Oleh: Dwina
“Bu, hari ini aku nggak ke sekolah. Boleh, kan?”
“Loh, kenapa?”
“Aku nggak nyaman di sekolah. Capek dari pagi sampai sore, kakak kelasku dan beberapa guru juga aneh-aneh.”
“Hus, jangan begitu. Nggak baik, ah. Kita itu tamu di kota ini jadi pelajari dulu orang-orangnya dan budayanya. Coba berusaha cari teman.”
“Aku mau belajar di rumah saja. Sendiri lebih tenang, lebih banyak ilmu yang aku serap.”
“Di sini ibu belum pernah dengar ada homeschooling. Kalaupun ada, ibu tidak bisa menjamin kualitasnya. Ibu juga khawatir, kamu nanti bisa antisosial kalau kebiasaanmu nggak enakan sama orang tidak kamu kendalikan.”
“Seandainya sekolah itu seperti bimbingan belajarku ya, Bu. Cukup beberapa jam dan gurunya selalu menjelaskan dengan cara yang asik.”
“Lah, bimbingan belajarnya nanti tidak ada nilai jualnya kalau sekolah-sekolah sudah seperti itu. Mereka kan mencari kekurangan-kekurangan di sekolah agar anak-anak merasa dilengkapi kebutuhanya.”
Itulah percakapanku dengan anak sulungku, tak lama sejak keluarga kami memutuskan untuk pindah ke kota ini. Memang aku rasa ada beberapa hal yang berbeda dari kota sebelumnya. Tak jarang, kami dibuat terkejut olehnya. Akan tetapi, aku teriingat akan sebuah pepatah yang kira-kira bunyinya: di situ bumi dipijak di situ pula langit dijunjung.
Kalau anak-anak mungkin akan langsung protes kenapa di sini begini dan kenapa begitu. Tapi, orang dewasa akan berpikir di setiap kota itu pasti unik dengan sendirinya. Tidak perlu merasa lebih tahu, lebih bermoral, atau lebih beradab. Cukup mengamati dan berusaha menjadi seseorang yang baik tanpa melukai perasaan orang-orang setempat.
Si sulung pun mulai bisa mengenali sekolah dan budayanya. Dia mulai berteman meski terkadang ia mengeluh, menyatakan akan ketidaksukaannya dengan ini dan itu. Aku tetap memintanya untuk bersabar dan bertahan.
Beberapa bulan kemudian, ternyata pandemi Covid-19 mulai menyerang di dunia. Sekolah-sekolah mulai libur. Setelah wabah makin tak terkendali, sekolah-sekolah meliburkan seluruh warganya tanpa terkecuali dan menerapkan belajar secara daring untuk para siswanya.
Setiap hari, bapaknya sibuk dengan pekerjaannya. Aku juga sibuk menyelesaikan kuliah lanjutan. Si sulung sekolah online, begitu pula dengan si bungsu. Hampir setiap hari kami berkutat dengan laptop masing-masing. Sibuk dengan berbagai macam pekerjaan yang kami kerjakan sejak matahari terbit hingga terbenam kembali.
Di sela-sela jam sekolah saat jam istirahat, sering kali aku mendapati si sulung yang membuka pintu kamarnya dan langsung ngacir ke dapur, mengambil sarapan yang sudah aku siapkan di pagi hari. Pernah suatu hari, si bungsu mengatakan sesuatu padaku saat sedang beristirahat. “Hmm, enak kantinnya selalu menyediakan makanan sehat, gratis pula.”
Aku selalu berusaha menyiapkan sarapan sebelum jam tujuh pagi agar aroma dan suara memasak tidak mengganggu sekolah daring mereka. Biasanya, aku tanya apa minggu ini mau makan dari bahan ikan, ayam, atau ikan dan daging yang dikombinasikan tahu dan tempe? Atau mau sarapan sandwich dan tumis-tumis sayur serta sup yang ringan-ringan saja? Yang jelas, aku selalu berusaha menyiapkan bahan untuk seminggu beserta menu yang kira-kira bisa dibuat dari bahan tersebut dan dan kami bergantian untuk memasaknya.
“Wah, harapan kamu menjadi kenyataan. Kamu jadi tidak perlu pergi ke sekolah.”
“Iya ya, Bu, seru juga sekolah cukup dari kamar, padahal aku mulai punya teman-teman akrab. Sudah mulai kangen juga dengan mereka.”
“Kan tetap bisa ngobrol dengan video call.”
“Ya bedalah Bu, rasanya. Apalagi, selama sekolah daring ini ada satu hal yang membuatku agak merasa sedih.”
“Apa, Nduk?”
“Ibu terlalu baik, masakannya enak-enak. Baju-bajuku yang dulunya kedodoran sekarang pas semua, hehehe.”
“Sekarang menggemuk nggak apa-apa, yang penting kita tetap sehat. Kita juga harus selalu sempatkan setiap Rabu dan Sabtu jalan pagi.”
“Iya, Bu. Mudah-mudahan pandemi segera berakhir dan kehidupan bisa berjalan secara normal seperti sebelumnya, tidak membuat banyak orang khawatir seperti ini.”
“Iya, Nduk. Selain ikhtiar untuk badan yang sehat, kita juga perlu berdoa agar sehat batin juga.”
Kami pun melanjutkan aktivitas kami masing-masing lagi. Di antara aktivitas kami, teriring doa dengan harapan semoga orang-orang yang sakit segera sembuh dan pandemi berakhir sehingga kita bisa beraktivitas, mengembangkan diri dan potensi tanpa dibayang-bayangi tertular virus yang mematikan lagi dari orang lain.
Photo by Jessica Lewis on Unsplash