Agama paling Bising

Oleh: Lisvy Nael

Ingatanku melesak lagi ke belakang. Bagaimana dulu aku meminta dunia yang katanya surga. Ternyata, kesewenanganlah yang paling membuat bumi menjadi surga paling menggoda: melakukan segalanya yang kau suka. Tak perlu hirau pada penghuni lainnya. Tak perlu takut menyinggung Maha Pencipta. Tak perlu takut merasa salah, karena keserakahan dan ketamakan ini pun agama. Agama paling bising yang pernah ada.

Ketamakan adalah agama tanpa tuhan. Ia menjanjikan setiap diri menjadi tuhan-tuhannya sendiri. Bagi dirinya dan bagi diri lainnya jika mampu. Kalau tidak, kau akan terjebak menjadi hamba bagi agama paling bising: agama yang dimotori keserakahan dan tak puas akan apa yang ada di tangan.

Tangan manusia hanya ada dua. Jika kedua telapak tangan menggenggam dan ingin menggapai yang lain, Ia sepatutnya melepaskan salah satu. Namun tidak begitu bagi penganut agama paling bising ini, mereka meminjam-paksa tangan-tangan lemah yang enggak atau tak melihat apa yang di depannya sehingga tampak tak mampu menggenggam satu pun yang Ia ingini.

Para penganut agama paling bising berlomba memanjat dan meninggikan gedung-gedung. Menindih siapa pun yang di bawah dan tak mendukung. Memaksa siapa pun yang tak memiliki kehendak dapat untung. Membuat pilihan-pilihan menang atau buntung. Mereka mereka-reka dunia sebagai tempat bermain yang menyenangkan, tetapi nerakalah yang mereka ciptakan.

Mereka tidak memelihara anjing-anjing atau kucing-kucing sebagai kesayangan. Namun, kesenjangan, ketidakberdayaan, kepasrahan, keterbelakangan, kemiskinan, pencemaran, dan kedunguan mereka pelihara sebagai mainan paling menyenangkan. Tak perlu memberi makan, justru merekalah ladang yang memberikan kekayaan.

Agama paling bising tidak mengajarkan kebaikan melainkan kebisingan. Siapa-siapa yang meyakininya tidak mendapatkan pahala dari kebaikan yang pura-pura. Siapa-siapa yang melakukan kejahatan, mendapatkan pujian sebagai kebijakan dan kebajikan. Agama kebisingan menjual omong kosong sebagai sabda yang dipercaya.

“Kau lihat, agama kebisingan itulah yang membuat dunika kita runyam. Ketulian adalah inti agama ini. Berteriak-teriak hanya mau didengarkan tak butuh mendengarkan.”

“Tapi aku malu berdiri di sini. Berharap aku tenggelam saja menjadikan diri sebagai rayuan untuk membuatmu merasa lebih baik.” Bukannya merasa senang, beruang laut tertawa terabahak-bahak mendengar pernyataanku yang katanya maha lucu.

“Bagaimana kau bisa berpikir sedangkal itu? Tidak ada masa depan. Kalian sedang menggali kuburan kalian sendiri. Kubur kita semua. Tidak ada jalan kembali. Kita sama-sama sedang menuntaskan misi sebagai ciptaan. Jadi, jika kau yakin, apa pun yang kita lakukan telah salah. Agamu, agama kebisingan ini, telah meracuni segala sendi kehidupan. Agama yang hanya mengajarkan kepentingan diri sendiri dan tidak mengindahkan hal-hal indah, ini akan menjadi pemusnah.

“Kau kembali saja, tak usah ke sini. Kita tidak perlu lebih banyak orang untuk mempercepat pemanasan di bukit-bukit putih ini.” Tegas sekali instruksinya. Aku masih bergeming, tidak tau harus apa. Ini semula tujuan, masa depan. Namun, ternyata ini hanyalah kenyataan.


Photo by Marco Pagano on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *