Kehabisan Kosakata

Hari pertama mengajar di sekolah internasional membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Setidaknya, dalam sekolah yang akan kujadikan tempat mengajar ini merekrut lima guru asing. Dalam hati, aku berpikir, aku memakai jilbab, apakah aku akan diterima dengan baik?

Lamunanku yang didominasi rasa khawatir terpecah oleh suara anak kecil nan menggemaskan yang sepertinya masih setingkat sekolah dasar.

Dengan sikap manjanya dia bertanya, “Hi, Miss. are you a new teacher?”

Dengan terkejut bercampur haru karena di tempat yang masih asing , aku merasa diperhatikan, aku menjawab, “Yes, I’am a new teacher. What’s your name?”

“My name is Caylen.”

“What grade are you in?”

“I’m a third grader.”

“Wow, I will teach in grade 3.”

Perkenalan kami tidak berhenti hanya sampai di situ. Dia mengatakan aku mirip dengan guru yang pernah mengajar di sekolah tersebut tapi sudah resign. Guru tersebut dulu memakai jilbab sama cantiknya dengan diriku katanya. Hati kecilku kagum, merasa percaya diri setelah ia menyanjungku. Wah… siswi ini ramah dan percaya diri sekali.

Singkat cerita, hari itu aku mulai mengajar di kelas tiga. Ada beberapa pelajaran yang aku ajar karena aku menjadi wali kelas. bahasa Inggris, Science, PKN, dan juga bahasa Indonesia sudah ada di job desc-ku. Awalnya, aku kaget karena pengalaman mengajar di kampus, SMA dan SMP aku cuma mengajar satu mata pelajaran saja. Dalam hal ini, disiplin ilmuku saat kuliah. Akan tetapi, kali ini ada beberapa mata pelajaran. Aku merasa tertantang untuk melaksanakan tugas ini.

Aku akan berusaha, kataku dalam hati.

Mata pelajaran pertama hari itu bahasa Indonesia. Aku meminta semua siswa membuka buku cetaknya, mencari halaman berjudul “Sumpah Palapa”. Untuk membuat semua konsentrasi, aku meminta satu siswa membaca satu kalimat.

Sampailah kepada kalimat ke delapan ada yang angkat tangan

Miss, apa itu me-nye-la-mat-kan?”

“To save.”

Salah satu kelemahan anak-anak sekolah ini adalah kosakata bahasa Indonesianya malah terbatas dibanding bahasa Inggris.

Ternyata, pertanyaan-pertanyaan yang sama bermunculan selama mengajar. Mereka bukan bertanya tentang materi tapi lebih kepada apa arti kata itu dalam bahasa Inggris.

Kalau kita yang terbiasa dari kecil di lingkungan orang yang berkomunikasi pakai bahasa Indonesia, bahan bacaan yang berbahasa Indonesia, maka kita tak akan kehabisan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Tapi anak-anak di sekolah ini sepertinya mereka di rumah terbiasa pakai bahasa Inggris sehingga kurang memahami kosakata bahasa Indonesia.

Tidak lama, aku mengerti bahwa mengajar di sekolah tersebut kata pengantarnya lebih baik bahasa Inggris. Siswa lebih mudah paham jika dijelaskan pakai bahasa tersebut. Jadi meski mengajar bahasa Indonesia 80 persen bahasa pengantar tetap bahasa Inggris.

Banyak orang berusaha membekali diri untuk bisa cas cis cus ngomong dan menulis dalam bahasa Inggris. Mereka sudah siap jika sewaktu-waktu melanjutkan sekolah di luar negeri. Buku-buku serta artikel internasional yang berkualitas banyak berbahasa Inggris. Bekal kemampuan berbahasa Inggris juga mengantarkan kepada berbagai pekerjaan internasional.

Singkat cerita, aku merasa penasaran bagaimana keseharian anak-anak tersebut sehingga bisa sefasih itu berbahasa Inggris. Sebenarnya, ada sebersit kekhawatiran dengan bahasa ibu dan budaya mereka. Bagaimana jika mereka mengaku orang Indonesia tetapi tidak kenal dengan bahasa dan budayanya?

Memang semua hal mempunyai sisi positif dan negatifnya. Selama kita menyadari itu, mungkin kekhawatiran dan dampaknya bisa diminimalisir. Jadi, ajarkanlah bahasa asing kepada anak-anak seiring dengan pengajaran bahasa ibu dan budaya negeri kita sendiri.


Photo by CDC on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *