Rumah Impian

Oleh: Cicih M Rubii

“Nak…!”

“Ya, Mah!”

“Udah salat?”

“Udah!”

Aku kembali melanjutkan bacaan Al-Qur’an. Selepas Magrib sambil menunggu waktu Isya tiba. 

Anak keduaku yang barusan kutanya terdengar melafalkan ayat suci perlahan. 

“Sungguh suatu karunia dari Allah, ketika kita memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukan amalan kebaikan,” ucapan guru ngajiku membekas di hatiku. 

Benar adanya. Tidak semua orang diberikan jalan untuk istiqomah dalam amalan soleh.

“Tsabbit qolbii ‘aladdinik,” harapku. Memohon semoga Allah menetapkan hati-hati kami dalam agama-Nya. 

Tak dipungkiri, banyak di luar sana yang tak memiliki waktu sekedar sholat lima waktu. 

Entah dikarenakan kesehatan yang terganggu, atau kesibukan yang tak berujung. 

Tetapi masih ada yang memiliki banyak waktu dan kekuatan fisik yang tangguh, tetapi hidayah itu tak sampai kedalam hatinya. 

“Mau salat dulu?’ tanyaku suatu kali kepada tukang bangunan di rumah.

“Enggak Bu, tanggung!” jawabnya saat itu. Padahal di waktu istirahat, dia menghabiskan waktu dengan gawai sederhana miliknya.  

Aku adalah ibu yang bahagia. Bersyukur tak terkira dikarunia empat orang anak. Ketika beberapa sahabat bahkan harus melakukan berbagai usaha agar dapat memiliki momongan.

“Anak adalah titipan Allah. Tidak semua orang diberi karunia besar. Tetapi orang tua memikul amanah besar mengarahkan mereka menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat,” nasehat kakakku saat aku mengeluhkan kepayahan mengurus dan mendidik.  

Empat orang anak, masing-masing memiliki karakter berbeda. Merupakan anugerah tak terkira. 

Ada yang pendiam tapi perhatian, ada yang super cuek tapi sabar , ada yang cerewet dan kritis, ada yang manja tapi cerdas. 

Sore ini aku berkumpul di beranda rumah. Kegiatan yang jarang dilakukan di era gadget kini. 

Berbeda dengan masa kecilku dulu di tahun 80-an. Dimana kegiatan kumpul-kumpul adalah kegiatan harian. 

“Kak Zaky, nanti lulus kuliah mau bekerja atau sekolah lagi?” tanyaku sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir. 

“Insya Allah pengen kuliah lagi. Semoga sih bisa sambil kerja,” jawabnya sambil membuka cangkang kacang. 

“Cari beasiswa saja, Kak,” ucapku menyetujui rencananya. 

“Kalau kamu, Iyas?” tanyaku pada anak kedua yang saat ini baru kelas 2 SMA. 

“Yasya ingin menjadi arsitek. Gak tau kuliah di mana,” jawabnya sambil tertawa. Anak SMA zaman now, seharian tangan tak lepas dari gadget

Semoga pada masanya nanti kamu mampu bersaing, Nak, gumamku berharap. 

“Iqbal mau jadi dokter bedah, Mah! Biar bisa mengobati umi kalau sakit,” cerocos Iqbal sebelum kutanya. 

Mendengar itu adiknya Alitha terkekeh. “Dokter ko nakal terus sama adik,” protesnya. 

Aku hanya tersenyum melihat tingkah polah mereka. Mengaminkan dalam hati semua cita-cita baik yang mereka gantungkan. 

“Alitha mah mau sama Mamah terus, ah!” ujar Alitha smabil memelukku. 

“Alitha harus rajin belajar, semoga nanti  mendapat suami seorang ustadz yang sayaaang banget sama Alitha,” ucapku bersungguh-sungguh. Efek ngidam banget anak ke pesantren, tapi tak dapat restu suami. 

Anak bungsuku yang masih TK ini  hanya tertawa, mungkin tak sepenuhnya paham dengan ucapanku. 

Masa depan mereka tidak ada yang tahu. Orang tua hanya mengarahkan, memotivasi dan selalu mendoakan.

“Mamah, Iqbal mau muter dulu. Mau cari rumah yang mau dibeli.” Tiba-tiba Iqbal berdiri. 

“Apa? Iqbal mau beli rumah?” tanyaku sambil menatap wajah anakku yang kelas 3 SD itu penuh takjub.

“Iya Mah! Iqbal rumahnya mau dekat rumah Mamah aja. Iqbal gak mau jauh dari Mamah,” ucapnya sambil mengeluarkan sepeda. “Nanti tiap hari Iqbal akan mengajak istri Iqbal nemuin Mamah, bawain makanan,” ujarnya serius lalu mengayuh sepedanya di jalan. 

Kami berempat yang ditinggalkan tertawa. Lalu melanjutkan obrolan sambil minum teh dan makan kacang kulit. 

“Terimakasih ya Allah, memberiku anak-anak yang luar biasa,” ucapku lirih. Aku terharu.


 “Mamah, minta uang lima ribu,” teriak Iqbal menemuiku yang sedang masak di dapur.

“Buat apa, beli Siomay?” tanyaku sambil merogoh saku.

“Buat beli rumah yang di depan, kata Aurel boleh,” ucapnya serius. 

“Apa? Ya Allah, Iqbaaal…!” teriakku kaget. 

Aku tertawa terpingkal, membayangkan mamanya Aurel kebingungan. 


Photo by Elena Mozhvilo on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *