Oleh : Siti Atikah (Atik)
Pernah atau seringkah kamu merasa hidupmu paling nestapa? Merasa ujian yang menderamu begitu berat dan bersumber dari kezaliman atau penganiayaan orang lain, baik secara fisik maupun psikis? Buat saya, hal itu beberapa kali, atau mmm mungkin masih sering menghampiri, terutama kalau sedang sendirian, di sudut kamar, di kursi kerja di ruang kelas, di tengah keramaian, atau bahkan di heningnya malam saat diri ini lagi eling ‘tuk mengadu pada Sang Maha Kuasa. Maka, sebenarnya, jika harus memilih, saya tak suka sendirian karena saat dalam posisi itu bujuk rayu setan dalam diri untuk bermain dengan bermacam-macam pikiran buruk tentang diri ini begitu kuat menggoda.
Namun, bagi saya yang sebenarnya cenderung orang yang introvert, sulit untuk bersosialisasi di tengah-tengah orang banyak, sering kali justru sendirian. Kikuk, rikuh, merasa minder, merasa tak memiliki sesuatu yang istimewa ataupun menarik orang lain untuk bergaul dengan diri ini. Hingga saat ini pun perasaan-perasaan macam itu berulang kali kerap menghampiri. Dulu, waktu masih menikah yaitu pada pertengahan tahun 2010 hingga menjelang akhir 2018, setiap kali perasaan itu mendera, saya masih merasa aman karena paling tidak saya merasa memiliki suami yang awalnya saya kira menerima saya apa adanya. Namun, ketika kenyataan berkata lain daripada yang dipikir dan dirasakan, bahwa akhirnya pernikahan saya kandas karena ternyata bagi ayah anak-anak saya itu diri ini tak cukup baginya sehingga ia memilih mengkhianati pernikahan kami. Sejak saat itu hingga detik saya menuliskan memoar ini, lagi-lagi saya sering jatuh kehilangan kepercayaan diri, untuk kesekian kalinya. Berkali-kali saya masih sering memainkan peran playing victim di saat-saat terapuh ketika ada yang bertanya tentang kondisi saya saat ini.
Seperti semalam contohnya, setelah bolak-balik terbangun karena Umi, ibu saya masih saja muntah-muntah dan diare sejak 2 hari terakhir, bergantian dengan anak saya, tiba-tiba pikiran buruk menghantui saat hendak melelapkan mata. Yaaa…. Belakangan ini pikiran tak nyaman tiba-tiba suka muncul paska ayah saya dirawat di rumah sakit sebulan yang lalu. Mampukah saya bertahan jika suatu hari, yang pastinya akan tiba, kedua orangtua yang menjadi tumpuan kepercayaan diri saya selama ini dipanggil ke haribaan-Nya? Bagaimanakah nanti caranya harus saya tinggalkan anak-anak tanpa mereka ketika saya harus mencari nafkah meninggalkan rumah setiap harinya? Apa yang akan terjadi jika suatu saat mata pencaharian saya sebagai guru di salah satu sekolah internasional yang menopang hidup saya dan keluarga harus berakhir? Bagaimana? Sementara saya hanya seorang ibu tunggal, tanpa suami yang dapat menjadi imam untuk mengarahkan serta menguatkan diri ini agar tak runtuh dalam kesedihan….
Astaghfirullaahal ‘adziiim…. lamat-lamat saya lafazkan istighfar tiap kali pikiran-pikiran macam itu mendera. Lalu, kemudian saya coba mengalihkannya dengan melihat kondisi orang lain. Orang yang saya kenal, baik dekat maupun sekadarnya. Dengan menilik kembali kisah mereka, saya berusaha mengenyahkan perasaan dan pikiran yang membuat saya tak bersyukur serta overthinking yang tak akan membawa kebaikan apapun.
Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu ya Allah, sementara di sana ada seorang teman yang gajinya pasti lebih besar dari saya, tapi lebih sering numpang lewat untuk membayar hutang-hutangnya. Namun, ia masih bisa berbahagia, masih ada tawa yang ia syukuri. Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, sementara di sana ada seorang teman yang gajinya saya tahu jauh di bawah yang saya dapatkan, namun ia masih bisa menafkahi orang tua dan anak-anaknya tanpa bantuan sedikitpun dari mantan suaminya. Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, sementara di sana ada seorang ibu tuna netra yang dulu sering saya temui di jalan raya saat saya pulang dari mengajar, ia menggandeng anaknya yang usianya sama dengan anak saya yang bungsu sambil menjajakan dagangan kerupuknya yang belum tentu laku banyak hari itu. Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, sementara di sana ada beberapa kerabat dan sahabat yang belum dikaruniai buah hati berusaha tegar untuk ikhlas dengan segala ketentuan-Nya sembari menguatkan hati dan kepercayaan pada pasangannya untuk memiliki keikhlasan yang sama dan tak mengakhiri pernikahan. Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, sementara di sana ada kerabat yang penghasilan setiap harinya hanya bertumpu pada laku atau tidaknya usaha kecil-kecilan yang dijalani, namun mereka masih bisa berbahagia dengan cara yang sederhana. Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, sementara di sana ada seorang sahabat yang tengah berjuang mempertahankan bahtera rumah tangganya karena tak tahan diduakan padahal kelapangan harta tak kurang ia miliki. Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, sementara ada tetangga yang baru saja pulih dari Covid-19 pasca dirawat di ICU, namun belum bisa kembali bekerja sebagai pengemudi online yang menjadi tumpuan nafkahnya.
Bagaimana saya tak bersyukur pada-Mu Ya Allah, nikmat-Mu yang manakah yang mampu saya dustakan, sementara di antara banyak hal buruk yang menimpa diri ini menurut versi playing victim saya sendiri, Engkau telah menganugerahkanku begitu banyak kemudahan. Kedua orangtua yang masih sehat wal afiat, kedua putra yang lucu yang masih butuh bimbingan agar menjadi manusia yang bertaqwa pada-Mu, adik satu-satunya yang kasih sayangnya pada saya tulus dan sering membuat saya belajar makna tegar darinya, penghasilan yang lebih dari cukup, dan teman-teman yang silih berganti selalu menguatkan saya dalam kondisi yang beraneka ragam. Bahkan di setiap sata-saat terendah yang saya alami, karunia-Mu pada saya justru terus mengalir lewat berbagai kemudahan urusan dan uluran tangan inner circle di sekeliling saya. Sungguh, saya memohon ampunan-Mu Ya Allah, atas segala kepicikan saya di saat sendirian yang kerap kali meratapi nasib.
Oleh karenanya, playing victim memang tak ‘kan pernah membawa saya, tak ‘kan pernah membawa siapapun untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Yang ada justru malah tak mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan. Tak ada sehelai daun pun yang jatuh di bumi ini tanpa izin dari Allah. Maka, sudah sepatutnya lah kita kembali mendekat pada-Nya di kala ujian datang atau godaan rasa yang hanya membawa kita mengkufuri nikmat-Nya menyerang hati kita. “Solat dan bersabarlah.” Begitu kata Allah dalam Al-Qur’an manakala kita sedang bersedih, kecewa, dan merasakan beban begitu berat untuk dijalani. Sebagai muslim dan orang yang beriman, saya meyakini kalam Allah tersebut dan berusaha sekuat tenaga untuk terus untuk menjalankannya selama napas masih ada. Insyaa Allah.
15 Juli 2021
Hari ke-10, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com
#atikberbagikisah
IG : atikcantik07
Photo by Amol Tyagi on Unsplash