Mengunjungi Kemungkinan – Menyapa Ketakutan

Oleh: Lisvy Nael

Aku masih terduduk dalam labirin jalan pikirku sendiri. Sambil menyaksikan dunia di bawahku perlahan terlelap meski jika kau mampu menembus sedikit saja kegelapan di sana, yang kau lihat justru sebaliknya: kehidupan.

“Ah… aku sering mendengar pertanyaan yang sama dengan apa yang tanyakan sekarang. Aku juga melihat lebih banyak jiwa-jiwa berterbangan. Beberapa di antaranya menyadari diri sedang mengembara. Sementara yang lain tersesat. Kukira, kau termasuk di antara yang kedua. Kau masih tersesat.” Awan berkata lugas dan aku sepakat.

“Ya, aku masih tersesat dalam ruang waktu. Aku masih belum memutuskan jika ini semua adalah benar-benar semu. Jika iya, lantas ke mana dan siapa sebenarnya kita? Siapa pula kau?” Aku hening. Demikian pula awan. Kulihat Ia menungguku melanjutkan kalimatku.

“Setidaknya kau bertanya dan mencari tahu.” Kukira awan bermaksud menghiburku dengan kalimat itu, tetapi yang kurasakan tidak demikian. Aku masih sama cemburunya dengan hujan yang turun dengan tujuan. Menumbuhkan harapan. Menerjang ketamakan. Menyejukkan kegelisahan, atau mengingatkan akan kesyukuran.

“Tapi aku sudah menghabiskan seluruh waktuku hanya untuk mencari tahu. Apakah itu sepadan? Aku bahkan tak sempat mengenali kegembiraan,” Aku tak bermaksud menyanggahnya, tetapi bagaimana kubisa menyumpal mulutku yang tak bisa kusentuh?

“Hm… kau memang belum belajar apa pun bahkan setelah berbincang dengan angin dan air. Kau tidak perlu bersedih atas langkah-langkah kecil menuju kebenaranmu. Bahkan jika kau sedikit tersesat, itu bukan sepenuhnya salah arah. Kau hanya membuthkan waktu lebih. Tak masalah untuk membutuhkan waktu lebih lama menuju pengetahuanmu. Kelak kau kau menemukannya di balik ketakutanmu.” Ah… sekali lagi, penghiburan awan hanya menambah getirnya perasaanku malam ini.

“Mungkin, aku belum menceritakan ini kepada siapa-siapa. Kau akan menjadi yang pertama mendengarnya jika kau mau.” Tawarku. Lebih pada bertanya kesudiannya mendengarkan apa yang menjadi kegelisahan dan ketakutanku.

“Kau tak usah bertanya jika memang ingin bercerita. Inilah waktumu jika memang kau mau. Tak ada alasan lain kenapa kau duduk di sini sambil memandangi dirimu sendiri yang tampak tenang tanpa kegelisahan di bawah sana.”

“Kau benar.”

Keheningan panjang menjalar di antara kami. Saat seperti itu ragu datang. Sekali-kali juga ada perasaan tak enak hati, barangkali awan lelah telah mendengar jutaan keluhan lain yang menguap bersama desah napas tiap waktunya. Bahkan lautan seringkali juga membawa muatan air mata yang tak lama terkondensasi di tubuh awan dan lahir kembali menjadi sebuah harapan.

“Jadi… apa yang ingin kau ceritakan, hm…?”

“Aku ketakutan. Aku terus membayangkan bagaimana jika tidak di tengah lautan ini, bagaimana aku akan mati? Sementara pertanyaan dan tujuanku masih belum tetap dan tak pasti.

“Aku ketakutan. Bagaimana jika suatu hari aku mati di ruang kubikel yang manusia sebut kamar? Tanpa keluarga, tanpa teman-teman berharga. Hanya sendiri, tidak ada yang menyaksikan kematianku. Bahkan malaikat mungkin datang di akhir waktu, setelah kesakitan berpisahnya jiwa dengan ragaku telah usai.

“Aku ketakutan. Aku terus membayangkan bagaimana kematian merubah wujud kasih sayang menjadi kenangan yang akan hilang? Bahkan aku tak banyak membuat ingatan bersama orang-orang yang mungkin masih akan tinggal. Lantas, bagaimana aku akan sempat mereka kenang? Bahkan, untuk tahu aku telah menghilang pun mungkin tidak ada satu pun dari mereka yang akan menyadarinya.

“Aku ketakutan. Bagaimana jika suatu hari nanti aku mati tanpa orang-orang yang kukenali. Lantas aku hilang dalam ingatan orang-orang. Ataupun jika aku bertahan dalam waktu yang lebih lama, mungkin itu hanya kenangan-kenangan yang menyakitkan.

“Aku ketakutan. Aku bahkan tak tahu ke mana perginya jiwaku setelah Hari Raya. Dan… apakah aku akan menunggu lama sampai tiba Hari Raya?”

“Wow… kau punya ketakutan yang tak perlu kau takutkan rupanya. Tapi tak mengapa, kau tetap manusia. Manusia punya banyak emosi untuk menciptakan siapa dirinya. Yang kau perlukan hanyalah benar-benar menemukan.

“Oke, sekarang pagi hendak jelang. Sebaiknya kau turun sebelum kau benar-benar menguap dan menyublim di dalamku sementara kau masih takut belum menciptakan kenangan-kenangan baik.”

Dalam sedetik, aku menemukan diriku kembali dalam cangkangku. Memeluk lutut untuk mendapatkan kehangatan sedikit dari semilir angin yang mulai membekukan. Apakah aku sudah dekat dengan Samudera Utara?


Photo by Cristina Gottardi on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *