Empati

Oleh: Dwina

Belum lama ini, motor tuaku mogok di tengah perjalanan menuju tempat kerja. Aku tidak mengerti mesin tapi siapa tahu masalahnya dari bahan bakarnya. Aku membuka tangki bensinnya. Aku tidak ingat kapan terakhir mengisinya, pikirku. Parahnya lagi, fitur penunjuk jumlah bensin motor tua ini sudah lama mati. Entah mengapa kaki belum juga beranjak menuju bengkel untuk membuatnya bekerja kembali. 

 Benar saja, setelah aku memiringkan dan mengguncangkan motor ini, aku tidak mendengar suara cairan yang bertabrakan dengan tangki, membuatku semakin yakin mogoknya karena kehabisan bensin. Aku menyesal sekali kenapa harus menunda untuk mengisi bensin. Akhirnya, aku tak punya pilihan selain mendorongnya.

 Letak penjual bensin terdekat sekitar dua kilometer jauhnya dari posisiku sekarang. Mulailah aku menuntun motorku. Jalanan masih agak sepi, baru sesekali saja mobil dan motor lewat. Setelah berjalan sekitar dua ratus meter, seorang anak muda yang berusia duapuluhan tiba-tiba berhenti dan menyapaku.

“Bu, motornya mau saya dorong?”

Awalnya aku ragu-ragu karena seperti canggung. Tidak enak membuat repot dia, pasti berat sekali untuk mendorong motorku.

“Apa tidak merepotkan?”

“Tidak apa-apa bu, saya sudah sering melakukannya.”

Mulailah aku menaiki motorku. Dalam hatiku, muncul keraguan dan kekhawatiran. Bagaimana kalau dia tidak kuat mendorong motorku? Motorku sendiri saja sudah berat, apalagi ditambah badan seorang ibu yang sudah mempunyai anak dua. Dalam tutupan helmku, aku tersenyum entah karena merasa geli atau was-was.

Pemuda tersebut ada di belakangku, sudah menyalakan motornya. Kaki kirinya ada di knalpot motorku. Gas mulai ditarik, semula kecil dan makin besar. Terlihat kakinya berusaha dia kuatkan dalam usahanya membuat motorku bergerak.  Nihil. Lalu dia bertanya, “Bu, coba cek posisi giginya. Apa sudah netral atau belum?”

Aku cek posisi gigi motorku. Ternyata benar, aku lupa kalau motor ini harus dalam keadaan netral untuk bisa digerakkan secara manual. Tadi ketika naik, kakiku reflek memasukkan gigi satu. Malu sekali aku jadinya. 

Gas motornya sudah mulai membesar dan mulailah dia mendorong motorku. Motor kami mulai bergerak dan tak lama kemudian sampai di penjual bensin. Aku merogoh saku tasku, mencari sesuatu yang pantas kuberikan untuknya karena telah menyempatkan diri untuk membantuku. 

Aku menyodorkan selembar duapuluh ribuan kepadanya. Dia menolak dengan halus. Dia bilang ini sudah biasa bu tidak usah diberi upah. Dia menolong dengan ikhlas. Setelah aku berterima kasih dia melanjutkan perjalanannya.

Di kota tempat keluargaku tinggal sekarang ini, memang sering kami lihat motor yang didorong oleh pengendara lain. Awal-awal tiba di sini, kami hanya berpikir, mungkin itu sanak keluarganya.  Akan tetapi, lama kelamaan kami sadar kalau itu bisa jadi bukan siapa-siapanya. Mereka adalah orang-orang baik hati yang kebetulan searah dan berusaha membantu.

Pemandangan tersebut membuat aku tersadar bahwa masih banyak orang-orang baik yang ikhlas membantu. Mereka ikut merasakan sedih dan lelahnya mendorong motor mogok. Empati mereka yang menggerakan hati untuk menawarkan bantuan.

Aku berharap, seiring waktu masih ada keikhlasan-keikhlasan dalam bentuk yang lain. Ingat kata-kata bijak ,“jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu tahu.” Bayangkan saja, jarak tangan kanan dan kiri begitu dekatnya tetapi sebaiknya tidak saling mengetahui. Apa artinya? Ketika kita memberi bantuan sebaiknya dengan ikhlas tanpa pamrih apapun, bahkan malu meski hanya berharap surganya Allah. Lebih tepatnya, apa yang kita lakukan semata-mata karena fitrah kita menjadi khalifah di bumi yang mengemban amanah dari Allah SWT untuk memberikan keselamatan, kebahagiaan dan kemakmuran bumi dengan cara beriman dan beramal saleh. 


Photo by Fikri Rasyid on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *