Bagaimana aku harus mengatakannya? Sesuai dugaan Cha, aku tidak jadi kuliah karena satu dan lain hal. Kecewa? Sudah pasti. Di hari penutupan daftar ulang, aku memilih membakar surat pemberitahuan lulus tes yang seharusnya aku serahkan ke kampus. Hariku sejak saat itu dipenuhi kegalauan, kembali mengurung diri dan tenggelam dalam buku yang aku tulis sendiri.
Cha santai saja. Entahlah, mungkin dia tidak merasa menjadi anak putus sekolah sepertiku. Sepertinya juga, sekolah bukan hal penting buat dia. Sepanjang aku meratapi kegagalanku melanjutkan sekolah, dia tidak menunjukkan kepeduliannya.
“Ra?”
“Apa, sih?” sahutku malas.
“Daripada stres sendiri gitu, mending tulis aja cerita kamu. Kamu ‘kan bisa bikin cerita. Ntar kirim ke majalah.”
“Males, nggak menarik.”
“Ya kalo nggak menarik, kenapa kamu masih galauin sampe sekarang?”
“Gitu, ya?”
“Tadi, Kak Iya nyariin. Katanya ada kursus gratis. Aku sih udah okein.”
“Kok nggak nanya aku dulu?” Wajahku tertekuk banyak. “Kan, ntar aku yang jalanin, aku yang harus ketemu sama orang, aku yang harus interaksi.”
“Santai, sih. Kalau kamu bingung, biar aku yang urus. Yang penting kita keluar rumah. Aku susah kalo kamu maunya di kandang melulu gini. Nggak sumpek apa?”
“Aku punya hiburan.” Aku menyodorkan beberapa buku tulis. “Cerita kamu.”
“Tapi, di cerita itu kan akunya keluar rumah, malah keluar negeri. Kamu bikinnya begitu. Terus? Sekarang aku disuruh diam di rumah aja?”
Aku terdiam, malas menanggapi ucapannya yang sepertinya benar.
“Ya udah, pokoknya besok ikut aja sama Kak Iya. Jam delapan dia mau nyamper.”
Masa bodoh! Seenaknya saja ambil keputusan. Sudah tahu aku enggan keluar rumah.
Namun, aku tahu aku tidak bisa berkelit lagi saat ibuku membuka pintu kamar dan menaruh uang untuk ongkos besok di atas rak. Besok, aku benar-benar harus ikut ke tempat kursus bersama Kak Iya. Entah kursus apa.
Ruangan kelas tidak terlalu ramai. Isinya paling hanya dua belas orang. Kami semua berada di depan layar, sementara ada CPU di dekat kaki. Berdasarkan yang aku dengar tadi, kami akan belajar dasar-dasar Ms. Office. Mungkin akan menjemukan bagiku. Entah bagi Cha. Namun, setahuku, kami sama-sama sudah bisa program itu.
“Namanya siapa?”
Aku menoleh saat cewek berjilbab itu menyapa. Dia duduk di sisi kananku. Berdasarkan dugaanku, usiaku dan dia terpaut lebih dari lima tahun. Wajahnya ramah dan tidak menakutkan. Meski begitu, aku tetap saja waspada dan membangun tembok kaca setinggi-tingginya.
“Namanya siapa?” ulang dia. “Aku Mila.”
“Aku—“ Aku terdiam sedetik. “Cha!”
Bukan, bukan aku yang menyebut nama. Dia yang seenaknya menyebut namanya pada orang yang baru aku kenal hari ini. Lalu, dia memaksaku tersenyum untuk membalas senyuman Mila. Heh, apa maunya?
“Oh, Cha. Masih sekolah?” tanya Mila lagi.
“Udah lulus, Kak.”
“Tadinya sekolah di mana?”
“Di SMA X.”
SMA apa? Itu bukan sekolahku. Seenaknya saja dia menyebut aku sekolah di situ. Sekesal-kesalnya aku dengan teman-teman di sekolah dulu, tetap saja aku tidak mau mengingkari kalau aku sekolah di situ.
Lalu dia bercakap-cakap dengan Mila. Sepertinya akan menjadi teman akrab. Aku kebingungan dengan bahasan mereka. Jika hanya membahas tentang komputer dan Ms. Office, aku juga paham. Entahlah, dia membahas tentang kampus dan isu-isu pemerintahan.
Namun, dia seperti mengurungku di sini, tidak membiarkanku keluar sebentar pun. Berkali-kali aku meminta keluar, dia seperti menahanku dan kembali fokus lagi pada Mila. Bahkan, hingga tutor datang, dia masih tidak membiarkanku keluar, meski aku ingin belajar.
Sudahlah, terserah saja!
Cerita sebelumnya: Demi Masa Depan
Photo by Soragrit Wongsa on Unsplash