Oleh: Siti Atikah (Atik)
Pagi tadi, sebelum mulai bebenah, adik saya membuka topik pembicaraan, “Mba, coba deh tanyain Teh Eda, atau Mba Ita. Bisa nggak salah satunya bantu nyetrika di rumah? Kayaknya mereka agak lowong sekarang. Biar kita nggak kerepotan nih, karena minggu depan udah mulai aktif ngajar kan.”
Duuh, terpaksa akhirnya topik ini kuputuskan tak berlanjut. Kukatakan padanya bahwa kondisi keuangan kami saat ini sungguh mepet pasca tangan Buya, ayah kami, patah sebulan yang lalu. Otomatis ada budget khusus yang harus kami keluarkan untuk rawat jalan ke rumah sakit dan perawatannya sehari-hari. Ditambah anak saya yang bungsu juga sudah mulai sekolah TK B. Setiap bulan otomatis ada dana yang harus disiapkan. Maka, meskipun agak repot, rasa-rasanya hanya urusan menyetrika baju masih bisalah kami siasati di waktu-waktu luang setiap minggunya. Meskipun agak manyun, adik saya pasrah saja dengan keputusan saya karena ia pun sadar dengan kondisi keuangannya yang juga mepet sebagai guru di sekolah tempat anak saya yang sulung menempuh pendidikan sejak satu minggu terakhir.
Aaah… padahal sebelum pandemi terjadi, saya justru susah sekali menemukan orang yang bisa saya upah untuk bantu bebenah dan menyetrika di rumah. Kondisi saya dan adik saat itu masih terbilang stabil. Adik masih mengajar dan memberikan les-lesan di Bekasi, jadi masih bisa menambah-nambah kebutuhan di rumah. Saya masih bisa irit ongkos dengan pulang naik commuter line atau sesekali nebeng motor teman yang searah pulang. Namun, sejak pandemi menghantam, meski tak kekurangan, lonjakan kebutuhan sering tak terbendung, khususnya biaya untuk asupan imun yang tak bisa direimburse di kantor. Sedih akutuh…. Apalagi ditambah setahun lalu, adik jatuh sakit yang qadarullah tak bisa menggunakan BPJS, sehingga tabungan kami terkuras untuk biaya perawatan selama 3 bulan dan ketahanannya hingga kini. Sampai akhirnya pun ia harus resign karena kondisi kesehatannya.
Belum lama kondisi kami agak stabil, lagi-lagi bergantian saja ujian sakit datang ke tengah keluarga kami. Maka, otomatis amunisi untuk imun, mau tak mau saya tambah. Jadi, nyaris tabungan pun tak ada. Karena hal ini, sempat saya dan adik coba usaha menjadi reseller produk kesehatan dan camilan. Namun, mungkin karena kurang niat, kurang bakat, kurang modal, kurang koneksi, dan kurang tepat caranya, lagi-lagi usaha ini tak membuahkan hasil. Berhenti deh, nggak jualan lagi.
Sering, di kala semua sudah terlelap, saya merenungi kehidupan saya. Menjadi ibu tunggal dengan 2 anak yang masih usia sekolah serta menafkahi kedua orang tua dan adik seorang diri sungguh berat. Meskipun mantan suami masih sering kirim kebutuhan untuk anak-anaknya sesuai kemampuan dia, namun untuk kebutuhan harian lainnya tetap saja besar untuk saya tanggung sendiri. Tak jarang, saya berangan dan bertanya. Apakah kehidupan saya akan lebih mudah jika saya diberi rezeki untuk berumah tangga lagi? Belum tentu juga kan, karena ada tanggung jawab sebagai istri yang wajib dilakukan. Di sini saya sendiri rasanya mungkin belum siap untuk berada di posisi itu lagi.
Namun, sebagai seorang manusia biasa, sungguh keinginan untuk memiliki pasangan hidup yang bisa menjadi imam, pengayom, dan pembimbing di dunia ini masih menyala di hati saya. Yaa, siapa sih, yang ingin masa tuanya nanti tak ditemani pendamping? Ada memang, tapi kuantitasnya tak sebanyak yang menginginkannya, kan. Akan tetapi, hidup tak selamanya sesuai keinginan, toh.
Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat mengatakan pada saya bahwa kesuksesan hidup manusia itu bisa dilihat dari titik usia 40 tahun. Jika seseorang sudah menemukan siapa jati dirinya di usia tersebut, maka ia akan menjalani kehidupan penuh syukur apapun yang terjadi. Tak melulu bolak-balik digelayuti kegundahan akan ujian dan badai kehidupan. Sementara, jika seseorang gagal menemukan jati dirinya di usia tersebut, maka bolak-balik ia akan merasakan kegundahan dalam menjalani hidup. Begitu katanya.
Aiiiih, saya pun akhirnya jadi berpikir. Apakah kehidupan yang selama ini saya jalani dari pilihan yang saya ambil memang sejatinya adalah karena diri saya? Atau justru karena terpaksa oleh keadaan? Sampai saat ini, saya masih tak mampu menjawabnya. Lalu jika memang perkataan sahabat saya itu benar adanya, berarti waktu yang tersisa buat saya sungguh sangat menipis karena jika panjang umur, menjelang akhir tahun 2022 nanti usia saya genap 40 tahun. Sementara kalau dilihat kondisi saya saat ini, rasa-rasanya tak ada yang istimewa. Begini-begini saja.
Yaa Allah…. Sungguh, kalau memikirkan masa depan, penat dan mumet rasanya kepala ini. Belum lagi kondisi pandemi yang tak menentu saat ini menambah beban kegalauan di hati yang kerap kali bertanya akan bagaimanakah esok hari? Masih sehatkah keluargaku?
Tepat di saat kegalauan akan masa depan melanda, saya membaca tulisan salah satu ibu tunggal yang ada di grup tertutup yang kami ikuti bersama. Tulisan ini menenangkan hati saya. Ia menuliskan pelajaran yang ia ambil pasca terpapar Covid-19 dengan gejala ringan yang ia lalui hanya bersama anaknya yang masih berusia sekitar 6 tahun. Ia mengatakan bahwa ia belajar untuk hidup hanya di sini dan kini. Setiap hari ia bangun dengan mindset bahwa ia hanya harus menjalani hidup hari itu saja karena tak ada gunanya memikirkan yang belum terjadi, yang hanya akan menambah beban hati. Setiap bangun, ia mengucapkan syukur pada Tuhan bahwa ia dan anaknya masih bisa bernapas dan tubuh masih bisa diajak beraktivitas. Kemudian ia tutup hari itu dengan bersyukur lagi padaNya karena telah melewati hari itu dengan baik.
Sungguh, pesan yang ia tulis langsung mengalir hangat ke jiwa saya. Yaa, saya yang selama ini sering overthinking akan segala sesuatu, membuat saya tak jarang terbebani sendiri dengan hal-hal yang belum terjadi. Membaca tulisan tersebut, saya pikir hal tersebut ada juga benarnya untuk dilakukan guna mengurangi setidaknya setengah beban hati. Agar tetap stabil menjalani hari ini, hari yang sedang dijalani. Lalu setengahnya lagi, melakukan persiapan yang bisa dilakukan untuk hari berikutnya dan perlahan menyiapkan masa yang lebih panjang ke depan tanpa harus merasa terbebani.
Oleh karenanya, saya rasa tak apa memiliki impian dan harapan apapun itu, asalkan niatnya untuk kebaikan diri dan hanya mengharapkan rida Ilahi. Dengan begitu, saya kira kita bisa menjadi lebih realistis dan tetap fokus menjalani hari ini dengan baik hingga kemudian senantiasa bersyukur melalui segala prosesnya. Maka, rasanya tak mengapa saya tetap berharap dan berdoa agar kelak suatu hari nanti Allah memberi kesempatan lagi bagi saya berumah tangga dengan niat untuk bisa mencapai rida-Nya. Jika hal itu adalah rezeki bagi saya, saya berharap agar Allah memberikan seseorang yang mampu menjadi imam bagi saya dan anak-anak, membimbing kami agar senantiasa berada di jalan-Nya, dan mengayomi kami dengan baik. Akan terwujud atau tidak impian tersebut, tak perlu lah saya mengkhawatirkannya. Tugas saya hanya perlu terus memperbaiki diri sebagai manusia dan hamba Allah agar hidup ini berkah dan dapat berfaedah bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Insyaa Allah.
Yaa, menyiapkan segala sesuatu untuk masa depan memang sepatutnya dilakukan karena dengannya berarti kita manusia, memiliki harapan. Namun, justru kita sering lalai menyiapkan masa depan yang sesungguhnya. Apa itu? Bekal untuk kembali kepada-Nya agar layak berada di surga-Nya. Dengan demikian, apapun itu harapan dan keinginan yang ingin kita capai, hendaknya janganlah sampai melalaikan kita untuk menyiapkan diri untuk menghadap-Nya, berupa amal dan ibadah sesuai tuntunan-Nya. Agar senantiasa mencapai rida-Nya. Aaamiin. insyaa Allah.😇
16 Juli 2021
Hari ke-11, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com
#atikberbagikisah
IG : atikcantik07
Photo by Green Chameleon on Unsplash