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“Gue Doni. Makasih, ya. Udah mau nemenin gue berkeliling,” jawab Doni.
Hani menjelaskan setiap detail gedung yang ada di sekolah. Ketika mereka berada di depan kantin, tiba-tiba perut Hani berbunyi.
“Aduh, malu-maluin aja nih, perut!” gerutu Hani dalam hati.
Doni hanya tersenyum dan mengajaknya masuk. Doni beralasan kalau dia juga lapar.
“Di sini yang enak apa?” Doni meminta rekomendasi dari Hani.
“Yang paling enak menurutku, batagornya Mang Ali. Lo cobain deh,” saran Hani.
Doni mengangguk dan mengikuti langkah kaki Hani. Di depan sebuah gerobak warna hijau, Hani berhenti.
“Mang, batagor dua, ya,” ucap Hani kepada Mang Ali.
Kemudian, Hani mengajak Doni duduk di bangku yang ada di depan gerobak. Tidak lama pesanan datang dan mereka asyik menyantap batagor yang kabarnya enak itu. Bel masuk berbunyi tepat saat mereka selesai makan. Hani mengajak Doni masuk kelas.
Meskipun pertemuan awal mereka seakan tidak ada masalah, Hani dibuat kesal dengan tingkah Doni yang terus mengganggunya. Doni seringkali tiba-tiba melepas ikat rambut Hani dengan alasan lebih bagus digerai.
“Sungguh menyebalkan!” Hani mendesis kesal ketika Doni melakukan hal itu.
Di lain hari saat Hani sedang menyantap sepotong roti, Doni mengambil dan memakannya.
“Doniii!” teriak Hani.
Doni hanya tertawa dan mengedipkan sebelah matanya. Dina meledeknya dengan mengatakan kalau Doni sebenarnya naksir dengan Hani.
“Ih, amit-amit,” kata Hani sambil bergidik.
“Jangan kayak gitu, ntar jodoh baru tahu rasa!” Dina malah menyumpahi Hani.
Setiap hari di sekolah bagai neraka bagi Hani. Doni selalu mengganggunya. Meskipun semua teman satu kelas mengatakan Doni naksir dia, tetap saja Hani tidak suka. Hani bersyukur bulan depan dia sudah lulus dari sekolah ini.
“Yes, nggak bakal ketemu dia lagi,” doa Hani.
Ketika hari kelulusan tiba, semua siswa hadir dengan orangtuanya. Begitu pun Hani. Papa dan Mama yang biasanya sibuk, hari ini menyempatkan datang ke sekolah untuk melihat putri kesayangan satu-satunya lulus.
Upacara pelulusan yang awalnya berjalan dengan khidmat berubah menjadi gaduh ketika Doni —lulusan terbaik tahun ini— berpidato. Kalau hanya pidato biasa tidak akan seperti ini. Di sela-sela pidatonya, dia nembak Hani di hadapan semua orang!
“Hani, gue tau lo sebel karena diganggu. Itu karena gue sayang sama lo. Jadi, lo mau nggak jadi pacar gue?”
Coba, mau ditaruh mana muka Hani? Di hadapan banyak orang Doni melakukan hal gila itu!
“Pah, tuh anaknya ditembak sama lulusan terbaik. Setuju nggak, Pah?” ledek Mama.
“Apaan, sih, Mah? Hani malu tau,” ucap Hani sambil menyembunyikan mukanya.
Suasana gaduh makin riuh, ketika Doni tiba-tiba turun panggung dan berjalan menuju Hani dengan seikat bunga di tangannya.
“Om, Tante, saya mohon izin untuk melamar Hani sebelum saya kuliah ke Jepang. Apakah diizinkan?” Doni mengutarakan maksudnya kepada orangtua Hani.
“Iya, Mas. Ini anakku udah cinta banget sama Hani kayaknya. Hahahaha,” ucap Papa Doni.
“Lho, ini anakmu? Oalah, dunia sempit ya, Bud,” jawab Papa Hani yang ternyata mengenal Budi —Papa Doni.
Tidak bisa menahan malu, Hani langsung berlari pulang. Dia terlalu pusing dengan semua ini. Bagaimana mungkin, Doni cinta sama dia, bikin kesal iya! Tidak lama setelah dia sampai, orang tuanya pulang juga.
“Han, Mama mau bicara. Ayo keluar dulu,” ucap Mama.
“Hani nggak mau, Mah. Hani pusing!”
Hani tidak mau membahas hal memalukan itu lagi. Jika orangtuanya mulai menyinggung soal Doni, dia akan masuk ke kamar dan tidak keluar sampai pagi. Akhirnya, Mama dan Papa Hani juga tidak membahas Doni lagi.
Lima tahun kemudian.
Hani sudah lulus kuliah manajemen dan sekarang bekerja di sebuah Bank plat merah yang ada di Jakarta. Rutinitas padat sudah biasa dia jalani. Sesekali dia datang ke acara reuni SMA-nya meski ujungnya tidak enak. Karena semua bertanya, Doni apa kabar?
Semenjak insiden penembakan di depan umum, Hani tidak pernah lagi berhubungan dengan Doni. Meskipun setelah Doni pergi, Hani merindukan kejahilan Doni —yang tentu saja tidak mau diakuinya.
Yang Hani tidak tahu, kedua orangtua mereka sudah saling kenal sejak lama dan memang berniat saling menjodohkan. Begitu tahu kalau Doni memendam rasa kepada Hani, atas inisiatif Papa Doni, mereka membuat rencana di belakangnya. Papa Hani yakin, mereka akan berhasil mempersatukan Doni dan Hani.
Sore ini, Hani bersiap akan pulang. Mang Heru —office boy di kantor— masuk dan mengantarkan sebuket bunga mawar merah kepada Hani. Sontak, Hani kaget karena merasa tidak memesan bunga, juga tidak sedang berpacaran dengan siapa pun.
“Wah, Hani dapat bunga dari siapa tuh? Diam-diam punya pacar, ya?” ledek teman seruangannya.
“Idih, nggak ya. Aku juga nggak tau ini dari siapa,” ketus Hani.
Merasa sayang jika dibuang, Hani akhirnya membawa pulang bunga itu. Tentu saja Mama dan Papa Hani pura-pura tidak tahu kalau itu dari Doni. Mereka bertanya seolah tidak tahu, keren sekali aktingnya sampai Hani tidak merasa curiga sedikitpun.
Kejadian itu, tidak berhenti. Setiap sore —mendekati jam pulang kerja— akan ada bingkisan untuk Hani. Mulai dari bunga, kue, buah, bahkan pernah juga dikirimkan perhiasan!
Hani mulai merasa risih, sebenarnya siapa yang mengirimkan itu? Namun, tidak pernah ada kartu ucapan dalam setiap bingkisan. Sampai suatu hari, ponselnya berdering.
“Halo, ini siapa?” tanya Hani.
“Masih inget gue nggak?”
Hani menerka dan mengingat suara siapa itu, tetapi ingatannya buntu.
“Gue nggak inget. Udah langsung aja ini siapa sebenarnya?” jawab Hani to the point.
“Gue yang kasih bingkisan buat lo.”
Mendengar jawaban itu, Hani tidak jadi menutup panggilan. Hani bertanya siapa namanya, tetapi orang itu tidak mau menjawab. Malah berkata, nanti juga tahu kemudian menutup panggilan.
Hani tercenung sesaat, kemudian memilih pulang. Semenjak itu, penelpon misterius —Hani menyebutnya demikian— selalu rutin mengirimkan pesan. Bangun, sarapan, makan siang, pulang sampai tidur selalu ada pesan darinya. Padahal Hani selalu mengirimkan jawaban yang singkat, pertanda tidak suka.
Ini orang nggak punya kerjaan kali, ya, pikir Hani.
Namun, seperti halnya sebuah kebiasaan, Hani mulai merasa nyaman. Dia merasa kenal dekat dengan penelpon misterius ini. Sayang, Hani tidak bisa mengingatnya.
[Lo bener-bener nggak ingat sama gue? Atau lu benci sama gue sejak kejadian itu?]
Hani tertegun membaca pesan itu. Kejadian apa yang dimaksud? Tiba-tiba ingatannya kembali ke masa lalu. Satu-satunya kejadian yang membuatnya kesal setengah mati. Doni! Ya, pasti dia.
[Lo, Doni? Beneran Lo ini?] Begitulah isi pesan yang dikirimkan Hani.
[Iya, ini gue, Doni. Lo masih sebel sama gue, ya? Sampai suara gue aja, Lo bisa lupa.]
Karena tidak tahu harus menjawab apa, Hani tidak membalas pesan dari Doni.
Ah, biarlah, pikir Hani.
Doni tidak lagi mengirimkan pesan sejak hari itu. “Apa mungkin dia kesal karena tidak kubalas pesannya?” pikir Hani.
Namun, Hani tidak mau ambil pusing. Dia tetap bekerja seperti biasa. Teman kantornya juga mulai lupa dengan pemberi bingkisan misterius, seolah-olah dia tidak pernah ada.
Baguslah, pikir Hani. Ketika Hani sedang melamun, Roni —rekan satu kubikel— memanggilnya.
“Han, kamu ditunggu di ruang Kepala Unit baru,” ucapnya.
Lho, ada atasan baru? Hani malah baru tahu. Dia segera masuk ke ruangan Kepala Unit setelah mengetuk pintu. Ketika Kepala Unit membalikkan badannya, Hani sungguh kaget. Karena orang itu adalah Doni!
“Pagi, Pak. Perkenalkan saya Hani. Maaf saya tidak tahu kalau Bapak sudah datang,” ucap Hani.
Doni tersenyum, masih semanis dulu. Duh, fokus Hani!
