Flash Fiction Cicih M. Rubii: Swab Bang Sueb

Angin sore yang syahdu bertiup. Ranting-ranting pohon yang kering berjatuhan. Burung-burung pipit yang bertengger terkejut, lalu terbang bersamaan.

Kedua sahabat sedang bersantai di bale-bale depan rumah. Dua cangkir kopi dan makanan kecil menemani percakapan mereka.

Arkani mengamati gawainya. Membaca dengan detil informasi yang tersaji di salahsatu aplikasinya. Sesungging senyum samar menghiasi wajahnya.

Sebagian besar wilayah di Indonesia mulai menjadi zona hijau. Sebagian masih zona kuning, hanya beberapa yang masih zona orange.

“Alhamdulillah ya Allah. Akhirnyaaaa.…” seru Arkani gembira. Wajahnya yang bulat semakin menggembung di kedua pipinya. Masker menggantung di lehernya.

“Apaan, Bro?” tanya Epul sahabatnya. Matanya masih fokus ke arah laptop di hadapannya.

“Eh, Bro! Apa yang akan kau lakukan jika Covid sudah benar-benar bersih?” Arkani malah bertanya balik kepada Epul sahabatku.

“Ayah… Ayah… bagi uang dua rebu!” tiba-tiba seorang anak laki-laki datang menadahkan tangan ke arah Epul. Kemudian bocah tersebut segera lari begitu mendapatkan selembar uang yang diminta.

“Piknik, dong!” jawab Epul singkat. Jari-jari tangannya kembali bergerak di atas keyboard.

“Ealaaah, kok malah piknik?” protes Arkani. Dilemparnya bungkus kacang yang sudah kosong ke tempat sampah.

“Ibuku, Bro! Ibuku sudah lama sekali ingin umroh,” ujar Epul memandang sahabatnya.

“Yupz! Semoga dunia benar-benar terbebas dari Corona. Saudi Arabia membuka kembali negaranya untuk dikunjungi.”

“Bang, Neng mau beli sayur bentar,” teriak Ratna sambil menuntun motor keluar rumah.

“Iyaaa, hati-hati! Hand sanitizer baru ada di tas Abang tuh,” ujar Epul sambil mengamati istrinya.

“Ah, gak usah, Bang! Sepulang dari warung, Neng cuci tangan langsung” jawab Ratna sambil menaiki motornya.

Pasar-pasar mulai dibuka kembali. Mall juga sudah ramai. Tempat wisata satu per satu mulai beroperasi. Anak-anak sudah kembali ke sekolah, meski masih dengan pembatasan jumlah.

Jumlah penderita Covid di rumah sakit semakin menurun. Bahkan kabar kematian karena Covid kini jarang terdengar lagi. Masyarakat mulai menata kembali kehidupannya yang porak poranda, penuh ketakutan dan rasa was-was.

Dampak Pandemi sungguh luar biasa. Seakan tak mungkin, tapi akhirnya sedikit demi sedikit Indonesia kembali bangun dari keterpurukan karena pandemi.

“Meski masa pandemi adalah masa-masa sulit dan menakutkan. Tetapi ada banyak pembelajaran yang bisa diambil ya, Bro!” ujar Epul serius. Maskernya dibuka, lalu menyeruput kopi yang mulai dingin.

“Aku bersyukur, meski pernah menjadi penderita Covid tapi keluargaku utuh. Banyak juga tetangga dan saudara yang kehilangan anggota keluarga karena Covid. Miris dan sedih,” ujar Arkani sambil memasukkan kacang ke mulutnya.

“Iya, tentunya demikian. Tapi yakinlah Allah memberikan cobaan sesuai kemampuan. Dan pasti ada hikmah di balik setiap musibah.

“Bang! Bang Epul!’ tergopoh-gopoh Ratna menghampiri bale-bale tempat Arkani dan Epul duduk-duduk santai.

“Apa sih Neng, bikin panik aja?” tanya Epul penasaran.

“Bang Sueb… Bang Sueb kabarnya meninggal barusan di rumah sakit,” ujar Ratna terbata-bata. Hatinya gundah gulana.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun…!” ujar Arkani dan Epul bersamaan.

“Dua hari lalu ‘kan masih ke rumah kita nganterin golok yang dipinjam?” jawab bang Epul kaget. Terbayang kemarin berjabat tangan erat dengan Bang Sueb.

“I-Iyaaa Bang! Hasil swab Bang Sueb ternyata positif Covid,” ujar Ratna terbata-bata.

Ratna terduduk di depan pintu. Kakinya lemas tak bertenaga. Tiba-tiba kepalanya merasa pusing, dan tenggorokan terasa gatal.


Photo by Jusdevoyage on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *