Flash Fiction Lisa Adhrianti: Halusinasi

“Masyaa Allah!! Tuhan kok bisa sempurna gini sih, menciptakan nih orang?” gumam Titi.

Entah mengapa sampai detik ini dia tidak pernah bertemu pemandangan semenarik itu. Pemandangan yang sangat menyejukkan baginya dan membuatnya kerap berhalusinasi. Berkhayal tentang bentuk rupa sosok yang akan dikirimkan Tuhan untuknya suatu hari nanti. Titi merasa teduh melihatnya, bahkan mendengar lembut suaranya pun membuatnya terkesima.

Meski kerap berhalusinasi akan impian-impian masa depannya dengan segala kesempurnaan dan standar yang dia inginkan. Titi masih dapat mengendalikan halusinasinya. Dia selalu berusaha mengembalikan segalanya kepada Tuhan dan tidak ingin larut dalam bayang khayalnya sendiri.

Titi bahkan sering merasa ketakutan akan masa depannya dan merasa mungkin saja Tuhan tidak akan pernah lagi memilihkan seseorang untuk menemani hari-harinya ke depan. Titi merasa impiannya terlalu muluk dengan segala latar belakang masalah yang mengitari kehidupannya.

Jika sedang terdiam dalam hening, Titi kerap seolah memanggil Tuhannya dan mengajak-Nya bercerita.

“Tuhan yang baik, maafkan aku yang lagi terkenang kepada satu-satunya orang yang sering mengingatkan untuk sayang dan santun kepada orangtua, menyayangi keluarga, berbagi kepada sesama, membantu pekerjaan yang susah dicerna, menjadi tempat berdiskusi dan bercerita, memarahi untuk kebaikan, menguatkan dalam kesendirian. Ah Tuhan, kenapa kau hadirkan dia untuk kutatap jika hanya sembilu dan semu yang kudapat?

Tuhan yang pemurah, bisakah kau hadirkan sosok impian untuk kudekap dengan hangat?

Tuhan yang pengasih, mudah ‘kan ya bagi-Mu untuk membolak balikkan hati? Lalu bisakah hatiku ini kau cabut saja rasa suka terhadap makhluk-MU yang memesonaku itu?

Tuhan, aku banyak sekali bertanya, ya?

Tuhan, jika aku boleh meminta, kabulkanlah apa yang kukehendaki dari hati ini.”

Begitulah Titi selalu berbicara sendiri dalam hehing hari-harinya.

Aku sebagai orang yang menjadi sahabat ceritanya kerap membujuknya untuk tidak banyak berhalusinasi tentang sosok pangeran impiannya, namun tentu perkara hati bukanlah perkara yang bisa dimengerti alur ceritanya. Aku mengerti bahwa Titi sangat memilki mimpi untuk dapat membangun istana bersama pangerannya.

Sejak sosok impian Titi itu meliputi mimpi dan halusinasinya, aku merasakan getaran hati yang merona di hidup Titi.

Titi yang kukenal sebagai perempuan kuat dan sabar itu memang masih terus berupaya untuk mencoba membuka lembaran baru hatinya. Titi yang kukenal sebagai sosok yang tidak mudah jatuh cinta itu masih terus berusaha mengobati luka karena rasa yang tidak ikut mencintainya.

“Ti, besok loe ke sini, ya!”

Kenape, tuh? Gue lagi sibuk!

“Sibuk? Ngapaiiin? Sibuk halusinasi lagi loe? Hahahhaa.”

Enak aja loe ngomong! Gue sibuk mewujudkan halusinasi kita doong, hahaha. Halusinasi yang bisa membuat kita terbang tinggi dan kemudian lupa diri lagi,” tanggapan Titi renyah.

“Ya, emang loe belom sadar juga, Ti!”

Tawa pun memecah percakapan aku dan Titi.

Begitulah kami jika saling terhubung tidak ada lagi sekat-sekat yang ingin membatasi kedekatan, sekaligus juga menjadi bekal untuk bisa berhalusinasi lagi.


Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *