An Act of Suicide on a Grand Scale

Oleh: Lisvy Nael

Samudera Selatan sepertinya menjadi salah satu jawaban dari tujuan yang sempat kutetapkan di awal pelayaran: Masa depan. Aku yakin, apa yang kusaksikan saat ini, yang terpampang nyata dalam dinding-dinding gletser yang tersisa, adalah kumpulan persitiwa di masa depan, bukan masa lalu.

Apa yang tampak di hadapanku, aku urung untuk maju. Apa pun itu, masa depan atau hanya gambaran masa depan, aku tidak ingin lagi mengunjunginya. Ini terlalu menyiksa. Namun, aku tau pasti, aku tengah berada di gerbang masa depan: kemusnahan.

Pangeran Charles pernah bilang, apa yang kita kerjakan saat ini adalah “An act of suicide on a grand scale.” Aku sempat ingin membantahnya, bagaimana Ia hanya menyebut An Act dan bukan Acts (dengan s)? Tapi, dari apa yang Samudera Selatan perlihatkan, memang kehancuran ini hanya sebuah tindakan: konsumsi.

Ego manusia yang berada di tempat tertinggi, rakus untuk melahap segala hal. Tak terkecuali kebenarannya sendiri. Memiliki kebenaran bahwa tindakan-tindakan kecil konsumsi ternyata mencelakai diri dan peradaban. Ya, peradaban ini sedang menuju keruntuhannya. Secara cepat, tanpa banyak orang sadari.

Bumi menghangat. Ambisi memanas. Udara panas terperangkap. Kutub-kutub mencair. Permukaan laut meninggi. Orang-orang berebut kekuasan, berebut hunian. Manusia-manusia menggadai harga diri, menjual harapan. Memusnahkan ladang-ladang. Berdesak-sesak dengan pencapaian dan kemenangan. Tenggelam dalam penyesalan dan prasangka sosial.

Perang makin sering. Atas nama agama, demokrasi, kemaslahatan, atau tameng harga diri. Penyakit makin mudah ditemui, yang endemi bahkan pandemi. Semua saling menyakiti.

“Kenapa kau terdiam di situ? Tidakkah kau ingin ke sini?” Seekor beruang berbulu putih tapi sudah menguning dan tampak lemah yang duduk di sebuah gletser tak sampai satu meter tingginya membuyarkan perhatianku.

“Apakah semengerikan itu masa depan? Bukankah itu masa depan? Apakah itu hanya sebuah halusinasi belaka? Ataukah kalian mencoba menakut-nakutiku?” Setelah menyadarkan diri, aku sedikit panik dan mulai bertanya hal-hal yang tampak masuk akal.

Si beruang putih yang mulai menguning bulunya itu tak langsung menjawabku. Ia jsutru tertawa. Alih-alih paham dengan maksud tawanya, aku justru merasa tersinggung.

“Bagaimana kau tertawa dengan pertanyaanku? Apakah pertanyaanku lucu dan layak kau tertawakan?” Aku ingin membuatnya merasa bersalah dengan menertawakanku.

“Kau lucu sekali. Bagaimana mungkin kau bertanya kami sedang menakut-nakutimu. Kamilah yang setiap waktu ketakutan. Bagaimana beban berat memegang masa depan ada pada kami, sementara kaummu selalu menyakiti dan mencoba menyingkirkan kami?

“Kalian sangat lucu. Bagaimana mendoakan hal yang sama setiap tahun, panjang umur serta mulia, sementara yang kalian lakukan adalam menaburkan racun setiap waktunya. Bukankah doa yang dikabulkan adalah ia yang diupayakan? Tapi seperti itu cara kerja kalian, apa yang kalian doakan dan apa yang kalian lakukan tidak terlihat berkelindan melainkan bertolak belakang. Bagaimana kami tidak takut setiap harinya?

“Kalian sangat lucu. Mencoba mencari masa depan dengan mencuri waktu. Melipatnya dalam sejengkal jari, tapi kalian justru menggali kubur kita semua.”

Aku merasa kehabisan napas dengan serangan tiba-tiba. Aku kehilangan kendali atas keseimbangan tubuhku sendiri. Aku sedikit limbung dan terhuyung. Mencoba mencari pembelaan dengan menengadah, tetapi aku makin tidak mampu berdiri tegak. Aku pun terduduk. Kemudian merunduk dan mulai menangis sejadi-jadinya.

“Aku tidak ingin masa depan. Aku tidak ingin menjadi manusia.” 


Photo by Lennart Schneider on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *