Asa Ke Tanah Suci

Oleh : Siti Atikah (Atik)

Gema takbir berkumandang mengiringi lelap tidurku semalam. Malam takbiran menyambut Idul Adha 1442 H. Sedih rasanya, lagi-lagi tahun ini umat Islam di negeri ini tak semuanya dapat merayakan Idul Adha seperti lumrahnya karena ada kebijakan PPKM yang dikeluarkan pemerintah demi menekan penyebaran Covid-19. Meskipun demikian, saya tahu tetap ada beberapa masjid yang menyelenggarakan salat Ied dengan menerapkan protokol kesehatan. 

“Eeeh, hati-hati dicekal, loh!” Duuuh, tega benar jika memang ada kejadian begitu. Warga yang beribadah dicekal. Bagi saya pribadi, saya yakin Allah akan melindungi hamba-hambaNya yang mengagungkan namaNya di hari suci ini, di rumah=Nya, maupun di tanah lapang yang insyaaAllah Ia berkahi. “Emang kamu berani jamin nggak akan ada penularan Covid-19 gara-gara berkumpul solat Ied?” Tiada satupun di dunia ini yang bisa menjamin apa yang menjadi takdirNya. Namun, lagi-lagi saya hanya meyakini bahwa siapapun yang mendekat padaNya, insya Allah perlindunganNya pun akan senantiasa melingkupi. Yang penting, sebagai muslim, janganlah menyesali apapun pilihan yang diambil, dengan merujuk pada ke rukun iman yang keenam, yaitu percaya pada qada’ dan qadar-Nya. 

Sebelum pandemi menghantam, biasanya jauh sebelum Idul Adha tiba, stasiun TV memberitakan beberapa jamaah haji Indonesia yang mulai diberangkatkan di beberapa embarkasi. Seiring dengan jadwal keberangkatan, selalu saja ada berita tentang keberangkatan jamaah yang istimewa. Ya, istimewa karena proses perjuangan mereka mengumpulkan dana yang membutuhkan waktu bertahun-bertahun demi memenuhi undangan Allah ke tanah suciNya. Saya ingat 2 tahun lalu saya melihat pemberitaan tentang 2 pasang jamaah haji yang berusia lansia telah menabung selama 20 dan 25 tahun untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Namun, baru pada tahun itulah mereka berkesempatan menunaikannya.

Setiap mendengar berita serupa, saya kagum sekaligus iri pada mereka yang begitu gigih mengumpulkan pundi-pundi uang agar dapat berhaji. 2 pasang lansia itu merupakan contoh nyata bahwa kegigihan itu masih ada. Pasangan yang pertama bermata pencaharian sebagai tukang rujak sejak puluhan tahun silam. Sementara pasangan yang kedua adalah nelayan rumput laut sejak mereka muda. Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga menembus puluhan tahun mereka membangun harapan agar dapat menunaikan ibadah ini. Puluhan tahun. Dari hanya menabung uang ribuan hingga ratusan ribu akhirnya Allah menyampaikan harapan mereka. Tak pernah berhenti. Gigih dan disiplin. Itu kuncinya. Sungguh saya tertegun dan takjub. Sekaligus saya merasa malu pada diri ini.

Betapa kalau dihitung dengan matematika dunia, saya yang diberi anugerah oleh Allah penghasilan yang cukup sejak 16 tahun lalu mulai bekerja, seharusnya saya sudah memiliki tabungan untuk berhaji, atau paling tidak untuk berumroh. Akan tetapi… sungguh, saya malu. Saya gagal. Jangankan tabungan untuk beribadah mengunjungi tanah suciNya, tabungan untuk pendidikan anak-anak saya sekolah ke depannya pun tak ada, belum sama sekali saya persiapkan. Saya malu karena selama belasan tahun sejak saya sudah mulai bisa bekerja, rasa-rasanya tabungan saya sering habis begitu saja. Tak ada pengelolaan keuangan. Kalau diingat-ingat banyak saya habiskan untuk urusan memenuhi keinginan sesaat, yang kebanyakan untuk urusan perut belaka, meskipun juga banyak saya gunakan untuk membahagiakan keluarga inti dan berbagi untuk keluarga yang sedang kesulitan. Namun, ya itu, sering habis begitu saja. Maka, terbesit ragu di hati ini. Ya Allah, apa ada hartaku yang haram, atau saya zalim mendapatkannya, atau karena maksiat saya terlalu banyak sehingga keberkahan pada harta yang didapatkan tidak ada? Astaghfirullahal ‘Adziiim.

