Menghemat Waktu

Oleh: Lisvy Nael

Ketika aku terbangun, sengatan matahari serasa ejekkan. Tanpa penutup apa pun, sinarnya langsung menyentuh kulit. Itu bukan masalah sebenarnya. Hanya saja, kulit kelopak mata tak setebal telapak kaki. Jadi ya, aku tak dapat menahan mataku dari rasa silau yang amat sangat.

Meski demikian, Samudera Selatan pun tidak sedingin yang kubayangkan. Tidak seperti sepluh tahun yang lalu paling tidak. Mungkin benar, bumi benar-benar mulai menghangat. Bahkan, manusia takut kalau suhu tubuhnya naik dan lebih hangat dari biasanya. Tapi hanya sedikit yang takut ketika bumi juga mengalaminya. Demam.

Entah bagaimana, beberapa ingatan melesat lagi. Tentang bagaimana guru bahasaku mengoreksi orang-orang yang memberi sambutan atau memandu dalam sebuah acara.

“Harusnya bukan menyingkat waktu, tapi menghemat waktu… Mana ada waktu dipersingkat,” katanya di muka kelas. Aku yang begitu takzim padanya dan bahasa, merasa sangat tercerahkan. Bagaimana banyak sekali di antara kita yang sudah keliru menggunakan bahasa dan menafsirkannya berdasarkan hal yang benar.

Namun, baru-baru ini, aku punya keyakinan baru. Aku tidak sepenuhnya yakin pada sepenuhnya kebenaran dan kesalaha. Ketepatan dan kekeliruan. Semua bisa berdampingan. Tak perlu mengotak-ngotakkan. Toh, sekarang baik meghemat waktu dan menyingkatnya, sama-sama memberikan perasaan serupa: waktu yang terasa lebih cepat berlalu.

Kukira, sedikit mirip dengan kembang api yang banyak anak-anak mainkan. Saat menyulutnya, itu terasa lama dan sulit sekali. Sekali tersulut, apinya menyebar dan bergerak begitu cepat. Seperti waktu, yang lambat pada permulaan dan menjadi pesat saat dekat akhiran.

Ah, aku tidak punya pengetahuan untuk menjelaskan hari-hari akhir. Namun, melihat bagaimana bumi juga semakin cepat terbakar, tidak akan mengejutkanku jika tak lama rumah kita ini benar-benar hirap. Lenyap.

 Barangkali, menghemat waktu akan membuat kita memiliki sisa waktu lebih banyak di kemudian hari. Sementara menyingkat waktu seperti membuat semuanya serba cepat dan terburu-buru. Keduanya padahal menghasilkan hal-hal yang tak bisa diperbaiki pada akhirnya.

Siapa yang menghemat waktu? Kau, apakah masih punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal lain di kemudian hari? Tidak juga ketika memang tibanya kematian sudah sehadapan. Hanya saja, kita tidak punya pengetahuan tentang itu. Jadi, buat apa bersusah menghematnya, toh tidak ada yang menikmati hasil tabungannya.

Siapa juga yang mencoba menyingkat waktu? Tak perlu terburu-burulah. Meski waktu juga mengejarmu lebih cepat menua, tetapi berlari mencoba menyingkat jarak tidak menjaminmu juga mendapat lebih banyak waktu di akhhir. Bisa saja kau sudah kelelahan di akhir karena terlalu terburu-buru dan cepat-cepat di awal. Siapa tahu?

Lantas, apakah yang sudah kulakukan benar? Aku tidak menyingkat waktu dan tidak juga menghematnya. Kulakukan semuanya sesuai kecepatan dan kemampuanku. Aku tidak memusuhi waktu kecuali karena kebutaanku terhadap jadwal-jadwal yang Ia buat untukku.

Aku tak naif, terkadang aku pun merasa sebal karena mendengar orang-orang yang sibuk menggunjingku dan menasihatiku tentang kebaikan. Aku gelisah karena waktu tak memberi tahu kapan tiba saatnya aku bisa menjawab pertanyaan-pertanaan orang-orang menyebalkan itu. Aku juga resah karena waktu tak membisikkanku barang satu kalimat sebagai petunjuk kapan Ia akan berhenti membersamaiku.


Photo by Paula Guerreiro on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *