Perjalanan Belajarku

Oleh: Dwina

Walaupun usiaku tidak muda lagi, dengan modal nekat, aku memutuskan untuk melanjutkan studiku ke jenjang berikutnya. Sebenarnya, aku selalu menunda untuk sekolah lagi. Aku tidak yakin mampu menyelesaikan studi dengan kemampuan yang kumiliki.  Bayangan tugas-tugas membuat makalah yang banyak dan susah selalu menjegalku. Belum lagi tugas akhirnya yang membuatku bergidik ngeri. 

Setelah memantapkan rencana tentang bagaimana menjalaninya dan mau apa setelahnya, tangan dan kaki inipun tergerak untuk mendaftar. Aku sempat ingin mundur ketika melihat uang pendaftarannya. Mahal sekali dibanding kampus-kampus sekota ini. 

Lagi-lagi suamiku menguatkan dan mengatakan kepadaku, “Tidak apa-apa, lanjut saja.”

Hari tes saringan untuk masuk tiba. Aku sudah siap tiga puluh menit sebelum tes dimulai. Setelah memilih tempat duduk, aku mulai mencari teman dengan bicara dengan tetangga-tetangga kursiku. Alamak… mereka masih muda-muda sekali.

Singkat cerita, seminggu kemudian aku dinyatakan lulus, diterima di kampus negeri kota ini. Setelah registrasi lengkap, beberapa minggu kemudian kuliah dimulai. Kesan pertama ketika kuliah aku dibuat terpana oleh salah satu professor dengan penjelasanya, teori-teori, buku-buku yang beliau gunakan, membuatku semakin penasaran untuk melanjutkan studi ini.

Disusul dosen-dosen lainnya yang sudah level profesor dan doktor baik dalam maupun luar negeri benar-benar membuatku selalu terhipnotis. Durasi seratus menit setiap mata kuliah serasa baru sepuluh menit. Betapa nikmat kurasa belajar lagi. 

Tugas membuat makalah hampir selalu diberikan di akhir kuliah. Mempersiapkan presentasi merupakan hal yang menyenangkan. Membaca dan merangkum isi buku juga sangat aku nikmati. Ternyata aku masih bisa melakukannya dengan baik. Buktinya, nilaiku selalu A. 

Dukungan suami dan anak-anak membuatku tenang dalam mengerjakan dan menyelesaikan kerja tugas kuliah. Terima kasih yang tak terhingga karena mereka tidak pernah protes jika rumah sering berantakan. Tak jarang, karena dikejar deadline tidak ada makanan di meja makan. Di sela-sela kerja, suamiku terkadang masih sempat menyiapkan makan malam. Di antara jam sekolah, terkadang anak-anak yang bergantian menyiapkan. Aku benar-benar bersyukur memiliki keluarga yang saling membantu.

Satu tahun berlalu, tiba saatnya menulis tugas akhir. Saat ini yang aku rasakan paling berat. Bahkan aku sempat berpikir untuk berhenti alias drop out. Masa pandemi membuat kampus menerapkan sistem blended learning. Banyak dosen yang tidak jelas keberadaanya. Entah beliau sekalian sedang berada di kampus atau di rumah. 

Masih lumayan apabila ada dosen pembimbing yang mau membalas chat atau merevisi online sehingga penulisan bisa jalan terus. Akan tetapi, masih ada saja dosen yang beralasan untuk menghindari teknologi, membuat beban menulis jauh lebih berat. Kami harus pergi ke rumahnya yang biasanya jaraknya jauh sekali. Berat di ongkos sudah pasti. 

Biasanya, dosen meminta waktu untuk merevisi. Apabila hari ini datang ke rumahnya untuk menaruh tulisan, maka kami akan datang beberapa hari lagi untuk mengambil revisi. Itu kalau beruntung sudah direvisi. Kalau sedang apes, kami pulang dengan tangan kosong. 

Saat proposal bisa beberapa kali revisi, lalu seminar proposal. Setelah seminar, pasti butuh perbaikan-perbaikan lagi. Saat penelitian belum tentu responden lancar untuk diambil datanya. Lalu, hasil penelitian diekstrak dan ditulis bisa melalui beberapa kali revisi juga. Saatnya ujian hasil dan revisi ujian hasil. Setelah itu ujian tutup dan diakhiri dengan revisi ujian tutup. Puluhan kali harus mondar-mandir berjuang mendapatkan revisi dan ACC.  

Singkat cerita, kesulitan-kesulitan menyusun tugas akhir saat pandemi jauh lebih berat dibanding sebelum pandemi. Penyebabnya: dosen pembimbing yang slow respond menanggapi pesan kami, dospem yang susah ditemui, dan yang paling berat adalah revisi yang tidak segera di ACC membuat mental down.

Untunglah, lima bulan paket komplit sudah tuntas. Kupikir, kuliah di masa pandemi tidak seburuk itu. Ada sisi positif yang merubah kebiasaanku yang awalnya konsumtif, sekarang menjadi produktif menulis. Sisi negatifnya, aku selalu merasa lelah setiap kali ke kampus meskipun sudah lulus. Bayangan masa laluku yang kewalahan mengejar-ngejar dosen untuk revisi, walaupun pada akhirnya, aku dapat menyelesaikan semua ujianku dan dapat lulus dengan hasil yang memuaskan. 


Photo by Michael S on Unsplash

One Comment on “Perjalanan Belajarku”

  1. Menarik Mba. Sangat inspiratif kisahnya. Bisa jadi penyemangat untuk para pembaca yang kerap down urusan belajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *