Oleh: Lia Nathalia
Siang ini saya berhenti sejenak ketika membaca sebuah pesan yang dibagikan di salah satu group percakapan. Judulnya: Kematian Yang Sunyi. Isinya, kurang lebih menggambarkan potongan-potongan kisah kematian mereka yang harus melepaskan jiwa dari raga setelah berjuang melawab virus Covid-19.
Tapi bukan itu yang membuat saya tertegun, diam sesaat. Bukan soal orang meninggal karena Covid-19. Bukan itu.
Yang membuat saya berpikir keras setelah itu adalah sejak kapan kita merasakan kematian itu sesuatu yang sunyi? Bukankah kematian itu sendiri adalah momen sunyi? Saya kemudian berselancar di internet, membaca beberapa tulisan untuk menemukan jawaban pertanyaan saya yang masih menggantung di ruang kosong.
Apakah ada keriaan saat kematian atau ajal menjemput seseorang? Dari penelusuran saya, tenyata di beberapa negara, kematian dirayakan, bukan hanya ditangisi. Berbagai festival dibuat. Ternyata tak perlu jauh-jauh, menurut beberapa catatan, di Bali, tradisi Ngaben dikategorikan sebagai salah satu tradisi pesta kematian.
Kematian diartikan oleh mereka yang membuat keriaan atau pesta saat mengantar kekasih-kekasihnya ke alam keabadiaan adalah sebagai awal memulai perjalan baru setelah mengakhiri pengelanaan di kefanaan.
Bahkan di beberapa negara, ada hari libur khusus untuk merayakan kematian. Sebut saja di Brasil ada Dia de Finandos yang dirayakan tiap tanggal 2 November. Di tanggal yang sama, masyarakat Kolombia, juga merayakan perayaan hari kematian.
Yang paling lebih dikenal dari semuanya itu adalah perayaan hari kematian di Meksiko, yang dikenal sebagai Día de Los Muertos. Tradisi perayaan selama tiga hari setiap tahunnya sangat terkenal. Saya ingat, saya pernah menonton salah satu film kartun yang menceritakan tentang tradisi Día de Los Muertos ini. Intinya, dalam perayaan itu, mereka mengajarkan kita untuk selalu mengenang para lelehur, kalau tidak di alam setelah kematian, jiwa-jiwa mereka akan musnah. Itulah sebabnya, foto-foto para leluhur selalu dipajang, ada tradisi membakar lilin dan sebagainya.
Suku Inca di Peru punya tradisi merayakan hari kematian tiap tahun dengan festival makanan dan musik. Kalau di Asia, di Jepang misalnya, perayaan kematian ini dikenal dengan nama Festival Obon.
Dari penelusuran saya, tak semua kematian itu ditangisi, karena dipercaya pula bahwa mereka yang meninggal telah menuju ke tempat yang lebih bahagia. Mereka tidak lagi merasakan sakit, atau terbebas dari penyakitnya, misalnya. Bahkan kematian adalah suatu keberuntungan karena akan bertemu Sang Pencipta.
Kematian sendiri adalah kesunyian, karena kita akan mengakhiri kehidupan kita di dunia ini sendirian. Itu kira-kira makna kematian dari perenungan pribadi saya. Karena di setiap kelahiran sudah pasti aka nada kematian. Hanya yang belum jelas buat kita adalah kapan, di mana, bagaimana kita akan meninggalkan kefanaan sebagai seorang manusia, makhluk hidup.
Saya pribadi memilih tak terlalu memikirkannya, tapi bagaimana saya mengisi hari ini layaknya ini adalah hari terakhir saya bernapas, adalah lebih baik. Karena kematian bisa datang kapan saja dan dengan sebab yang bisa apa saja.
Photo by Javad Esmaeili on Unsplash