Flash Fiction Cicih M. Rubii: Waktuku Sampai

Pensiun!

Akhirnya aku akan mengalami masa-masa itu kelak. 

Masa dimana aku berhenti dari semua kesibukan harian di tempat bekerja seperti sekarang

Masa yang  aku sendiri sangsi, apakah bisa melewatinya dengan bahagia?

“Mas, menurutmu apa yang akan kita lakukan saat pensiun nanti?”

“Apakah kita akan bahagia?”

“Kebahagiaan itu diciptakan, bukan diberi. Ketika kita memberi orang lain kebahagiaan, sejatinya kita sedang membahagiakan diri kita sendiri,”suamiku menasehati.

Mengisi kekosongan hari setelah puluhan tahun selalu berjibaku dengan pekerjaan bukan sesuatu yang mudah menurutku. Dan aku harus menyiapkan itu. 

Doa kupanjatkan setiap waktu, agar bisa sehat dan memiliki akhir hidup yang baik. 


“Oma…omaaa… Ajari aku membaca,” rengek Ashila cucuku. Tangan mungilnya menarik-narik bajuku.

Anak cantik ini putri pertama dari anak bungsuku. Umurnya 5 tahun. Rambutnya ikal tergerai sebahu, mengingatkan aku pada mamanya 25 tahun lalu. 

Ah, waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku mengajarkan Alitha membaca. Kini anaknya yang memintaku mengajarinya membaca. 

“Okee… hayuuk! Oma ajarin baca. Oma juga ibu guru,” ucapku terkekeh. Tangan keriputku meraih pundaknya dan memeluknya. 

“Apa? Oma Ibu guru? Masa Iya?” tanyanya tak percaya. 

Wajahnya Ashila yang lucu mendongak, matanya yang bulat menatap meminta penjelasan. Aku hanya mengangguk sambil tertawa. Aku cubit hidungnya yang bangir. 

“Ashilaaa… Omanii…!”

Mamahnya Ashila muncul dari dapur, membawa pudding lumut kesukaanku. 

“Opaki mana?” tanyanya sambil menyimpan pudding di hadapanku

“Ini enak banget, Mah!” ucapnya memintaku mencicipi pudding buatannya. 

“Yaaa…biasa, lah. Lagi ngawasin burung, apalagi?’ ucapku tertawa. Tangan kananku mengambil piring kecil, lalu menuangkan potongan pudding di atasnya.


Aku Rubii. Memiliki 3 orang anak laki-laki dan 1 anak perempuan. 

Saat ini aku dan suamiku memilih tinggal di rumah putriku. Kebetulan suaminya seorang ustadz, pimpinan pondok pesantren. Suamiku biasanya ikut pengajian menantu lelaki satu-satunya. 

“Aku banyak tertinggal, Mah. Harus banyak belajar dan mengamalkan,” ucapnya suatu kali. 

Aku hanya menganggukkan kepala menyetujuinya. Setidaknya dengan mengikuti pengajian dia akan lebih tertata hidupnya, dan tidak bosan menghabiskan waktu luangnya. 

“Terimakasih, ya Allah. Engkau menyayanginya dan memberikan hidayah juga kesehatan untuk orang yang kucintai ini,” syukurku tak berkesudahan. 

Sementara Alitha, putri bungsuku awalnya adalah seorang dosen. Sejak menikah dan memiliki anak, dia memilih menghabiskan waktu menjadi seorang ibu dan penulis produktif. 

Ketiga anakku yang lain tinggal tak jauh dari kota kami, sehingga dalam seminggu beberapa kali mereka bolak-balik menjenguk aku dan suami.

“Alhamdulillah, Mamah bahagia dekat dengan anak-anak, Pah!” ujarku suatu hari.

“Ini semua balasan atas kerja keras mamah mendidik anak-anak kita dahulu. Terimakasih ya, Ma!” ucap suamiku sambil mengenggam tanganku. 

Ya Allah, ternyata pensiun itu indah. Aku punya banyak waktu untuk beribadah, berkarya, dan bermain bersama cucu-cucuku. Anugrah ini tak terkira.


Angin dini hari, dingin masuk melalui lubang angin di kamarku. Di sepertiga malam ini aku terbangun. Bergegas kuambil air wudhu untuk bersujud pada-Nya. 

Ada firasat yang berbeda, kuadukan semua tanda tanya pada yang kuasa. 

“Ya Allah, jika memang waktuku sudah sampai. Terimalah iman Islamku, tuntunlah seluruh anak cucuku pada jalan kebenaran sepeninggal kami. Aku titipkan mereka kepadaMu ya Allah” doaku penuh pengharapan. 

“Mas… Bangun yuk, salat,” bisikku di telinga suamiku. 

“Jam berapa, Mah?” tanyanya segera sambil mengangkat badannya. 

“Mamah… Mamah mengaku banyak dosa ke Ayah. Mohon keridhaan Ayah memaafkan semua kesalahan Mamah ya!” bisikku terbata sambil mencium tangannya.  Lama sekali. 

“Hmm… ada apa ini? Pastinya Mas sudah memaafkan semua kesalahan Mamah jika ada!” jawabnya membalas mencium tanganku yang keriput. 

Perlahan kurebahkan tubuhku di sampingnya. Tanganku masih mengenggamnya. 

Pandanganku semakin berat. Aku menutup mata. Biarlah aku mendahului yang lain, sudah tuntas urusanku di dunia ini. 

“Asyhadu Allaa ilaaha illallah wa ashadu anna muhammadarrosuulullah.”


Photo by Rod Long on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *