Flash Fiction Cicih M. Rubii: Arafahku Esok

Pemahaman dan iman terhadap takdir tidak lantas membuat manusia pasrah tanpa upaya

Treeeet…!

Klakson sepeda menyadarkan Lupi dari lamunannya. Refleks menepi dan menghentikan langkah.

“Jangan ngelamun di tengah jalan, Mbak!”

Ditatapnya punggung pesepeda tadi. Semakin menjauh dan hilang di kelokan jalan.

Kembali di dunia nyata, Lupi merasakan sinar matahari pagi yang semakin tinggi. Hangat.


“Lupi, cepetan dandannya. Nanti tak kebagian shof di lapangan!” teriak ibu dari arah dapur.

“Ya, Buu…! Sebentar lagi nyari mukena,” jawab Lupi dari dalam kamar. 

“Yuk, berangkat. Kalau kesiangan bisa jadi salat Iednya udahan,” ajak Ayah tak sabar.

Lupi segera keluar dari kamar. Mukena putih berbunga pink sudah dikenakan dengan manis. Sajadah warna merah dalam genggaman.

“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu Akbar…!”

Gema takbir menghentak, menggetarkan hati Lupi. Membawa kesadaran pada rasa syukur yang tak terbilang. Matanya kini berkaca-kaca. 

“Akhirnya, ya Allah…! Akhirnya kami kembali berkumpul kembali dalam lautan manusia,” lirih hati Lupi penuh rasa syukur. 

Lapangan yang luas memutih oleh mukena dan koko putih. Jemaah duduk dalam barisan yang teratur. Gema takbir dipanjatkan dari setiap lisan, gemuruh memenuhi langit di alun-alun kota.

Lupi menggelar sajadah, di atas hamparan rumput yang tebal. Segera duduk dan merapatkan diri dalam barisan. Kaki-kaki mereka saling bersentuhan. Senyum ramah terukir dari setiap wajah yang cerah. 

“Sudah lama ya, kita rindukan keadaan ini,” ucap seorang ibu yang duduk di sebelah Lupi, seolah membaca apa yang ada di pikirannya.

Lupi tersenyum sambil mengangguk sopan.  “Iya, Bude!’ jawabnya singkat. 

Udara pagi yang syahdu. Lupi menghirup kesegarannya dengan penuh perasaan. Dipejamkan matanya, dan menikmati setiap helaan napas pergantian oksigen dan karbon dioksida yang rumit tapi teratur.

Fabiayyi alaai robbika tukadzibaan, lalu nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan?

Salat Ied penuh khidmat telah didirikan. Setiap jamaah menikmati ibadah sunnah dengan hati sumringah. 

Lupi mencium tangan Ibu dan Ayah, menyalami setiap orang yang ditemui, dan memeluk setiap kawan yang dikenal. Erat, penuh haru.

Air mata bercucuran dari hati-hati yang penuh syukur. Kegelapan sudah berlalu. 


Nguing…! nguing…! nguiiing…!

Sebuah ambulance berjalan cepat melewati Lupi yang melangkah sendirian. Beberapa mobil mengikuti dari belakang dengan kecepatan yang sama. 

Lupi kembali ke masa kini, melepaskan diri dari lamunan tentang indahnya merayakan hari raya tanpa pandemi. 

Bunyi ambulance mengantarkannya pada kesadaran tentang kenyataan yang ada di genggaman, juga tentang kesedihan keluarga yang ditinggalkan. 

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun,” getir suara Lupi menyebut asma-Nya. 

“Mbeeeek…! Mbeeekk…!”

Suara kambing seolah menyapa, ketika langkah kaki Lupi melewati lapak penjualan hewan qurban. 

Bau kambing menyeruak masuk ke indra penciuman melalui lapisan masker yang dikenakan.

Beberapa orang bermasker sedang memilih hewan qurban yang akan dibeli. 

“Esok… Esok lusaaa! Pandemi ini pasti berakhir. Pasti!” gumam Lupi yakin. Doa dan harapan terucap dari lisannya. 

Ini hari Arafah. Ibu tengah menunggunya di rumah, mempersiapkan masakan alakadarnya buat hari raya esok. Meskipun salat Ied tahun ini masih dilaksanakan di rumah. 

Lupi merekatkan dua lapis masker dan mempercepat langkah. Sinar matahari semakin panas. Lupi bergegas.


Photo by Rumman Amin on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *