Oleh: Lisvy Nael
Gambar tentang manusia dan masa depan begitu menyeramkan. Terutama bagaimana kapitalis menjadi agama paling dipuja, tetapi merusak nurani ke dasar paling hina. Dan tahukah, apa yang paling mendasar mereka perdagangkan dalam bisnisnya? Kematian.
Kematian bukan lawan kata dari kehidupan. Karena keduanya, meski memiliki makna berkebalikan, hidup dan tidak hidup, tetapi semangat yang ada padanya adalah sama. Alasan untuk menjalaninya pun tidak terpisahkan. Setidaknya dalam beberapa keyakinan. Meski begitu, agama paling bising melihat tajam adanya peluang pada kehidupan bahkan setelah kematian.
Pernahkah terpikir dalam benakmu, bahwa di masa depan nanti, kita tidak akan mendapatkan sejengkal tanah kuburan. Sebab jatah tanah hanya dimiliki oleh yang punya korporasi. Dengan harga sebuah istana, makam-makam dihias sedemikian rupa. Kembang tak hanya tujuh rupa. Wewangian bukan hanya dari dupa.
Berduyun-duyun kembang yang tersusun dalam papan-papan bertuliskan nama mendiang, berisi ungkapan bela sungkawa. Menyebut diri kolega atau keluarga. Kematian pula yang menjadi sumber penghidupan rakyat-rakya biasa. Sementara pemesan bunga mendapatkan nama baik, level sosial pun naik.
Sebelumnya, peti-peti yang terjajar rapi telah terpesan dengan harga yang tak bisa sembarang orang beli. Diukir dengan teliti. Dibuat dari kayu mahoni sampai jati. Rayap saja malu mendekat.
Sedihnya, bisnis kematian makin menggila. Penyakit di mana-mana. Harga sehat bisa melampaui akal sehat. Kuat iman belum tentu kuat hidup. Karena jaminan kematian milik siapa saja. Namun, siapa yang mendapat pelayanan lebih baik, itu berbeda lagi.
Sejak dulu, kematian terasa menyiksa bagi kemiskinan. Meski tak sedikit yang merayakannya sebagai suka cita karena ke surga kelak mereka akan menetap sementara neraka ditinggalnya di belakang.
Kau bisa lihat, kematian adalah jalan pulang semua orang menuju keabadian (atau ketidakmenahuan bagi beberapa orang). Akan tetapi, kematian selalu jadi peluang paling cemerlang. Takut-takuti orang dengan kematian, maka segala harta benda akan seseorang relakan. Takut-takuti mereka dengan kematian, maka segala jiwa Ia korbankan demi kehidupan. Padahal kematian adalah jalan pulang menuju sejatinya kehidupan.
Sementara di belahan bumi lain, kematian menjadi bisnis paling menguntungkan dengan pembungkaman suara oleh senjata-senjata. Di dunia yang paling ditakuti, kematian hadir bersebelahan. Mengerikan, tapi bagaimana lagi, tak bisa terelakkan. Siapa yang bisa mengelak dari kematian? Karenanya, pebisnis melihat peluang kebadaian dari bisnis kematian. Rasa takut pun terus diciptakan.
Besar, kecil, tua, muda mengokang senjata karena membela perdamaian. Namun yang dibela tak jua nampak justru tenggelam dalam lautan keputusasaan. Sandiwara-sandiwara dimain-perdengarkan. Lewat layar kaca maupun siaran suara. Tidak ada yang selamat dari bahayanya kebohongan yang mendorong kita saling menodong untuk menyelamatkan diri.
Lalu hujan-hujan yang datang tidak dalam wujud air, menggenang menghanyutkan ketamakan. Siapa sangka, yang justru kemudian tumbuh subur tetaplah petualangan mencari peluang atas bencana-bencana kemanusiaan. Atas nama kemapanan, hutan-hutan tumbang menjadi korban. Atas nama kemakmuran, sumur-sumur digali demi bongkahan emas berlian. Siapa yang peduli jika bumi kehausan dan mati? Namanya juga bisinis kematian, tidak ada yang benar-benar hidup setelah ini.
“Bahkan, setelah kau kembali dari Samudera Selatan, tidak akan ada yang berubah. Kematian tetap akan menjadi jembatan untuk melangkah ke kehidupan selanjutnya. Baik yang menyenangkan ataupun yang tak menenangkan.” Beruang putih membuyarkan kelana pikiranku. Dan setelah pikiranku lelah berperang dengan segala kebencian, aku memutar haluan. Meninggalkan masa depan.
Photo by Chad Madden on Unsplash