Oleh: Iecha
Memulai menulis buat sebagian orang adalah perkara sulit. Sedangkan, buat sebagian lain adalah perkara sulit banget. Beragam masalah muncul saat kita akan memulai menulis. Dari ide yang tidak kunjung datang, paragraf awal yang tidak sreg, sampai kebingungan harus memulai dari mana.
Ada yang senasib?
Tulisan ini, sejujurnya, terinspirasi dari postingan Pak Guru Hendra Desdyanto: Tulis Saja dan Lihatlah Hasilnya. Dalam postingannya, Pak Hendra menulis tentang kebingungannya karena jam tutup “portal” LWC Challenge semakin dekat, sementara dirinya belum tahu apa yang akan ditulis.
Tantangan menulis harian menuntut kita membagikan tulisan setiap harinya dalam jangka waktu tertentu. Dalam jangka itu juga, tentu kita harus mempunyai ide yang akan menjadi pokok pikiran tulisan kita. Namun, terkadang, sudah berjam-jam kita berhadapan dengan laptop atau ponsel, tidak ada satu huruf pun yang tertulis. Mungkin pernah da satu kalimat, tapi sudah dihapus lagi.
Salah satu cara mengatasi hal seperti itu adalah dengan Fast and Free Writing. Entah, ini teorinya siapa. Aku mendapatkannya dari komunitas menulis yang aku ikuti. Dibanding teori-teori memulai menulis lain, cara ini menurutku lebih asyik dan seru, karena bisa dimulai saat kita benar-benar kosong ide dan tidak tahu harus menulis apa.
Caranya simpel, cukup menuliskan saja apa yang ada dalam pikiran kita tanpa memikirkan tanda baca yang berserakan, kalimat yang berantakan, kata-kata asing, kata tidak baku, typo, huruf kapital, dan semacamnya. Lupakan semua teknik dan mulailah menulis.
Contohnya begini:
Udah jam segini, bentar lagi portal tutup tapi aku nggak tau mau nullis apaan. Nulis tiap hari bingung juga yak, seringnya keabisan ide. Duh berat banget dah ah mau nulis udah kayak mau bikin perusahaan aja. Apalagi coba yang harus ditulis hari ini?
Udah pun harus empat ratus kata minimal. Apaan aja coba itu?
Tapi sebenernya nulis itu seru juga soalnya kan kita bisa menuangkan apa yang ada di iikiran kita. Beneran deh nulis itu bisa bikin pikiran kita jadi lebih lega. Kayak jadi plong aja. Udah pun entar kalo dibaca bisa bikin ngakak sendiri. Astaga, beber-bener hiburan yak.
Kalo kita nulisnya penting, orang lain juga bisa dapet ilmu dari yang kita tulis. Kalo kita nulis lucu, orag lain bisa ikutan ketawa. Nah kan bisa buat naikin imun tuh, banyak-banyak ketawa. Tapi jangan ketawa di pinggir jalan ye, ntar dituduh macem-macem. Eh, maksudnya jangan ketawa sendirian.
Kita semua pasti bisa melakukan itu. Simpel, dan benar-benar tidak peduli apapun. Semakin jlama kita menulis, semakin terarah juga tulisan kita. Kita bisa mendapatkan poin yang ingin kita tulis meski sebelumnya tidak terpikir, kemudian tulisannya tiba-tiba jadi rapi, hahaha.
Selanjutnya? Kirim?
Nanti dulu. Rapikan dulu, edit dulu. Jangan biarkan orang lain mengerinyitkan kening karena kita menulis ‘ketiak’ untuk kata ‘ketika’. Jangan sampai juga orang salah paham karena kita salah meletakkan tanda baca. Baca ulang baik-baik dengan hati yang gembira. Kalau sudah merasa oke, baru deh, kita kirim.
Sewaktu masih kuliah, aku sering menggunakan teknik ini untuk mengerjakan makalah, khususnya di pelajaran-pelajaran yang aku tidak suka. Aku menulis apa pun yang aku mau. Ada curhat tentang dosen, tentang kenapa aku nggak suka pelajaran itu, macam-macam. Kalau langsung kirim, bisa berabe urusannya. Jadilah aku edit dulu, potong bagian curhatnya, rapikan kalimat dan tambahkan referensi jika dirasa perlu, baru kirim setelah yakin masa depanku tidak terancam karena makalah itu.
Karena menulis adalah mengungkapkan keresahan, jadi—menngutip kata Pak Hendra—tulis saja dan lihat hasilnya.
Tertarik mencoba cara ini buat challenge besok?
Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash