Oleh: Dwina
“Masya Allah….” Kulihat tatapan si kakak yang tertuju ke arah luar mobil, ia mengungkapkan keterkejutannya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Jarak beberapa meter dari mobil kami, sebuah mobil jenis terbaru sedang menurunkan kaca jendelanya. Salah satu penumpangnya membuang tisu bekas pakai begitu saja ke jalanan.
Pemandangan ini benar-benar membuat kami sekeluarga terkejut. Bagaimana tidak, di kota sebesar ini masih ada yang membuang sampah sembarangan?
Kota tempat kami berada sekarang adalah kota besar. Dengan segala fasilitas yang tercukupi, terutama pendidikan, orang-orang pasti sudah tahu peraturan-peraturan yang berlaku sehingga timbul rasa malu jika berbuat salah.
“Seharusnya kan ditaruh di mobil saja. Nanti kalau sudah ada tempat sampah, baru dibuang,” celetuk adik yang ikut memperhatikan pemandangan yang kurang mengenakkan itu.
“Wah, adikku memang pintar. Generasi masa depan harus sadar bahaya sampah, harus berbenah dari diri sendiri, atau bahkan berkampanye untuk cinta lingkungan.”
Bapak juga menambahkan, “Iya… itu perilaku yang tidak bertanggung jawab. Malulah membuat kotor lingkungan.”
“Iya, itu tidak baik. Jangan sampai banyak yang berperilaku seperti itu, egois namanya. Mobilnya awet bersih, tapi dia mengotori lingkungan. Sebaiknya, kalau kita membuat sampah saat berkendara, ya disimpan di mobil dulu. Di manapun kita berada, jika punya sampah disimpan dulu di kantong atau di tas, baru kalau sudah ada tempat sampah atau terbawa pulang ya dibuang di tempat yang semestinya.” Aku ikut menimpali.
Sepertinya, jika sekilas dilihat, membuang sampah di jalanan terlihat sepele di mata orang. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu, kawan. Seandainya itu dilakukan oleh orang dewasa dan dilihat oleh anak kecil maka akan ditiru. Biasanya, orang dewasa akan merasa apa yang dilakukannya itu hal remeh atau tidak apa-apa, sehingga anak-anak juga akan menganggap itu hal sepele dan berpikir bahwa tidak akan mengganggu.
Hal-hal yang dianggap sepele, kalau dibiarkan bisa jadi akan menjadi lebih besar bahkan tak terkendali. Yang semula hanya membuang selembar tisu, lambat laun akan membuang bungkus makanan ringan, botol plastik bahkan lama-lama akan menggampangkan membuang sampah rumah tangganya ke sungai.
Bayangkan, apabila semua orang mulai melakukan ini. Sampah pasti akan tersebar ke mana-mana seperti ke laut di mana ikan-ikan hidup dan menjadi sumber pencaharian para nelayan, sungai yang menjadi sumber penghidupan manusia dan tumbuhan di sekitarnya, gunung dan ladang yang dipenuhi sampah pendaki yang singgah, menjadi sumber penyebab kerusakan bumi secara perlahan dan tak lama lagi makhluk hidup takkan dapat bertahan.
Semua hal tersebut juga disebabkan oleh perilaku yang tidak mau memikirkan orang lain atau egois. Tas, mobil atau rumahnya tidak mau ada sampah. Tapi itu sampah pribadi semestinya menjadi tanggung jawab pribadi. Seandainya dibuang sembarangan, akhirnya akan menganggu orang lain. Cukup membayangkan seandainya perbuatan buruk itu menimpa rumah kita atau keluarga kita, apakah kita akan terima?
Saya yakin, pola pikir jika semua hal yang kita lakukan dikembalikan kepada diri kita sendiri, maka kita akan berpikir seribu kali untuk membuang sampah sembarangan. Begitu juga perbuatan yang kadang kurang sopan kita lakukan pada orang lain jika hukum karma memang benar adanya maka kita akan sangat hati-hati untuk berbuat kurang baik.
Photo by Claudio Schwarz on Unsplash