Saya akui bahwa saya memang tak pandai mengatur keluar masuk keuangan. Tak ada perhitungan. Belum lagi masih ada hutang yang belum saya bayar saat meminjam uang dari orang tua saya beberapa bulan yang lalu yang memang untuk menutupi kebutuhan keluarga kami, terutama sejak dihantam pandemi, karena bergantian saja keluarga jatuh sakit. Ya Allah… mudahkanlah saya untuk bisa menggantinya segera. Aamiin.

Sungguh, sebenarnya panggilan untuk berhaji sepertinya belum terbesit di hati saya. Hanya saja sejak awal 2019, ketika saya dengan mudahnya begitu saja menghabiskan jutaan pundi-pundi untuk berlibur ke Bali bersama teman-teman demi melepaskan jutaan rasa kecewa akibat perceraian, rasa-rasanya ada perasaan bersalah di hati. Saat teman-teman di grup jalan-jalan ini beberapa kali membahas untuk menyisihkan pundi-pundi lagi demi perjalanan kami berikutnya, entah bagaimana tiba-tiba muncul keinginan untuk ke tanah suci. Saya ingin ke Mekkah. Saya ingin umroh. Which is seharusnya inilah tujuan perjalanan pertama saya pasca gagal dalam pernikahan saat itu.😔 Ya Allah, sungguh nafsu duniawi masih begitu erat menyelimuti diri ini meskipun masih berada dalam koridor batas-batas yang saya tahu mana yang tak boleh saya langgar sebagai muslim. Namun, hingga kini saya merasa ibadah saya masih sekadar ritual belaka, belum menjadi kebutuhan. Hingga saya pun merasa malu…. Malu pada mereka yang mungkin dalam kehidupan ekonomi memiliki keterbatasan, tapi kegigihan mereka untuk menyempurnakan ibadah yang ditentukan dalam rukun islam jauuh lebih baik dariku yang lemah ini. Astaghfirullaahal ‘Adziiim…😭😔

Ya Allah, kini saya sadar bahwa saya tak boleh terus begini. Ditambah lagi pengalaman kemarin ketika pertama kalinya saya mengantarkan Om saya yang meninggal hingga ke liang kubur, saya baru benar-benar melihat betapa kecil dan sempitnya lahan kubur, tempat akhir kita di dunia ini nanti. Tak ada sedikitpun harta dan kemewahan yang bisa kita bawa atau menolong kita saat pertanggungjawaban  kita dimulai di alam kubur. Sungguh hanya amal dan ibadah kita yang akan menyelamatkan kita saat kembali padanya. Sudah seberapa cukupkah bekal saya?

Maka, saya pun bertekad untuk harus memperbaiki segala lini kehidupan saya. Salah satunya adalah menabung, mengatur keuangan, meskipun jumlahnya tak seberapa. Memisahkan mana yang untuk kebutuhan rutin, infak dan sedekah di jalan-Nya, dana darurat, dan tabungan untuk berhaji/umroh. Apalagi kini saya seorang single mom yang kapan saja harus siap financial tatkala ayahnya anak-anak khilaf dan memutuskan tidak menafkahi anak-anaknya lagi. 

Kini, 2 tahun sudah warga negara Indonesia tidak ada yang diizinkan berhaji ataupun berumrah karena imbas pandemi. Meskipun punya cukup dana, hal itu masih harus tertahan hingga kisruh pandemi ini berakhir. Entah masih ada umur atau tidak nanti ketika tiba waktunya pintu untuk berhaji terbuka lagi bagi warga negara Indonesia. Khususnya bagi saya yang baru-baru ini muncul kerinduan dan keinginan untuk ke tanah suci. Maka, yang dapat saya lakukan saat ini adalah terus mengencangkan niat dan doa agar Allah memberikan kesempatan bagi saya memenuhi rukun Islam yang kelima ini, berhaji. Diiringi dengan usaha mengumpulkan pundi-pundi untuk berangkat ke sana tentunya. Semoga Allah mudahkan.

Ya Allah, mohon bimbing diri ini agar senantiasa berada di jalan-Mu dan terus kembali mendekat padaMu, untuk mampu beribadah yang sebenar-benarnya pada-Mu. Izinkanlah saya dapat menapaki langkah-langkah kaki ini di tanah suci-Mu, dalam berhaji atau berumrah. Kabulkanlah doa-doa saya, Ya Allah…. Aamiin.

Hari ke-15

Lockdown Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com

#atikberbagikisah

IG : atikcantik07


Photo by Mseesquare Shahiq on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *