“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (Ar-Ra’d 11)
“Juneeed…!”
“Woy, ngopiii…!”
Mendengar teriakan itu, Juned segera mendongak mencari arah suara.
Di bale-bale depan gubuk Kong Ali, teman-teman sesama pemulung sedang berkumpul. Pakaian mereka tampak bersih, meski juga tak baru.
Juned mengangkat tangannya untuk merespon. Kemudian bergegas menyudahi aktivitasnya dan menuju tempat berkumpul.
“Lebaran-lebaran kok masih mulung aja, Juned?” tanya Kong Ali sambil mengaduk kopi. Aromanya menusuk, membangkitkan semangat.
Juned hanya membalas dengan tertawa. Lalu meletakkan karung yang digendongnya di bawah pohon akasia.
“Maaf lahir bathin, Bang!” Juned menyalami semuanya.
“Ngomong-ngomong, anak lu mana? Kagak pulang lebaran ini?” tanya Bang Ranim sambil mengunyah uli bakar buatan Mpok Imah, istrinya Kong Ali.
“Kagak Bang, katanya tanggung. Habis di ongkos,” jawab Juned ikut duduk bersila.
“Zaman serba susah. Ini juga mau bayar semesteran uangnya belum kumpul”cerita Juned sambil ikut mengambil uli bakar.
Uli bakar buatan Mpok Imah terkenal enak. Kelapanya banyak jadi terasa sangat gurih. Lebih enak lagi kalau disandingkan dengan semur daging. Hanya saat idul adha, mereka dapat merasakan lezatnya daging.
“Enggak cari beasiswa, si Dullah?” tanya Bang Kojek sambil menyeruput kopi hitam. “Puahhh! Pahit bener, Bang!” teriaknya kaget sembari melepeh.
“Hahaha… Sori Bro, lupa kasih gula tadi,” sahut Kong Ali terkekeh. Buru-buru diambilnya gelas Bang Kojek untuk menambahkan gula pasir.
“Susah juga Bang, banyak saratnya!” jawab Juned kalem. “Kalau gak inget amanat emaknya si Dullah, saya juga ingin nyerah. Gak kuat cari biayanya,” tambah Juned getir.
Teman-temannya mengangguk-angguk paham. Mereka semua sudah seperti saudara, sudah tak kagok cerita apa saja, mengadu segala gundah gulana.
“Katanya ada yang nawarin kerjaan di bengkel, Jun? Gajinya lumayan. Gak diambil saja?” tanya Mpok Imah sambil menyodorkan keripik pisang.
“Ah enggak Mpok, saya larang,” jawab Juned nyengir.
Juned memukul-mukul uli bakar untuk membersihkan sisa-sisa abu yang menempel. Lalu dikunyahnya pelan-pelan.
“Iya bener, Jun. Jangan tergiur duit dulu. Beresin dulu sekolahnya,” ucap kong Ali menyemangati.
“Mpok, teh manis aja!” teriak Ramzi yang baru datang. Lalu menyalami sahabatnya satu-persatu.
Juned tersenyum, matanya menatap Kong Ali penuh rasa terimakasih. Bagi Juned, dukungan Kong Ali sangat menguatkannya saat dia sudah hampir menyerah. Biaya kuliah ternyata tak murah. Setidaknya itulah yang dirasakan Juned.
“Laaah, rungsin,g Jun! Ibaratnya kata, ngapain sih maksain sekolah sekolah segala. Kita cuma keturunan pemulung, nanti juga paling bakal jadi pemulung,” ucap Bang Ruslan datar. Tak bermaksud meledek, tapi merasa kasihan melihat sahabatnya banting tulang kepayahan.
“Udeh susah-susah lu biayain sekolah, tar ujungnya cari kerja susah juga kayak anak gue.“ Bang Ruslan menambahkan.
Juned hanya tersenyum getir. Semua yang dilontarkan sahabatnya itu benar adanya. Juned tak menampik kenyataan tersebut.
“Bener, zaman sekarang masuk perusahaan juga harus punya orang dalem,” celetuk Bang Kojek. Digulungnya lengan bajunya yang kedodoran.
“Nah kita punya orang dalem dari mana? Dalem kubur? Apa Mau? Hahaha…” timpal Bang Ramzi terkekeh.
“Iya bener. Aku setuju kang Ruslan. Sudahlah suruh kerja saja anak lakimu itu. Kasihan Lu udah tua sakit-sakitan masih maksain mulung,” tambah bang Kojek menguatkan pendapat Ruslan.
Mereka semua tahu betul kondisi Juned yang morat-marit, dengan badan yang sakit-sakitan tetap bekerja tanpa kenal lelah.
“Lagian Jun, mending nanti anak lu ngaku. Emang dia kagak malu punya babeh pemulung kayak elu?” tanya Bang Ramzi tergelak-gelak.
Ramzi sebenarnya tak bermaksud menghina, tapi berusaha memberikan gambaran kenyataan yang mungkin terjadi.
“Sudah… sudah…!”
“Elu-elu tuh, bantu biayain juga kagak. Bukannya ngasih semangat malah ngasih papait,” ucap kong Ali kesal.
Juned cuma tertawa. Sudah biasa mendapat cibiran dari tetangga dan teman-temannya perihal kenekatannya menyekolahkan anak semata wayangnya. Bagi Juned, semua itu tanda cinta dan kepedulian sahabatnya kepadanya.
Juned mengenang kembali amanat istrinya yang meninggal setahun lalu karena paru-paru basah.
“Pa’e…! Janji sama aku. Anakmu… diteruskan sekolahnya… Biar jadi orang gede,” ucapnya terbata-bata. Selang-selang menghiasi wajahnya.
“Iya Bu’e… tapi tahu sendiri biaya dari mana?” tanya Juned merasa berat dengan permintaan istrinya.
Istrinya hanya melambaikan tangan memberi isyarat, entah apa. Lalu perlahan matanya menutup.
Juned memeriksa detak jantung istrinya di urat nadi, sudah tak terdeteksi. Juned histeris, meraung-raung memanggil nama istrinya.
Hidup ini memang berat untuk dijalani.
Karena pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan, Juned dan istrinya bertekad mengubah nasib keturunannya dengan menyekolahkan anaknya.
Juned tidak mau anak laki-lakinya hidup blangsak seperti dirinya, ingin Dullah memiliki masa depan yang lebih baik. Meskipun artinya dia harus bekerja ekstra untuk dapat membiayainya.
“Apapun yang terjadi, elu harus tetap sekolah Dul. Itu amanat almarhum nyokap lu!’ ucapnya seringkali.
Untungnya Dullah selain rajin juga pintar, mewarisi kecerdasan dirinya. Dullah anak yang tahu diri dan memiliki kemauan yang luar biasa.
Berbekal semangat yang digaungkan oleh babehnya, Dullah berupaya melakukan yang terbaik, mewujudkan cita-cita yang diinginkan.
“Assalamu’alaikum Babeh, Engkong!’ terdengar suara seseorang memotong pembicaraan.
“Aih, umur panjang, lu!” ujar Mpok Imah kaget dengan kedatangan Dullah yang tiba-tiba. Semua mata memandang ke asal suara yang datang.
“KatanyaeElu gak pulang, Dul?” tanya Juned tak kalah kaget. Direngkuhnya bahu anak yang dirindukannya itu, dipeluknya erat.
“I-iya Beh! Dullah mau pamit. Minggu depan Dullah berangkat keluar negeri.”
“E-e-eh…?”
“Keterlaluan lu, Dul! Babeh lu banting tulang biar elu sekolah. Kenapa malah daftar TKI kagak bilang-bilang? Sekolah lu gimana?” tanya Kong Ali marah.
Bagi Kong Ali, Dullah sudah seperti cucunya sendiri. Sudah tidak ragu-ragu lagi menegur.
“Eh, bukan begitu, Kong! Sa-saya mau ngabarin kalau saya dapat beasiswa kuliah di luar negeri.” sahut Dullah sukacita.
Juned terhenyak. Tak percaya dengan berita yang didengarnya. ‘Apakah ini mimpi’ tanyanya sambil mencubit pipi sekerasnya.
Juned lantas tersungkur di tanah, menangis bahagia dalam sujud sukur, memuji Tuhan semesta.
“Ya Allah, Engkau maha kuasa atas segala. Penentu takdir baik dan buruk bagi hamba-hamba-Nya. Penjawab doa dan harapan bagi yang meminta,” gumamnya berlinangan air mata.
Takbir dari arah masjid masih ramai berkumandang, bersahut-sahutan.
Photo by OSPAN ALI on Unsplash