“Apa kabar, Hani? Masih kesal dengan saya?”
Kenapa mendadak Doni jadi formal begini? Hani lupa kalau Doni sekarang adalah atasannya di kantor.
“Alhamdulillah, baik, Pak. Ada perlu apa Bapak memanggil saya?” jawab Hani.
Doni menghela nafas, bingung harus bagaimana menghadapi pujaan hatinya ini. Segala cara sudah dia coba tetapi belum bisa menembus pertahanan Hani sama sekali. Bahkan Doni sampai rela meminta mutasi ke kantor cabang ini, demi Hani.
“Tidak apa-apa. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.”
Ucapan Doni membuat Hani tercengang dan hanya bisa mengangguk sebelum keluar dari ruangan itu. Baru saja Hani akan duduk, ponselnya berbunyi.
[Kalau kamu tidak nyaman saya di sini, besok saya tidak akan ada di sini lagi.]
Pesan dari Doni membuat Hani terdiam. Hani menilik perasaan yang dimiliki kepada Doni. Apakah memang hanya kesal dan benci? Atau ada yang lain?
Ah, biar saja dia pergi. Toh, aku juga tidak suka dengannya, begitu yang Hani pikirkan.
Keesokan harinya, Doni benar-benar tidak ada di kantor. Aryo, teman satu ruangannya mengatakan kalau Doni tidak jadi dimutasi ke kantor Hani. Tidak ada yang tahu apa sebabnya. Hani juga tidak berani mengungkapkan kalau dia kenal dengan Doni. Khawatir temannya akan mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
Terkadang, perasaan akan teruji ketika kehilangan. Begitu pun dengan Hani. Doni benar-benar tidak lagi menghubungi dia. Padahal biasanya selalu ada pesan manis yang dia kirimkan. Hani merasa sedih.
Sebulan setelah Doni pergi, Hani menyadari perasaannya. Di balik kejahilannya, hanya Doni yang selalu menemani Hani. Meski Hani lebih suka mengingat hal yang membuat kesal. Hani ingin menanyakan soal Doni kepada kedua orang tuanya, tetapi dia malu. Malu mengakui kalau dia juga cinta kepada Doni.
Sampai suatu hari, tiba-tiba Papa menelpon.
“Han, segera ke rumah Doni. Di Jalan Rasa Gang Suka No 8. Doni kecelakaan!”
Setelah mengucapkan itu, Papa menutup telepon. Hal ini tentu saja membuat Hani panik. Dia langsung lari keluar dan berteriak, “Guys, izinin gue ya. Ada perlu!”
Hani menyetop taksi di depan kantor dan menyebutkan tujuan. Sepanjang perjalanan, Hani gelisah. Bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadap Doni?
“Sudah sampai, Mbak.”
Lamunan Hani terhenti mendengar ucapan supir taksi. Setelah membayar, Hani langsung keluar dan mengetuk pintu rumah Doni. Hani melihat penampilannya saat ini. Sandal jepit, keringetan, bahkan dia hanya membawa ponsel dan uang seadanya.
Mama Doni yang membuka pintu. Beliau menangis dan memeluk Hani, membuat perasaannya makin tidak karuan.
“Tante, gimana Doni?” tanya Hani tidak sabar.
“Kamu temui dia di kamar, ya. Sampai saat ini dia belum sadar. Mungkin dengan kehadiranmu, dia akhirnya bisa sadar,” ucap Mama Doni.
Hani mengikuti Mama Doni ke kamar. Di sana ada Papa Doni dan kedua orang tua Hani. Doni terbaring di kasur dengan perban di kepala, kaki dan tangannya.
Hani mengguncang badan Doni, meminta bangun.
“Don … Doni … bangun dong. Gue belum bilang suka sama lo secara langsung. Ayo, bangun,” ucap Hani sambil terisak.
“Lo bener suka sama gue? Nggak bohong, kan?”
Mendengar suara Doni, Hani mendongak. Menatap manik mata Doni, Hani mengangguk dan berkata iya. Seketika pecahlah tawa di ruangan itu. Orangtua Hani dan Doni saling bersalaman. Hani mendengar mereka berkata jadi besan.
Seketika Hani tersadar ini hanyalah siasat mereka saja.
“Iih, kalian bohongin aku ya?! Kamu pura-pura kecelakaan, kan?” cecar Hani sambil memukuli badan Doni.
“Aduh, sakit, Han. Ini beneran sakit!”
Mendengar rintihan Doni, Hani menghentikan pukulannya. Hani meminta penjelasan. Doni memang benar mengalami kecelakaan, tetapi dibesar-besarkan oleh orangtua mereka.
“Jadi, lo mau nikah sama gue?” tanya Doni.
Hani terdiam sebentar sebelum menganggukkan kepala.
“Lo lucu kalo lagi malu, gemesin deh.”
Doni memeluk erat Hani. Dia begitu bahagia akhirnya, cintanya berlabuh.
Photo by Karina Thomson on Unsplash