Oleh Delfitria
Ini sebuah rilis sikap untuk pendamping hidupku nanti. Sampai sejauh ini memang belum kelihatan, sih, orangnya. Namun menyampaikan harapan pada malam takbir yang indah semoga bisa menjadi doa yang terkabul ya, nantinya. Berbicara soal pendamping hidup, setiap dari kita pasti setuju jika pendamping hidup memiliki pengaruh yang besar. Meskipun ada orang yang memutuskan untuk tidak menikah, Ia pasti punya yang namanya pendamping hidup. Orang yang kita percaya seumur hidup kita, berbagi banyak hal hingga ke akar-akarnya. Ia adalah orang yang kelak melihat diri secara penuh waktu mulai dari hal baik hingga buruk. Jika Ia adalah dirimu, pendamping hidupku, ada yang ingin ku ampaikan (rasanya) malu-malu.
Saat aku marah, aku berharap kamu mengerti jika yang kuminta adalah diam. Diamlah ketika aku marah. Jangan berpikir bahwa kemarahan itu sebuah kekecewaan karena terkadang tidak semua marahku memiliki alasan. Aku bisa marah karena ditinggal tidur, diacuhkan oleh telepon genggam, hingga sekadar merasakan lelah pun aku bisa marah. Ketahuilah, tidak semua marahku merupakan kesalahanmu. Tidak semua juga harus kamu selesaikan. Diamlah ketika aku marah. Izinkan aku melerai apa yang dirasa dan dipikir saat itu. Jika berkenan, tanyalah kebutuhanku, atau berinisiatif untuk sekadar menggenggam tanganku saat berteriak.
Saat aku sedih, aku berharap kamu mengerti jika yang kuminta adalah sendirian. Kesedihan seorang wanita sangat erat dengan kekecewaan. Kecewa itu bisa berasal dari kesalahan pribadi atau kesalahan orang lain yang tidak bisa dihadapi. Akhirnya, air mata jatuh dengan tidak tahu waktu dan tempat. Bisa jadi saat kamu baru pulang kerja, saat ingin tidur, atau saat pagi hari di dapur. Ah, dimana saja bisa. Rasa tangis yang lebih banyak berisi kekecewaan itu butuh waktu untuk sendiri. Belum lagi wajahku kalau sudah nangis bisa merah di beberapa titik. Kan, jadi lebih baik sendiri!
Saat aku bahagia, aku berharap kamu mengerti jika yang kuminta adalah diingatkan. Bahagia itu terkadang melenakan. Banyak orang yang akhirnya menjadi serakah untuk mencapai bahagia menurut definisi pribadinya. Aku tidak ingin seperti itu! Aku butuh saran blind spot yang menakar bahwa aku sudah berlebihan dalam menilai kebahagiaanku. Apa aku sudah berbagi? Sudah bersyukur? Sudah meningkatkan ibadah? Entahlah. Aku butuh bantuan, wahai pendamping hidupku!
Saat aku bilang diriku sedang stress. Well, itu akan menjadi keadaan terberat dalam hidupku. Mungkin saat itu aku baru saja gagal mencapai sesuatu. Mungkin saat itu aku tertinggal dari teman-temanku. Mungkin saat itu aku sedang pusing dengan anak kita yang lucu. Banyak sekali penyebabnya. Di saat stress begitu, aku berharap kamu mengerti jika yang ku minta bukanlah saran melainkan waktu untuk didengarkan. Bantu aku melerai apa yang membuatku pusing. Bantu aku melerai apa yang membuatku merasa stress. Aku yakin, saran apapun darimu akan selalu bisa membantu jika diberikan dalam waktu yang tepat.
Tenang saja. Aku hanya berharap. Aku tidak menuntut. Kalau kata seorang penulis yang bukunya berisi perihal cinta katanya lebih sulit mencintai daripada jatuh cinta. Itulah mengapa yang kulakukan adalah berharap. Perihal kenyataannya nanti, aku berusaha siap!
Photo by Photos by Lanty on Unsplash