Manusia Tidak Pernah Kehilangan Motivasi

Oleh Delfitria

Bagaimana jika nanti kita kehilangan motivasi di masa depan? Entah karena peristiwa yang traumatis, perlakuan yang buruk dari orang lain atau karena kegagalan yang bertubi-tubi. Kehilangan motivasi bisa berdampak serius jika tidak segera dikenali oleh diri sendiri. Terutama kehilangan motivasi untuk bertahan hidup. Ini akan menjadi serius ketika orang-orang saat ini terlalu lama memendam perasaan mengenai apa yang dia rasakan. Belum lagi, banyak hal yang tidak sesuai ekspetasi justu membuat diri kita terasa begitu tumpul. Saking tumpulnya, Ia tak bisa mencapai apapun yang diharapkan. Akhirnya terkumpul rasa kecewa dan keputusasaan. 

Jika memang motivasi adalah bahan bakar individu untuk berusaha, maka menjaga motivasi adalah mengisi bahan bakarnya tetap ada. Motivasi atau dorongan yang membuat seseorang menampilkan perilaku telah menjadi pembahasan penting dalam perkembangan hidup manusia. Mengapa ada orang yang suka sekali beraktifitas namun ada juga yang lebih suka berdiam diri? Mengapa ada orang yang senang sekali menulis namun ada juga yang membencinya? Lebih kompleks lagi, mengapa ada orang yang dulunya senang menulis tapi sekarang tidak? Well, jika ingin membahas fenomena itu kita membutuhkan teori motivasi. 

Aku pernah mendengar sebuah eksperimen yang dilakukan oleh ilmuwan bernama Hebb mengenai Sensory Deprivation Study. Partisipan dalam eksperimen tersebut adalah mahasiswa yang dikondisikan agar tidak merasakan sensasi apapun selama 1 hari. Matanya tidak boleh untuk melihat, telingannya ditutup sehingga tak bisa mendengar, kulit dan tubuhnya dibungkus agar tak merasakan apapun. Ia diperbolehkan bergerak jika ingin makan atau membuang air kecil atau besar. Memang agak kontroversial penelitian ini. Dari eksperimen tersebut, ada sebuah tilikan yang menarik dari studi ini. Partisipan hanya bertahan 4 hingga 8 jam dengan kondisi tersebut lalu menjadi semakin stress dan membutuhkan lebih banyak stimulasi dari sebelumnya seperti orang yang kehausan. 

Di titik itu aku berpikir, bukankah terkadang kita mendambakan hidup tanpa merasakan apapun atau tanpa bekerja apapun? Eksperimen ini memberi contoh bahwa ketika kita diberikan kondisi tanpa mengerjakan apapun maka yang ada adalah ketidakseimbangan. Ada stimulasi yang perlu dipenuhi dua kali lebih banyak kemudian. Eksperimen ini juga pernah direplikasi oleh ilmuwan lain tanpa menutup indera partisipan, namun sama saja yang terjadi adalah stress, kecemasan hingga halusinasi. Akhirnya aku berpikir, rasanya sudah secara naluriah manusia memiliki hobi untuk mengerjakan sesuatu. Hobi (mengerjakan sesuatu) yang terkadang disangkutpautkan dengan motivasi. Padahal manusia sudah pasti termotivasi untuk melakukan sesuatu.

“Aduh, aku gak punya motivasi, nih, buat menulis!”

“Aduh, bagaimana sih caranya termotivasi untuk olahraga? Aku tidak termotivasi!”

Setiap membahas motivasi, Ia memiliki pasangan lainnya yaitu emosi. Emosi sedih, marah atau bahagia tersebut yang terkadang membuat kita melakukan selective participation. Kita melakukan selective participation atau memilih apa yang seharusnya dilakukan menurut kita saat itu. Nah! Jadi rumit, toh? 

Rasanya kurang tepat jika kita membahas bahwa diri kita tidak memiliki motivasi, dimana motivasi adalah kebutuhan naluriah manusia untuk melakukan sesuatu.  Setiap kebutuhan harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi akan terjadi ketidakseimbangan seperti partisipan Heb yang haus stimulasi. Hal itu yang membuat seseorang akhirnya rentan dengan masalah psikologis seperti perasaan sedih, marah, hingga kondisi depresi. Penyakit ini bisa menggerogoti diri kita dan menutupi siapa diri kita sebenarnya. Ingat, kita adalah manusia yang secara naluriah butuh untuk melakukan sesuatu. Begitupun ketika motivasi dipenuhi dengan berlebihan maka Ia bisa jadi barang mewah yang bisa kita kenakan. 

So, keep going! We are deserve better!


Photo by Kristopher Roller on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *