Obat untuk Masa Depan Kita adalah Bahagia

Oleh Delfitria

Masa depan nanti aku jadi apa, ya?

Apa aku bisa cukup mapan atau aku hanya penyumbang angka kemiskinan di Indonesia?

Hidup banyak utang, sendirian, atau punya keluarga yang sehat? Entahlah. Tidak ada satu manusia pun yang bisa membaca masa depan kita. Itu artinya, apapun masa depan kita masih bisa diubah sejak sekarang. Bahkan sehari sebelum masa depan terjadi (alias besok) kita masih bisa mengubah banyak hal di hari ini. Kalau begitu, apa ya yang selalu harus diubah untuk masa depan nanti?

Jika masalah yang ada saat sekarang maupun nanti adalah sebuah keniscayaan, maka solusi menghadapi masa depan bukanlah terhindar dari masalah. Penghindaran kita terhadap masalah terkadang membuat masalah justru semakin bertambah. Misalnya, orang yang berpura-pura demi menutupi kebohongannya harus berbohong dengan yang lain agar tidak diketahui. Orang-orang yang serakah akhirnya melakukan segala cara untuk memenuhi keserakahannya. See? Ternyata bukan masalah yang harus kita hindari untuk masa depan nanti. 

Terimalah hidup dengan banyak masalah. Terimalah masa depan yang penuh perjuangan itu. Tapi jangan diterima masa depan yang penuh kesedihan. Ya, jalankan dengan bahagia. Aku jadi ingin cerita bagaimana masa depresi pernah menghampiriku. Masa di saat ada masalah besar (seperti biasanya) tapi gagal untuk kujalankan dengan baik alias melakukan hal-hal bodoh demi menyelesaikan masalah itu. Tiga tahun yang lalu, aku gagal maju dalam sebuah ajang pemilihan ketua BEM di fakultas. Kegagalan yang sangat mencekat leherku saat itu. Kegagalan yang sebenarnya bisa dihadapi dengan positif jika dilihat dari masa depan. 

Kegagalan tersebut terjadi ketika calon wakilku memilih mundur di hari terakhir pendaftaran pemira (pemilihan mahasiswa saat itu). Grand design sudah memiliki tonggak, tim kampanye sudah berkumpul, pakaian dan persiapan mental sudah cukup kuat tapi sayang sekali calon wakil yang sudah ku persuasi sejak lama justru mundur. Entah karena apa. Aku juga tidak mau menduga-duga apakah ini ulah lawanku. Intinya, si calon wakil memberikan alasan yang sangat bukan dirinya sendiri. Aku hanya bisa menerima keputusannya dan ya, setelah itu aku gagal mencalonkan diri. 

Hal ini merupakan masalah besar buatku. Meskipun sebenarnya aku sudah pernah memiliki yang besar misalnya diminta berhenti kuliah karena biaya, diusir oleh kepala RT dan masih banyak lagi. Entah kenapa, kejadian gagal saat mencalon diri itu justru membuatku harus menghadapi masa depresi. Depresi, sederhananya adalah hilangnya kemauan untuk melanjutkan hidup. Makan tidak mau, mandi tidak mau hingga bertemu orang lain pun tidak bertenaga. Ya, aku menjalankan kejadian tersebut penuh dengan kesedihan. Di saat semua orang sudah tahu rencana pencalonanku, di saat itu pula aku harus mengklarifikasi kegagalanku. Sakit. Sakit sekali. 

Dari semua masalah yang berat. Kegagalan tersebut yang tidak bisa kujalankan dengan bahagia. Saat dilarang Ayah untuk kuliah karena biaya, aku masih bahagia, buktinya masih memiliki rasa ingin yang kuat untuk dapat beasiswa. Saat diusir kepala RT pas minta tanda-tangan, aku juga masih bahagia, buktinya masih mau ke rumah pak RT tersebut. Tapi saat gagal nyalon, aku sama sekali tidak bisa mempertahankan diriku. Diri yang menyenangkan dan membuat orang lain terhibur. Selama hampir dua minggu, aku tidak pernah menyapa siapapun dan kosong menjalankan sisa perkuliah di akhir semester saat itu. 

Saat ini aku melihat diriku yang dulu. Kok bisa mencetak sejarah dua minggu dalam tangis dan diam? Seorang diriku yang people pleasure? Begitulah masalah, teman-teman. Masalah bisa mengubah diri kita ketika terlalu larut dalam masalah tersebut. Padahal kan hal biasa gagal mencalonkan diri. Toh masih banyak ladang kontribusi yang lain. Sekarang, kalau mau bicara soal masa depan yang (sudah pasti) memiliki banyak masalah, obat yang harus selalu ku minum adalah perasaan bahagia. 

Berbahagialah teman-teman masalah apapun yang kamu alami di masa depan nanti. Bahagia bisa juga kita sandingkan dengan rasa syukur. Bersyukurlah! Karena ketika sedih yang terlalu larut kita sangat sulit memandang sesuatu dengan syukur (grateful) dan akhirnya sulit bahagia. Selain bersyukur, berbagilah saat ada masalah! Itu bisa jadi solusi untuk membuat kita merasa lebih ‘sadar’ bahwa masalah kita bukan satu-satunya yang paling besar sehingga lebih semangat untuk melewati dan menyelesaikan. Berbahagialah dengan berbagai cara yang bisa kita lakukan!


Photo by chaitanya pillala on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *