Alhamdulillah saya hidup di tengah suasana keluarga yang lengkap. Orang tua mengajarkan hal-hal terkait agama dan ini sepertinya juga dilakukan orang tua lainnya. Orang tua kami juga menanamkan budaya baca. Terutama ayah. Hari-harinya diisi dengan aktivitas yang satu ini. Kami sebagai anak-anaknya juga biasa diajak ke toko buku.
Dua hal yang mewarnai saya dan adik. Tapi ada satu hal lagi, sehingga saya tuliskan di atas lengkap. Ayah adalah penggemar musik. Pernah belajar alat musik biola. Konon alat musik ini adalah alat musik yang tergolong sulit dipelajari.
Di rumah dulu ada radio besar yang lengkap dengan alat pemutar piringan hitam. Koleksi piringan hitam ayah banyak. Ada lagu barat, juga Indonesia. Hari-hari, utamanya pagi hari musik mengalun di rumah.
Saya jadi senang musik. Tiap hari kudu dengar musik. Sebelum berangkat sekolah, sambil makan siang, saya dengar tangga lagu barat di Minggu itu. Tidak heran, saya hafal banyak grup musik dan lirik lagunya. Walau mungkin dengan pengucapan sekenanya.
Bukan hanya lagu barat. Lagu Indonesia pun ada. Sehingga koleksi kaset beragam, ada lagu barat juga Indonesia. Tiap hari dengar lagu. Tidak heran, saya pernah merasakan kondisi rasanya tidak bisa hidup tanpa lagu. Sampai usia kerja pun, gaji yang diperoleh untuk beli kaset dan buku.
Bersama berjalannya waktu, bertemu dengan beragam orang, mendengar musik jadi berkurang. Berkurang bukan berarti tidak update lagu-lagu baru. Satu dua lagu masih update.
Tapi begitu dengar lagu-lagu yang pernah hafal, saya mengikutinya. Lagu-lagu Iwan Fals dan Dewa 19 diantaranya.
Teman-teman yang mendengar kadang tersenyum saja. Diantara mereka ada yang berkata, “Mungkin tidak bisanya kita menghafal Alquran, karena otak kita sudah penuh dengan lagu,”
Ucapan teman ini membuat saya berpikir. Proses hafal lagu sebenarnya sama dengan menghafal ayat-ayat Alquran. Sering dengar, sering baca dan murojaah. Kalau kita bisa murojaah lagu, kenapa tidak murojaah Alquran juga?
Photo by Lee Campbell on Unsplash